Rentan dalam konteks masyarakat bukanlah kondisi yang terjadi secara natural. Ada sistem dan mekanisme “perentanan” yang berjalan terus-menerus dalam lini sejarah manusia hingga hari ini, tidak terkecuali di Indonesia. Akar perentanan ini telah tertimbun sedemikian dalam sehingga banyak orang, baik masyarakat yang direntankan maupun masyarakat di luar kelompok rentan, menerima begitu saja fenomena tersebut seolah itu menjadi hal yang wajar-wajar saja.
Ketua Palang Putih Nusantara, Suroso, dalam acara Soft Launching Buku Suara-Suara Sunyi: Kisah Kelompok Minoritas di Pusaran Politik Indonesia yang diadakan oleh Aliansi Jurnalistik Independen (AJI Yogyakarta) mengungkapkan bahwa komunitas penghayat (sebagai minoritas yang sangat terdampak mekanisme perentanan) sering kali mengatakan wani ngalah luhur wekasane (maksudnya orang yang mengalah akan menemukan keberuntungan di belakang hari). Ini menjadi ajaran yang diungkapkan kelompok penghayat ketika mengalami diskriminasi struktural. Dengan dalih ini komunitas penghayat menerima ketidakadilan yang ditimpakan negara kepada mereka.
Suroso sama sekali tidak setuju dengan sikap dan pandangan semacam itu. “Ajaran itu tidak relevan dengan situasi politik seperti apa pun,” ungkapnya. Komunitas penghayat telah dipinggirkan sekian lama khususnya sejak tahun 1965. “(Tahun) 65 ini titik tolak untuk mengubur budaya dan agama leluhur sedalam-dalamnya. Ketika komunitas penghayat tidak mau memeluk salah satu dari lima agama resmi, maka komunitas penghayat dituduh akan membangkitkan PKI kembali di Indonesia,” imbuhnya. Negara sudah sangat abai dengan persoalan ini. Kalau komunitas penghayat mengalah-mengalah saja maka komunitas penghayat akan entek-entekan alias habis.
Komunitas penghayat harus berjuang mendapatkan keadilan yang sama di negeri ini agar ajaran leluhur dilanjutkan generasi mendatang dan tidak punah di negeri sendiri. Di antara perjuangan kelompok penghayat yang sudah menunjukkan hasilnya adalah dimasukkannya pelajaran Pendidikan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kurikulum sekolah. Tentu perjuangan untuk mendapatkan hak yang setara dalam berbagai bidang kehidupan harus terus dilakukan sembari terus melawan stigma-stigma negatif di lingkungan masyarakat yang menyudutkan posisi kelompok penghayat.
Komunitas penghayat hanyalah satu dari sekian banyak kelompok minoritas yang mengalami mekanisme perentanan di Indonesia. Selain penghayat tentu masih banyak kelompok rentan lain, misalnya masyarakat Tionghoa, kelompok transpuan, penyandang disabilitas, kelompok Ahmadiyah, minoritas agama, dan banyak kelompok rentan lainnya yang kisahnya tertuang dalam buku Suara-Suara Sunyi: Kisah Kelompok Minoritas di Pusaran Politik Indonesia.
Menurut Syamsul Maarif (Anchu) buku tersebut berhasil me-zoom out bahwa Indonesia tidak layak mengklaim diri sebagai negara demokrasi karena agenda politik sering kali justru memanfaatkan kerentanan kelompok-kelompok tertentu. Misalnya saja ketika pemilu. Pemilu seolah-olah membuka peluang bagi siapa saja, tapi nyatanya momen itu juga bisa menjadi ancaman bagi kelompok-kelompok rentan. Di momen-momen pemilu, kerentanan belum begitu stabil. Akan tetapi setelah pemilu, kerentanan mereka menjadi sesuatu yang dipatenkan melalui kebijakan. “Pemilu dan kebijakan itu penting, tapi di setiap segmen ada agen-agen yang melanggengkan struktur dominasi, maka perlu melihatnya dalam struktur yang kompleks,” ungkap Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM tersebut.
Anchu melihat bahwa “perentanan” semacam ini terjadi di banyak tempat di dunia. Akar perentanan dimulai dengan adanya keinginan supaya dunia dikontrol oleh sekelompok orang dengan membangun struktur kuasa. Yang di atas akan tetap berkuasa, dan yang dibawah yang dikuasai. Pertama, dunia ini dilihat bahwa ada manusia dan alam. Manusia dipandang lebih tinggi dari alam (antroposentris). Hari ini semua yang dekat dengan tanah adalah rentan karena tanah sifatnya untuk dikuasai.
Kemudian manusia sebagai ras tinggi itu dibagi lagi menjadi manusia “berperadaban” tinggi dan peradaban rendah. Yang berperadaban rendah layak dijajah oleh manusia peradaban tinggi. Akar pikir yang terbangun di masa kolonial semacam ini yang sampai hari ini menjustifikasi mengapa rentan itu dianggap normal. Hal semacam ini juga diperkokoh oleh produksi pengetahuan yang kemudian menjadi informasi bagi pelaksanaan politik, sosial ekonomi dan semua bidang yang lain.
Dalam menanggulangi hal ini, Anchu mengatakan bahwa organisasi masyarakat sipil menjadi pilar penting dalam demokrasi. Dia optimis bahwa kerja sama secara langsung antara organisasi masyarakat sipil dengan warga yang terkonsolidasi bisa mengakses banyak hal melampaui kebijakan. Peranan organisasi masyarakat sipil sangat besar dalam menolong banyak masyarakat rentan. Selain itu, Bambang Muryanto juga menambahkan bahwa jurnalis punya andil penting dalam membangun narasi terkait persoalan ini. Dia mengatakan “Harus serius menekuni keberagaman ini kalau tidak Indonesia akan habis keberagamannya, akan rusak alamnya”.