Gus Dur, Natal, dan Kebangsaan

Gus Dur. Seorang ulama dan pemikir kebhinekaan. Pemikirannya luas tiada batas. Sulit ditebak. Nyeleneh apalagi. Ia simbol pluralisme, simbol keberagaman agama di Indonesia. Karenanya, ia sering melontarkan kritik klaim sepihak agama atas kebenaran ajaran dan Tuhan. Begitu juga soal Natal.

Umumnya, di Indonesia umat Nasrani merayakan Natal setiap 25 Desember. Saat itu pula muncul percikan konflik yang malahan, disebabkan karena sebagian umat Islam yang pemahamannya sempit bahkan tertutup. Misalnya kita mendengar larangan mengucapkan Natal karena dianggap menyekutukan Allah. Padahal kita, sebagai umat Islam, hanya berucap saja tanpa didasari “keyakinan” dari hati tentang “keyakinan” yang saudara-saudara Nasrani yakini.

Sama tidak serupa

Agar watak tadi tidak menjangkiti kita, perlulah kita membaca tulisan Gus Dur bertajuk “Harlah, Maulid, dan Natal”. Tercatat, esai itu ditulis Gus Dur di Yerusalem pada 2003 dan pertama kali terposting di Harian Suara Pembaharuan edisi 20 Desember 2003. Esai itu menerangkan kepada kita bahwa Harlah, Maulid, dan Natal berada dalam posisi satu napas. Seolah-oleh, Gus Dur menyamakan ritus keagamaan Islam dan Nasrani sama.

Memang, kata Maulid itu melekat kepada Islam. Sama dengan Harlah. Merujuk kepada perayaan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Tercatat, Maulid pertama kali dirayakan umat Islam atas perintah Sultan Salahudin Al-Ayubi dari Dinasti Mamalik dengan maksud untuk membakar semangat kaum Muslim supaya menang dalam Perang Salib (crusade) ketika pasukannya umat Islam melawan umat Kristiani pimpinan Richard Berhati Singa (Richard the Lion Heart) dan Karel Agung (Charlemagne) dari Inggris dan Prancis.

Sedangkan, kata Natal menurut arti bahasanya juga berarti Harlah untuk memeringati kelahiran Nabi Isa Al-Masih yang dilahirkan “perawan suci” Maryam untuk menebus dosa umat manusia. Sebenarnya, Yesus Kristus itu adalah anak Tuhan yang menjelma menjadi manusia guna memungkinkan penebusan dosa tersebut. Sedangkan dalam Al-Qur’an disebut sebagai “yauma wulida” yang menurut ahli tafsir dijelaskan sebagai kelahiran Nabi Isa As. yang kemudian “dijadikan” Anak Tuhan oleh umat Kristiani.

Meskipun di atas menyatakan bahwa Natal dan Maulid nampak sama, tetapi tidak dapat dipersamakan satu sama lain. Pasalnya, dalam fikih, kata Maulid dan Natal adalah “kata yang lebih sempit maksudnya dari apa yang diucapkan” (yuqlaqu al’am wa yuradu bihi al-khash). Soal ini disebabkan karena perbedaan asal-usul istilah dalam sejarah perkembangan manusia yang sangat beragam.

Dari sini jelas bahwa kedua peristiwa punya asal-usul, dasar tekstual yang sama sekali berbeda. Ini sebabnya, sebuah kemerdekaan kaum Muslim untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa yang kita sebut hari Natal.

Terlebih, menurut Gus Dur dalam tulisan itu terbaca: “Dalam literatur fikih, jika kita duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian.”

Persamaan dalam perbedaan

Dari apa yang diungkap Gus Dur tadi, ia menginginkan bahwa perayaan Natal menjadi titik pijak harmoni keagamaan, khususnya bagi umat Islam dengan umat Kristiani yang pemeluknya cukup dominan di Indonesia. Oleh sebabnya, sedikit-banyak kedua agama tadi memainkan peran sentral dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan agar tetap utuh dan berdaulat mencapai keadilan dan kemakmuran. Unity in diversity.

Nilai-nilai itu terpancar jelas dalam kehidupan kita sebagai masyarakat beragama. Simpel saja. Kita sebagai umat Islam merasakan berkah dari Harlah Nabi Isa. Karena di pusat perbelanjaan: pasar, mall, situs jual-beli online mengadakan diskon barang dagang mereka secara masif buat memperingati Natal. Sebaliknya, ketika bulan Ramadan tiba sebagian umat Kristiani memanfaatkan momen itu untuk berjualan makanan untuk santapan berbuka puasa maupun sahur.

Selain itu, kita juga menyaksikan bahwa umat Nasrani dengan legawa menerima dan menghadiri undangan dari tetangga Muslim yang mengadakan yasinan maupun bancaan. Juga sebaliknya, setiap perayaan Natal kita menjumpai Ansor-Banser NU menjaga gereja. Meskipun sering mendapat kritik asam dari khalayak, Ansor-Banser NU tetap ikhlas demi menjaga Indonesia.

Terlebih, kita mengenal istilah Kristen Muhammadiyah. Terminologi yang merujuk kepada buku gubahan Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul-Haq yang bertajuk Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan (Kompas, 2023). Buku ini menunjukkan kepada khalayak tentang pelajar maupun mahasiswa bagian Indonesia Timur yang mayoritas beragama Kristen yang bersekolah dan berkuliah di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Sehingga, dari situ munculah watak toleransi antara Islam dan Kristen dalam ranah sosial-pendidikan.

Begitulah kita sebagai Indonesia merayakan Natal, di mana damai itu kita rasakan nikmatnya dalam keharmonisan dan kerukunan kebangsaan. Sudah menjadi tugas kita untuk menjaga anugerah kebangsaan. Inilah esensi Islam. Seperti yang diungkap Gus Dur dalam esainya “Islam dan Orientasi Bangsa” yang termaktub dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (THE WAHID Institute, 2011).

Bahwa, kata Gus Dur toleransi (saling memahami dan mengerti peribadatan agama lain, dalam hal ini Natal) adalah perintah Al-Qur’an, yakni: “Tidaklah Ku-utus Engkau (Nabi Muhammad) kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia” (wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-‘alamin). Kata al-alamin menurut ahli tafsir punya pengertian umat manusia belaka.

Lalu, masihkah kita mencemooh atau mendiskriminasi seseorang yang bukan Islam? Masihkah kalian mengkritik Banser yang menjaga gereja? Padahal kalian menikmati diskon Natal. Wallahualam.

Selamat merayakan Natal untuk saudara-saudari Kristiani. Selamat memperingati Haul Gus Dur ke-15.

Penggerak Komunitas GUSDURian Sukoharjo, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *