Pemengaruh (influencer) media sosial saat ini telah menjadi fenomena yang menggejala di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Kehadiran para pemengaruh ini bak juru selamat di tengah masifnya arus informasi yang tidak terbendung di media sosial saat ini. Artinya, bagi sebagian orang kehadiran para pemengaruh ini menjadi sebuah acuan kebenaran baru bagi mereka, sehingga informasi yang disampaikan oleh pemengaruh dapat dianggap benar tanpa perlu verifikasi lebih lanjut.
Misalnya ketika seorang pemengaruh mengatakan bahwa produk tertentu berkualitas baik atau berkomentar tentang situasi sosial tertentu, hal tersebut dapat dianggap menjadi sebuah kebenaran karena pemengaruh dianggap memiliki legitimasi untuk menyampaikan sesuatu karena memiliki jumlah pengikut/followers yang cukup banyak.
Kondisi tersebut sebenarnya menggambarkan adanya perkawinan sempurna antara kesesatan berpikir dengan disrupsi yang mengubah total cara hidup masyarakat di era post-truth. Ketika masyarakat mempercayai kebenaran sesuatu karena banyak di’iya’kan oleh orang lain, dalam hal ini adalah oleh para pengikut pemengaruh, saat itulah terjadi kecacatan logika argumentum ad populum. Singkatnya kita menyimpulkan sesuatu benar atau salah tidak berdasarkan kepada objektivitas tetapi berdasarkan popularitas.
Di sisi lain, masifnya disrupsi yang membawa perubahan besar di berbagai sektor juga turut mengubah cara masyarakat bekerja, termasuk cara kita mendapatkan informasi. Kita seolah tidak lagi memiliki cukup waktu untuk menggali sebuah informasi secara mendalam. Walhasil kita hanya menggantungkan kepercayaan kepada informasi yang disajikan secara cepat dan singkat. Sayangnya hal tersebut kerap kali harus dibayar mahal dengan mengorbankan faktor paling penting dalam penyampaian informasi, yaitu kebenaran.
Hal-hal tersebut membawa kita terperosok lebih dalam di kubangan post-truth era, di mana kebenaran dan gaung informasi berbanding terbalik atau setidak-tidaknya mengalami kesulitan serius untuk dipertemukan. Saat ini hal tersebut bukan hanya terjadi akibat disinformasi atau ketimpangan akses terhadap informasi, tetapi juga dari pembentukan fakta baru yang serentak diaminkan hanya karena hal tersebut bersumber dari sosok ternama. Kombinasi tersebut membuat kebingungan dan kegamangan yang terjadi di tengah masyarakat menjadi paripurna.
Salah satu buah dari ‘berhasilnya’ perkawinan antara kesesatan pikir ini adalah apa yang menimpa jurnalis senior, Najwa Shihab baru-baru ini. Suaranya yang lantang menyerukan perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan tiba-tiba dipertanyakan oleh publik. Profesinya tak lagi dianggap cukup untuk menjadi sebuah legitimasi bahwa ia adalah pihak yang kredibel untuk memberitakan sesuatu. Publik nyatanya lebih memilih mempercayai narasi sumir bahwa apa yang dilakukan Najwa adalah hal yang bodoh dan keliru. Ironisnya narasi tersebut datang dari seseorang yang tidak memiliki legitimasi apa pun untuk melempar tuduhan tersebut selain memiliki pengikut militan yang berjumlah jutaan.
Di tengah riuhnya arus informasi yang tak lagi mudah dinavigasi, barangkali satu-satunya harapan yang tersisa adalah suara para pemikir dan akademisi yang memiliki kredibilitas dan legitimasi untuk menyampaikan informasi, bersumber dari kedalaman pengetahuan mereka. Sayangnya, iklim akademis kita sepertinya tak mengizinkan lahirnya para akademisi yang sudi menengok akar rumput dan menggunakan kemewahan ilmunya tersebut untuk mengerti ketegangan yang benar-benar terjadi di lapangan. Para pemikir kita dihimpit dengan beban kerja dan administratif yang tak sepadan dengan pendapatannya, sehingga refleksinya tak lagi bisa digaungkan sebagai amplifikasi suara masyarakat, melainkan sebagai formalitas syarat kenaikan jabatan belaka.
Saking tak punya waktu untuk menengok akar rumput, banyak akademisi yang juga lebih asik berkutat pada ruang teori dan retorika yang sudah familiar mereka bahas. Hal ini mau tak mau kemudian mempertinggi tembok antara laboratorium keilmuan dengan realita di tengah masyarakat, sehingga proses sikap para akademisi tak lagi berangkat dari merefleksikan ilmunya terhadap keresahan masyarakat. Atau bahkan lebih parahnya menganggap suara masyarakat tak ubahnya riuh pengganggu yang tak lagi bermakna. Hal ini yang kemudian membuat suara akademisi tak lagi banyak didengar masyarakat, karena ilmunya maupun cara penyampaiannya dianggap tak relevan, atau setidak-tidaknya terdengar jauh dari menara gading.
Di sisi lain, bobroknya sistem birokrasi yang tak mampu menjamin kesejahteraan para akademisi membuat mereka senantiasa berada dalam survival mode atau mode bertahan hidup, sehingga kerap kali harus melakukan segala cara untuk mendapatkan pemasukan tambahan atau sekadar mengamankan posisinya. Dalam beberapa kesempatan, hal ini bisa berarti menjadi penyambung lidah penguasa, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh sejumlah oknum yang rela mempertaruhkan reputasi akademis yang susah payah dibangun, demi membela kepentingan penguasa. Kalau sudah demikian adanya, masih mungkinkah kita berharap pada kejernihan ilmu pengetahuan di tangan orang-orang yang hanya akan membebek pada arus kekuasaan?
Beberapa minggu yang lalu misalnya, kita sempat mendengar kegaduhan di media sosial akibat salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia meluluskan disertasi doktoral untuk seorang pejabat. Hal ini ramai diperbincangkan karena diduga disertasi tersebut adalah hasil plagiat, selain itu pejabat yang bersangkutan juga mengaku hanya menjalani perkuliahan selama 1.5 tahun dari total waktu perkuliahan selama 4 tahun. Meskipun akhirnya kelulusan pejabat tersebut ditangguhkan, namun peristiwa ini telah menjadi indikator bahwa laboratorium keilmuan barangkali bukan lagi tempat terpercaya, toh ia bisa mencetuskan ilmuan tanpa kualifikasi, selama ada kepentingan yang bisa saling mempertemukannya.
Bukankah kondisi di atas menjadi inkubator sempurna untuk menciptakan pembodohan? Masyarakat yang gamang menghadapi tsunami informasi kemudian berkiblat pada ketenaran dan kecepatan dalam menentukan kebenaran. Sementara ilmuan, akademisi, dan pihak-pihak yang punya legitimasi dan kredibilitas untuk menyampaikan informasi, justru tak lagi terdengar gaungnya. Sebagian terbatasi oleh beban administrasi, sebagian tak lagi mampu menggunakan hati nurani untuk melantangkan apa-apa yang benar mereka ketahui.