BANJARNEGARA – Komunitas GUSDURian Banjarnegara telah melaksanakan puncak peringatan Haul Gus Dur ke-15 dengan tema “Menajamkan Nurani, Membela yang Lemah” pada Minggu, 19 Januari 2025 di Aula Nurul Ulum, Desa Mandiraja Wetan, Kec. Mandiraja, Banjarnegara.
Acara dihadiri oleh sekitar 200 orang dari perwakilan Pengurus Ranting NU dan Banom NU Mandiraja Wetan, PC IPNU-IPPNU Banjarnegara, MI Maarif NU Mandiraja Wetan, MI Maarif NU 01 Rakit, dan berbagai tokoh masyarakat beserta jamaah lintas iman dari Islam, Hindu, Buddha, Kristen, dan penghayat kepercayaan yang ada di Banjarnegara.
Rangkaian pra-acara dimulai dengan penampilan dari grup hadrah MI Maarif NU Mandiraja Wetan, kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan pencak silat dari MI Maarif NU 01 Rakit, dan disambung menyanyikan lagu Indonesia Raya serta melakukan tahlil kebangsaan.
Dalam sambutannya, Koordinator GUSDURian Banjarnegara Hanafi Slamet Sugiarto menyampaikan bahwa GUSDURian adalah jawaban atas keresahan atas kalangan minoritas. “Tujuan GUSDURian berdiri adalah untuk melanjutkan nilai-nilai yang telah diajarkan GUSDURian, dan GUSDURian mencoba untuk hadir di tengah-tengah masyarakat untuk menjadi mediator untuk semua kelompok dan golongan,” ungkap Hanafi.
Memasuki acara inti, talkshow dimulai dengan menghadirkan lima narasumber, yakni Kiai Adhi Maftuhin selaku Rois Syuriah MWCNU Mandiraja, Aan Luki Saputra selaku pegiat seni dan budaya, Nining Tati Rahayu selaku pendamping lokal desa, Henricus Tony Kristianto dari Paroki ST. Antonius Banjarnegara, dan Masturido selaku Koordinator Wilayah GUSDURian Jateng-DIY. Talkshow berlangsung dengan baik, audiens yang datang sangat antusias mendengarkan berbagai hal yang disampaikan oleh para narasumber.
Seperti yang disampaikan Kiai Adhi Maftuhin, dalam hidup bermasyarakat kita harus belajar dari Gus Dur dalam melihat berbagai persoalan yang terjadi. “Jadi ketika melihat persoalan, Gus Dur memahami akar masalah dan fokus pada solusi sehingga penyelesaian masalah menjadi lebih mudah,” ungkapnya.
Menurut Aan Luki Saputra, sebagai pemuda yang menjaga kearifan lokal harus belajar dari nilai-nilai yang diajarkan oleh Gus Dur. “Di mana kita harus bisa memanusiakan manusia lain dan mengerti kondisi sosial sehingga bisa hidup berdampingan dengan berbagai kebudayaan, nilai, norma dan harus senantiasa mengedepankan musyawaroh,” terangnya.
Selain Aan, narasumber yang lain juga menyampaikan keselarasan nilai-nilai yang diajarkan Gus Dur sebagai fondasi dan landasan dalam menjalani kehidupan supaya berlangsung baik dan tercipta perdamaian. Henricus Tony Kristianto dari Paroki ST. Antonius Banjarnegara menyampaikan, dengan adanya GUSDURian, gereja katolik bersama dengan sedulur lintas iman mampu berkolaborasi melakukan praktik baik dalam sosial dan kemanusiaan.
Dalam kesempatan yang sama, Masturido selaku Koordinator Wilayah GUSDURian Jateng-DIY juga menyampaikan bahwa semenjak didirikan, GUSDURian selalu aktif dan berusaha penuh untuk berkontribusi dan membantu menyelesaikan berbagai permasalah di daerah rawan konflik maupun bencana alam, seperti yang sudah dilakukan GUSDURian di Nduga, Papua. “GUSDURian peduli sudah membangun honai dan membangun sekolah sebagai aksi nyata kepedulian,” ujarnya.
Memasuki akhir sesi, acara ditutup dengan doa lintas iman yang dibacakan oleh perwakilan masing-masing agama dari Islam dibacakan oleh Kiai Muhammad Mujamil, dari Katolik oleh Romo Valentinus Sumanto, Pr., dari Kristen oleh Pendeta Lukas Suhardi, dari Hindu oleh Yeppy Teguh, dari Buddha oleh Swastika, dan dari kepercayaan oleh Karsun.
Proses doa lintas iman berlangsung sangat khidmat diikuti oleh seluruh hadirin. Dari peringatan haul Gus Dur ini ada satu harapan bersama tentang rasa saling menghormati, saling menjaga di antara perbedaan harus senantiasa dijaga dan ditumbuhkan. Dan seperti kata Gus Dur, Indonesia ada karena perbedaan. Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita melanjutkan.