Convenience-isme: Antara Kemudahan dan Ketimpangan

Adalah pemandangan yang lazim di jalanan ibu kota pada sore hari, jam pulang kantor, jalan raya dipenuhi tidak hanya oleh kendaraan pribadi dan umum, tetapi juga sepeda motor kurir jasa antarbarang belanja daring (online). Atas nama convenience, model berbelanja seperti itu sudah jadi kebiasaan banyak orang.

Barang-barang yang dipesan bermacam-macam—mulai dari sembako seperti gula, beras, dan minyak goreng, hingga barang remeh-temeh yang dianggap lucu untuk dikoleksi, seperti cup holder, gelang tangan untuk kesehatan, atau aksesoris ponsel pintar. Kebanyakan barang itu sebenarnya dapat ditemukan di toko fisik. Namun toko daring berbasis aplikasi internet benar-benar memperluas format convenience dalam konteks ekonomi digital. Membuat banyak orang meninggalkan aktivitas berbelanja di toko-toko.

Para toko daring pun bersaing membakar dana investasi besar dengan menawarkan diskon yang sering kali sulit disaingi oleh toko fisik. Barang menjadi sangat murah, dan sebagai makhluk homo economicus, manusia kala ini condong mengutamakan efisiensi berbelanja tanpa terlalu peduli asal material dan proses distribusinya. Nilai efisien itulah yang jadi keunggulan convenience membentuk kecenderungan kita berbelanja.

Convenience sebagai istilah bahkan sangat “convenience” sekali sehingga sulit memadankannya dalam bahasa Indonesia. Karena tidak populer dan orang-orang tampak enggan menerjemahkannya. Sehingga dengan kepercayaan diri saya berani menyebut, convenience bukan lagi format pemasaran (marketing) semata, melainkan sudah menjadi perspektif, sebuah jalan hidup dan falsafah manusia modern saat ini. Eloklah kiranya saya sematkan “-isme” pada kata tersebut—menjadi “convenience-isme”. Sebagai sebuah cara pandang dunia: kalau bisa dibikin mudah, kenapa tidak!

Untuk memahami falsafah “convenience-isme”, lebih mudah memahaminya dengan contoh praktis. Misalnya, toko-toko convenience store memudahkan pelanggan dengan menyediakan berbagai kebutuhan dalam satu tempat. Tak hanya barang belanjaan, toko-toko ini sering kali menyediakan layanan tambahan seperti makan di tempat hingga layanan perbankan. Dengan kemajuan teknologi informasi, toko fisik ini pun telah bermetamorfosis menjadi ikon di ponsel kita, siap diakses kapan saja dan di mana saja, selama ada koneksi internet dan uang untuk berbelanja.

Namun, kenyamanan dari “convenience-isme” ini membutuhkan biaya. Melihat pemandangan para kurir yang sibuk mengantar barang, dan membaca tren perusahaan jasa antar barang [1], mudah bagi kita untuk berasumsi bahwa ekonomi berjalan lancar. Betapa banyak orang berbelanja, menandakan daya beli yang kuat, dan betapa banyak barang diproduksi untuk dijual, menandakan industri yang tangguh. Pendapatan perusahaan toko daring yang mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya [2] pun tampak menjadi bukti kesuksesan ini.

Namun, di balik angka-angka tersebut, muncul ironi. Rencana kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% memicu keributan di tengah masyarakat. Data kemiskinan dan pengangguran yang besar [3] mengungkap bahwa tidak semua orang menikmati manfaat dari kemajuan ekonomi ini. Jadi, bagaimana mungkin masyarakat yang sebagian besar hidup dalam kesulitan mampu berbelanja sebanyak itu?

Di sinilah kita perlu bertanya: apakah “convenience-isme” ini sebenarnya hanya sebuah pelarian? Apakah ia seperti balon udara berisi gas tidur, yang membuat kita merasa bermimpi memiliki daya beli, sementara realitasnya tidak? Apakah kenyamanan yang ditawarkan toko daring ini sebenarnya adalah lapisan mimpi dari kenyataan bahwa ada ketidakadilan yang lebih besar—misalnya, distribusi barang kebutuhan pokok yang tidak merata, atau ketergantungan pada harga barang yang dikendalikan oleh korporasi besar?

Kegiatan konsumsi lewat aplikasi barangkali sudah menjadi candu. Kemudahan akses, harga murah, dan daya tarik visual barang-barang yang sering kali bernilai guna rendah membuat masyarakat terlena. Mereka yang literasi digitalnya lemah sering kali terjebak dalam praktik kredit online, yang sebenarnya merugikan. Kemudahan ini, meski tampak seperti solusi, sering kali justru menciptakan masalah baru.

Mimpi dari “convenience-isme” ini mendapatkan eskalasi dari fenomena transportasi daring. Bayangkan perantau yang menjadi pegawai kantoran di ibu kota, tinggal di kawasan di kawasan padat penduduk tanpa kendaraan pribadi adalah ketidakuntungan. Sebab transportasi umum seperti bus atau KRL sulit dijangkau karena jarak halte atau stasiun yang jauh dari tempat tinggal.

Dalam situasi ini, transportasi daring seperti ojek online (ojol) menjadi solusi. Tarif yang relatif terjangkau, apalagi dengan diskon aplikasi, membuat layanan ini terasa seperti berkah. Si pegawai itu pun merasa bersyukur dan beruntung masih dapat menikmati layanan ojol itu. Padahal, di balik episode mimpi dari “convenience-isme” itu, ada kenyataan bahwa sistem transportasi umum yang seharusnya menjadi hak semua warga belum memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Begitu pula dengan para pengemudi ojol yang mengantar si pegawai tersebut. Bayangkan ia memilih pekerjaan ini karena terpaksa karena tidak ada pilihan lain. Sebab ia sebelumnya merupakan karyawan swasta di bidang percetakan dan mengabdi di sektor itu lebih dari 15 tahun. Namun sektor percetakan sudah senja kala. PHK massal tak terbendung. Lantaran usia sudah menginjak 45 tahun lebih tidak ada perusahaan yang mau menerima. Pilihan terakhir dengan bekal sepeda motor, ia mendaftar menjadi pengemudi ojol.

Mereka disebut “mitra” oleh perusahaan aplikasi ojol, seolah-olah setara, tetapi kenyataannya, kebebasan mereka sangat terbatas. Tarif, jarak tempuh, dan wilayah operasi ditentukan oleh algoritma. Pada akhirnya, mereka tetap merasa beruntung bisa bekerja, meski kenyataan ini tidak mencerminkan kesejahteraan yang sebenarnya.

Bentuk rasa syukur dari pengguna dan pengemudi ojek ini mencerminkan kemudahan yang dihasilkan oleh “convenience-isme”. Namun, kemudahan ini tidak mampu menghadirkan kebahagiaan. Sebaliknya, “convenience-isme” justru sering kali melanggengkan ketidakadilan, karena tidak semua pihak memperoleh manfaat yang setara.

Ketimpangan ini adalah bagian dari kenyataan pahit dalam selubung mimpi kenyamanan. “convenience-isme” telah membuat kita terlena. Tetapi hanya dengan memahaminya, kita bisa bangun dari mimpi buruk yang diciptakan falsafah itu—sebuah mimpi yang telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan manusia era modern sampai saat ini.





___________________________________________________

[1] Ukuran pasar logistik, termasuk di dalamnya jasa antar paket, di Indonesia mencapai $275 miliar pada tahun 2020 dengan pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 16,2% sejak 2015. Proyeksi untuk tahun 2024 adalah lebih dari $300 miliar. Baca lebih lanjut: https://databoks.katadata.co.id/ekonomi-makro/statistik/73cefcccaec1080/sektor-logistik-topang-ekonomi-ri-berapa-ukuran-pasarnya

[2] Menurut riset SEA e-Conomy 2023 dari Google, Temasek, dan Bain & Company, nilai transaksi bruto (GMV) perusahaan toko daring (e-commerce) untuk pasar Indonesia pada tahun 2023 mencapai $ 62 miliar (sekitar Rp 975,3 triliun) dikutip dari: https://technologue.id/pertumbuhan-e-commerce-di-indonesia-naik-signifikan-spanjang-2023, bandingkan dengan tahun 2022 dan 2021 yang masing-masing sebanyak $ 58 miliar dan $ 53 miliar dikutip dari: https://databoks.katadata.co.id/ekonomi-makro/statistik/97e4bf1c00aaedb/e-commerce-sektor-penyumbang-ekonomi-digital-terbesar-indonesia-pada-2023

[3] Pada tahun 2023 saja data kemiskinan di Indonesia mencapai 9,36% (25,9 juta orang) disarikan dari: https://data.goodstats.id/statistic/lonjakan-kemiskinan-indonesia-dalam-5-tahun-terakhir-XDvdb dan https://databoks.katadata.co.id/demografi/statistik/328e26d19d9ba6a/ini-kondisi-kemiskinan-dan-pengangguran-ri-lima-tahun-terakhir. Sementara tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada tahun yang sama berada pada level 5,47% (sekitar 7,6 juta orang) disarikan dari: https://data.goodstats.id/statistic/perkembangan-tingkat-pengangguran-di-indonesia-AR6V7 dan https://databoks.katadata.co.id/demografi/statistik/328e26d19d9ba6a/ini-kondisi-kemiskinan-dan-pengangguran-ri-lima-tahun-terakhir.

GUSDURian Jakarta. Mantan wartawan media nasional di ibu kota. Saat ini bekerja untuk pemerintah di ibu kota pula.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *