Memori Indah tentang Perdamaian Lintas Agama di Kota Wina

Perjalanan riset saya di Austria menghubungkan saya dengan salah satu organisasi lintas agama tingkat Eropa yang berbasis di Kota Wina. Organisasi tersebut bernama Coalition of Faith Based Organizations (CFBO). Suatu waktu saya mendapat undangan melalui email untuk mengikuti sebuah acara yang mereka adakan. Acara tersebut bertajuk “Vorweihnachtliche Gedanken zum Frieden” (Pikiran Sebelum Natal Menuju Perdamaian). 

Rabu, 20 Desember 2023 tepatnya selepas magrib, saya keluar dari apartemen di distrik Favoriten, melawan udara dingin musim salju. Saya menghadang bus dari Sonnleitner Gasse menuju Stasiun Karlsplatz lalu menaiki kereta U-bahn menuju Stephansplatz. Turun dari kereta, mata saya disambut gemerlap lampu dan christmas market di pelataran Katedral St. Stephen.

Christmas market atau pasar Natal adalah pemandangan yang sangat mudah ditemui di pelataran gereja-gereja di Kota Wina pada bulan Desember. Untuk menuju acara CFBO itu, saya harus melewati kerumunan orang-orang yang menikmati berbagai jajan di christmas market dan berjalan di gang samping Katedral St Stephen. Katedral ini merupakan salah satu katedral paling ikonik di Wina yang setiap hari dikunjungi oleh banyak sekali turis. 

Sesampainya di depan pintu gedung yang dituju, dua laki-laki berusia belasan duduk di tangga depan pintu. Saya bertanya pada mereka untuk memastikan apakah benar acara CFBO ada di gedung tersebut. Setelah mendapat kepastian, saya masuk ke dalam ruangan yang sudah terisi banyak orang. Jaket tebal penangkal udara dingin  saya lepas dan saya gantung di tempat yang sudah disediakan. Mata saya menyapu ruangan untuk menemukan posisi terbaik untuk menemukan tempat duduk. 

Di kursi paling depan telah berjajar para narasumber perwakilan dari komunitas Muslim, Yahudi, Kristen, dan Buddha dibersamai oleh Pak Elmar Kuhn yang menjabat sebagai Presiden CFBO. Sepanjang diskusi berlangsung saya hanya duduk diam dan mendengarkan. Tampaknya itu adalah hal yang sangat wajar, semua orang yang datang pun melakukan hal yang sama. Tapi pada kenyataannya saya tetap berbeda.

Pertama, dari hampir 100 orang yang datang saya termasuk salah satu dari dua orang yang mengenakan hijab di ruang tersebut. Sampai di situ tidak ada masalah. Kedua, sejujurnya saya mengalami dilema tersendiri ketika saya mengikuti acara-acara yang diselenggarakan di Wina yang sebagian besar berlangsung dengan bahasa pengantar Jerman. Ini berarti tidak peduli berapa jam yang  saya habiskan untuk mengikuti diskusi-diskusi di Wina, saya tidak akan mengerti apa pun dari semua yang mereka bicarakan. Untuk itu, saya perlu bertanya pada peserta lain yang bisa menjelaskan isi diskusi tersebut dalam bahasa Inggris. 

Untungnya Pak Elmar adalah orang yang cekatan dalam mencatat dan mengirimkan hasil pertemuan itu, termasuk ke email saya. Salah satu poin penting yang dibicarakan dalam diskusi tersebut disampaikan oleh Afsar Rathor. Dia mengatakan, “Sering kali perang dan konflik tidak dapat dicegah. PBB telah berulang kali gagal.”

Berdasarkan pengalamannya, hanya platform agama dan pemimpin agama yang mampu menjamin perdamaian abadi. “Jika PBB gagal, kita memerlukan dialog antarpemimpin agama. Agama adalah senjata untuk mencapai perdamaian.” Meskipun ia sering dituduh naif, keyakinan naif ini membantu menengahi perdamaian.

Kesan paling membekas dari acara ini adalah ketika diskusi telah berakhir. Ira Lauren bersama rekan-rekannya mulai mengajak setiap orang yang hadir untuk bernyanyi bersama diiringi alunan biola. Setiap orang mendapat selembar kertas bertuliskan lirik lagu perdamaian yang berjudul “Peace Prayer Mandala”. Dalam benak saya, lirik lagu tersebut sangat sederhana tapi sekaligus sangat menarik. Itu berisi barisan kalimat-kalimat suci dari berbagai agama. Elmar Kuhn mengatakan, “Mandala Doa Perdamaian yang dinyanyikan semua orang menjadi demonstrasi keinginan perdamaian di dunia kita yang terkoyak.”

Meskipun sekularisme adalah fenomena yang umum di negara-negara Eropa termasuk Austria, akan tetapi acara tersebut memberikan sudut pandang yang lain bahwa banyak orang masih peduli pada agama bahkan menjadikan kerja sama antaragama sebagai fondasi dalam mengurai konflik-konflik kemanusiaan yang terjadi di dunia.

Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *