Di sebuah desa di pesisir Mandar bernama Tipalayo, hidup seorang anak bernama Sarifah. Ia tinggal bersama ayahnya, Baddu, ibunya Halimah, dan dua saudara laki-lakinya, Sulaiman dan Ali. Kehidupan mereka sederhana, namun penuh dengan kebahagiaan. Rumah mereka berdiri kokoh di pinggir laut, seolah menjadi saksi bisu bagi cerita-cerita yang terus mengalir dari waktu ke waktu.
Sarifah kecil sering duduk di tepi pantai, memandangi ayah dan saudaranya yang sedang berlayar. Laut Mandar begitu dekat dengan kehidupan mereka. Setiap hari, ayahnya Baddu, seorang nelayan, berangkat menuju laut yang sudah ia kenali, mendayung lepa-lepa, mengemudikan katinting ataupun menaiki sandeq, perahu tradisional khas Mandar. Perahu kecil itu seolah meluncur di atas gelombang, membawa harapan untuk hasil laut yang melimpah.
Ibu Halimah selalu mengingatkan Sarifah untuk menghargai laut. “Anakku, laut ini seperti ibu kita. Dia memberi kehidupan, tapi juga bisa marah,” kata Halimah sambil menyisir rambut panjangnya. “Kita harus tahu waktu, tahu cara, dan selalu menjaga kelestariannya. Misalnya, dengan senantiasa menjaga kebersihannya, tidak membuang sampah sembarangan, tidak berbuat kerusakan terhadap biota laut dan lain sebagainya. Ketika kita menjaganya, maka sebaliknya, laut pula akan menjaga kita dan keluarga.”
Sarifah ingat betul petuah ibunya itu. Sejak kecil, ia sudah diperkenalkan pada kehidupan nelayan. Sandeq, saqbe Mandar, manette, dan sibaliparriq—semua itu adalah bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Setiap benda, setiap perahu, setiap tali, punya cerita tersendiri. Ayahnya Baddu yang mengajarinya, dengan penuh sabar.
“Ini saqbe, Sarifah. Lambang jati diri kita sebagai orang Mandar. Jika kau memintalnya, maka akan jadi sebuah sarung yang begitu lekat dengan kehidupan kita sebagai orang Mandar,” kata Baddu suatu pagi. Sarifah yang masih kecil memperhatikan dengan seksama, belajar merangkai kata-kata ayahnya yang penuh makna.
Ibunya, Halimah juga mengajarkan Sarifah tentang manette, proses memintal benang-benang sutra menjadi sebuah sarung khas di daerah Mandar. Selain itu, Sarifah juga banyak diperkenalkan dengan alat pancing tradisional yang digunakan untuk menangkap ikan. “Kita tidak hanya mencari ikan, Sarifah. Kita mencari berkah. Jangan hanya mengambil, tapi berikan sedikit kembali ke laut, agar ia terus memberi,” kata Baddu lagi.
Meskipun Sarifah belum sepenuhnya memahami semua petuah itu, ia merasakannya dalam hati. Laut, sandeq, saqbe, manette, dan sibaliparriq—semuanya menjadi bagian dari darah dan kehidupan mereka. Sarifah tumbuh dengan nilai-nilai itu, mencintai laut, menghormati alam, dan selalu berpegang pada ajaran leluhur yang turun-temurun.
Hari demi hari, Sarifah menyaksikan bagaimana ayahnya melaut, bagaimana ibunya dengan tekun mengolah hasil laut menjadi makanan, dan bagaimana adik-kakaknya belajar menjadi nelayan yang handal. Kehidupan mereka sederhana, tapi penuh dengan kearifan lokal yang tak ternilai harganya.
Suatu sore, ketika ayahnya pulang setelah berlayar, Baddu duduk di depan rumah dengan wajah letih. Sarifah menghampirinya. “Ayah, kenapa wajah ayah terlihat begitu lelah?” tanya Sarifah dengan lembut.
Baddu tersenyum tipis. “Lelah itu bukan karena pekerjaan, Sarifah. Tetapi karena kita tidak pernah bisa berhenti belajar dari laut. Laut memberi kita banyak pelajaran, tetapi dia juga menguji kesabaran kita.”
Sarifah diam. Dia memandangi ayahnya yang mulai beristirahat, tubuhnya yang kekar, dan tangan yang kasar karena sering berhubungan dengan tali dan kayu perahu. Ayahnya adalah teladan baginya. Dalam diam, Sarifah menyadari betapa besar pengorbanan ayahnya demi keluarga dan desa mereka.
Sarifah semakin besar, semakin memahami arti dari segala petuah yang pernah diajarkan kepadanya. Suatu hari, ia diajak oleh ayahnya untuk ikut melaut. Baddu ingin mengajarkan Sarifah langsung bagaimana rasanya berlayar dengan sandeq, menyusuri laut yang kadang tenang, kadang bergelora.
Di atas perahu kecil itu, angin laut berhembus pelan. Sarifah berdiri di samping ayahnya, merasakan setiap gerakan perahu, setiap ombak yang datang. Ayahnya Baddu menunjukkan tata cara untuk melayarkan perahu dengan benar, agar tetap seimbang meskipun gelombang tinggi datang.
“Lihatlah, Sarifah,” kata Baddu sambil menunjuk ke arah horizon. “Laut ini luas. Kadang dia tenang, kadang dia bergejolak. Tapi kita harus tahu kapan harus mendayung, kapan harus menunggu.”
Sarifah menatap jauh ke depan. Laut itu bagai cermin yang memantulkan kehidupan. Ada waktu untuk berjuang, ada waktu untuk bersabar. Semua itu ada dalam ajaran leluhur yang tak boleh dilupakan.
Pulang dari perjalanan itu, Sarifah merasa hatinya penuh dengan rasa syukur. Ia tahu, menjadi nelayan bukan hanya soal mencari ikan. Lebih dari itu, menjadi nelayan adalah tentang menjalani kehidupan dengan penuh ketulusan, kesabaran, dan rasa hormat terhadap alam. Seperti yang diajarkan oleh ayahnya.
Setiap malam, setelah makan malam, keluarga Sarifah duduk bersama. Ayahnya menceritakan kisah-kisah dari masa lalu, tentang nenek moyang mereka yang dulu juga hidup dari laut. “Dulu, nenek moyang kita tidak hanya mencari ikan, tetapi juga mencari cara hidup yang bijaksana,” kata Baddu dengan nada yang penuh makna.
Sarifah selalu mendengarkan dengan seksama. Ia belajar bahwa setiap langkah dalam hidup ini adalah bagian dari perjalanan panjang yang sudah dimulai oleh leluhur mereka. “Jangan lupakan asal-usulmu, Sarifah. Jangan lupakan tanah ini, laut ini, dan keluarga kita,” kata Baddu lagi.
Tahun demi tahun berlalu. Sarifah tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan bijaksana. Ia semakin menghargai semua ajaran yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Laut bukan lagi sekadar tempat mencari nafkah, tetapi juga tempat belajar kehidupan.
Suatu hari, ketika Sarifah sudah dewasa, ia kembali duduk di tepi pantai. Laut tampak begitu tenang, namun hatinya tidak bisa menahan kegelisahan. Sejak beberapa waktu lalu, ia mulai berpikir tentang masa depannya. Kehidupan nelayan, dengan segala ketulusan dan kesederhanaannya, adalah jalan yang penuh tantangan. Tetapi Sarifah merasa bahwa ia harus melanjutkan apa yang sudah dimulai oleh keluarganya.
“Laut ini memberikan kita segala yang kita butuhkan, tapi kita harus tahu cara menghargainya,” bisik Sarifah pada dirinya sendiri. Ia tersenyum, mengingat setiap pelajaran yang diberikan oleh ayahnya, ibunya, dan alam sekitar.
Akhirnya, Sarifah memutuskan untuk tetap berada di desa itu. Ia akan terus menghormati laut, menjaga tradisi keluarganya, dan mengajarkan nilai-nilai itu pada generasi mendatang. Seperti yang diajarkan oleh orang tuanya, hidup ini adalah perjalanan yang tak pernah selesai. Kita terus belajar, terus berusaha, dan selalu menghormati apa yang telah diberikan kepada kita.
Sarifah tahu, setiap gelombang yang datang membawa pelajaran. Dan seperti sandeq yang berlayar dengan tenang di atas laut, ia akan terus berlayar, menjaga keseimbangan, dan selalu mencari makna di balik setiap perjalanan hidupnya.