Dari Hollywood sampai Indonesia: Bagaimana Politisi Menciptakan Bencana Ekologis?

Every disaster movie begins with a scientist being ignored.” – Neil deGrasse Tyson

Dulu saya mengira pernyataan ini hanya terjadi di film-film Hollywood. Sebut saja The Day After Tomorrow (2004), 2012 (2009), Contagion (2011), atau Don’t Look Up (2021) yang dikemas dengan satire dan lucu. Film-film itu mempunyai benang merah yang sama: sekelompok ilmuwan memperingati adanya bencana berdasarkan penelitian mereka, tapi para politisi mengabaikannya dengan berbagai alasan. Dan duar! Kita tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Tapi siapa sangka kita sekarang sedang menghadapinya sendiri di depan mata? Semua ini bermula dari pernyataan kontroversial Presiden Prabowo beberapa waktu lalu, tentang rencana alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Dia bilang, “Saya kira ke depan kita juga harus tambah tanam kelapa sawit. Tidak usah takut katanya membahayakan, deforestasi.”

Bayangkan, deforestasi dianggap tidak berbahaya! Tidak hanya sawit, pemerintah juga berencana membuka 20 juta hektare hutan cadangan sebagai sumber ketahanan pangan, energi, dan air. Luas hutan yang akan dimanfaatkan ini hampir dua kali luas Pulau Jawa. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan bahwa semua ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.

Intinya, presiden ingin menambah lahan sawit, sementara menteri kehutanan ingin membuka food estate berskala besar. Keduanya sama-sama tidak memikirkan efek buruk dari pembabatan hutan. Dua-duanya juga, saya yakin, tidak berdasarkan kajian ilmiah ketika membuat rencana kebijakan semacam ini. Sebagaimana film-film Hollywood bertema bencana, politisi seperti mereka biasanya memutuskan segala sesuatu berdasarkan pertimbangan politik, alih-alih mendengarkan ahli atau akademisi.

Jika kedua rencana itu terlaksana suatu hari nanti, kita harus bersiap dengan bencana ekologis yang sangat besar. Hutan dan berbagai jenis pepohonan di dalamnya adalah sumber daya alam paling berharga bagi Indonesia. Hutan kita adalah hutan terluas ke-8 di dunia. Artinya kita punya ‘alat’ penyerap karbon, penghasil oksigen, dan pengatur siklus air tanah yang sangat mumpuni untuk menjaga keseimbangan hidup semua orang.

Hutan juga mencegah bencana seperti banjir dan longsor, menyediakan sumber pangan lokal dan obat-obatan, rumah bagi berbagai jenis keanekaragaman hayati, hingga membantu menstabilkan krisis iklim. Semua fungsi ini tidak dapat dilakukan oleh sawit dan segala perkebunan yang bersifat monokultur lainnya. Sudah banyak sekali contoh bencana yang menimpa masyarakat lokal ketika pemerintah atau perusahaan membabat hutan dalam skala besar, entah untuk kepentingan food estate, kelapa sawit, atau bahkan membangun istana negara yang tidak strategis itu.

Sebenarnya tidak perlu menjadi ilmuwan atau ahli untuk mengetahui manfaat hutan dan bahaya deforestasi seperti ini. Kita semua sudah mempelajarinya sejak sekolah dasar. Kalau dipikir-pikir, agak tidak berguna juga sejak kecil kita mendapat pelajaran di sekolah tentang pentingnya reboisasi, tapi ketika dewasa tidak berdaya melihat pemerintah sangat getol melakukan hal sebaliknya. Bahkan, dalam beberapa periode ini rasanya Kementerian Kehutanan tidak ada gunanya, mengingat kebijakannya yang sering kali tidak menguntungkan hutan dan masyarakat di sekitarnya.

Katakanlah sejak zaman menteri kehutanan dijabat Zulkifli Hasan di era SBY sampai Siti Nurbaya di era Jokowi. Zulhas pernah ‘disemprot’ Harrison Ford (aktor Amerika Serikat, pemeran Indiana Jones) ketika sedang membuat serial dokumenter tentang krisis iklim berjudul Years of Living Dangerously di Indonesia. Dengan muka yang sangat kesal, Ford mengatakan bahwa dalam 15 tahun terakhir, 80 persen hutan Indonesia telah dieksploitasi secara komersil akibat hubungan kuat antara politik dan bisnis. Dirinya mempertanyakan kenapa semua ini bisa terjadi? Seperti yang bisa ditebak, Zulhas hanya bisa berkelit dan cengengesan menanggapinya.

Sementara itu, Siti Nurbaya pernah menulis cuitan (di akun X-nya) yang sulit dipercaya keluar dari pikiran seorang menteri kehutanan. Dia menulis, “Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.”

Melihat cara berpikir para pejabat ini, dari dulu saya selalu berharap menteri kehutanan dijabat oleh profesional saja, bukan politisi oportunis yang ditempatkan karena balas budi politik. Melihat tingkah laku para pejabat ini pula, saya jadi berpikir bahwa tampaknya mitos-mitos tentang hutan yang diciptakan masyarakat adat dan warga lokal lebih bisa diandalkan untuk menjaga hutan ketimbang kebijakan pemerintah.

Saya ingat, dulu saat ikut mendampingi warga Kulonprogo yang menjadi korban penggusuran pembangunan Bandara YIA (Yogyakarta International Airport), seorang warga bercerita tentang proses pembabatan pohon-pohon oleh alat berat di sekitar rumahnya. “Di sana mas, ada pohon besar yang nggak bisa dipotong dan dirubuhkan,” paparnya mulai menjurus ke mistis.

Menurutnya, para pekerja proyek banyak menghadapi kendala saat menumbangkan pohon-pohon tertentu: pohon yang dianggap keramat. Mereka ada yang mengalami kecelakaan kerja yang tidak wajar hingga ada yang mati secara misterius. Terlepas benar atau tidak, tapi menurut saya, pengeramatan pohon oleh masyarakat bisa jadi merupakan bagian dari mekanisme unik dalam melindungi alam. Kisah-kisah mitos seperti ini sering kali berhasil, atau minimal membuat orang berpikir ulang, untuk merusak alam dengan semena-mena. Meski tidak sedikit pula yang bebal dan tetap melakukannya.

Saya tidak sedang mengajari untuk percaya mitos atau cerita mistis. Kepercayaan seseorang pada sesuatu bukan kewenangan saya. Tapi kenyataan bahwa krisis iklim dan bencana ekologis bersiap menyergap kita jika rencana deforestasi benar-benar dilakukan adalah sesuatu yang jauh lebih menyeramkan.

Jika pembabatan hutan secara masif terus dilakukan, omongan ahli terus diabaikan, dan kenaikan suhu bumi terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin 25 sampai 75 tahun ke depan, kita mendapati teori yang juga menjadi judul buku David Wallace-Wells akan menjadi kenyataan, yaitu Bumi yang Tak Dapat Dihuni.

Esais. Tinggal di Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *