BANTUL – Komunitas GUSDURian Yogyakarta mengadakan pertemuan bersama tokoh agama sekecamatan Banguntapan dalam rangka gendhu-gendhu rasa keberagaman di Griya GUSDURian pada Sabtu, 21 September 2024. Pertemuan ini untuk menindaklanjuti diskusi yang diadakan sebelumnya. Selain itu, juga bertujuan untuk merawat keberagaman yang sudah ada di Kecamatan Banguntapan, Bantul.
Acara ini dihadiri oleh Pendeta Imanuel Geovasky (GKJ Karangbendo), Romo Joko Lelono (Gereja Katolik Pangkalan Udara Adisucipto), Ustaz Muhammadun (PWNU Banguntapan), Pak Bawono (GKJ Wonocatur), dan Kang Taryo (Pura Jagatnata).
Keberagaman tentunya menjadi kenyataan hidup masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Khususnya di Banguntapan, tempat ini bisa dikatakan menjadi ruang percontohan jika berbicara mengenai keberagaman. Romo Joko mengatakan bahwa pertemuan ini dapat menjadi momentum untuk menjaga keberagaman bahkan mengembangkan potensi yang ada. Potensi di sini berbicara mengenai modal sosial yang sudah dimiliki, keberagaman rumah ibadah, serta ragam masyarakatnya.
Walaupun demikian, tantangan melibatkan generasi muda masih menjadi concern yang coba diupayakan, sebagaimana disampaikan oleh Firda Ainun, salah satu penggerak GUSDURian Yogyakarta. Hal ini guna menjadi perhatian bersama mengingat rendahnya angka partisipasi anak muda dalam lingkup ruang keberagaman. Apalagi melihat apa yang GUSDURian Yogyakarta telah lakukan selama enam bulan terakhir di Banguntapan. Tantangan serupa juga dialami oleh Pendeta Imanuel di gerejanya. Ketika berbicara anak muda, lanjut Pendeta Imanuel, mereka sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan dan aktivitasnya.
Pak Bawono dari GKJ Wonocatur menyampaikan bahwa perlu sinergitas antara GUSDURian, tokoh agama, dan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Tentunya yang dimaksud yakni pemerintah desa, di mana seharusnya pemerintah di level kelurahan ini dapat proaktif untuk mengadakan dan memfasilitasi ruang temu bagi pemuda. Dirinya mencontohkan bahwa ada anggaran yang telah sediakan untuk mendukung pertanian bagi anak muda di Kelurahan Banguntapan. Siapa tahu pemerintah setempat bisa memberikan alokasinya kepada GUSDURian sebagai pegiat keberagaman di kelurahan ini.
Usul Pak Bawono disambut baik oleh tokoh agama lainnya melihat pentingnya campur tangan pemerintah setempat untuk mendukung keberagaman di Banguntapan. Kang Taryo mencontohnya bahwa ketika ia menjadi Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Banguntapan, mewakili dukuhnya, dapat meraih penghargaan juara dua sebagai dukuh moderasi tingkat nasional.
Modal ini tentunya dapat dijadikan contoh sinergitas antara pihak masyarakat dan pemerintah. Pendeta Imanuel juga menyampaikan bahwa karang taruna di daerah cukup aktif dalam berkegiatan. Hal ini bisa juga dilibatkan sebagai percontohan pembinaan anak muda Kelurahan Banguntapan.
Setali tiga uang dengan pernyataan sebelumnya, Romo Joko mengamini apa yang sedang dibicarakan. Sebagai Pembina Bina Mental (Bintal) di lingkungan Angkatan Udara ia menceritakan pentingnya untuk membangun hubungan baik dengan beberapa stakeholder. “Penting juga mengadakan audiensi dengan Pak Lurah sebagai bentuk kelanjutan rencana GUSDURian dan tokoh agama. Sehingga pihak pemerintah kelurahan dapat mengetahui praktik baik yang telah dilakukan dan dapat mendukung berlangsung acara tersebut,” paparnya.
Menjaga keberagaman merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua tanpa terkecuali. Apa yang GUSDURian Yogyakarta sedang upayakan adalah kepedulian akan terciptanya keberagaman yang penuh kehangatan. Tentunya apa yang disampaikan oleh tokoh agama merupakan bentuk dukungan secara moril atas kerja-kerja yang sedang diupayakan.
Pada akhirnya acara ditutup dengan menarik sebuah kesimpulan untuk perlu diskusi lebih lanjut. Ruang temu antarpemuda itu perlu diciptakan kembali untuk dapat mendukung keberagaman di Banguntapan. Bukan hanya tokoh agamanya saja yang bertemu, anak muda juga perlu dilibatkan dalam acara ini ke depannya. Dalam pertemuan tersebut juga dilakukan screening film dokumenter karya GUSDURian Yogyakarta tentang keberagaman di wilayah Banguntapan.