Tahun 2025 baru berlangsung sebentar, tapi kita sudah diperlihatkan begitu banyak amukan alam di berbagai belahan dunia. Banjir merajalela, sungai tercemar oleh aktivitas tambang, kebakaran hutan membahana, hingga persoalan sampah di mana-mana. Yang terakhir disebut itu persoalan lawas, tak peduli tahun demi tahun telah berganti.
Tapi kalau kita ingat-ingat, sambutan penuh amarah alam pada awal tahun baru semacam ini bukannya kali pertama. Dari tahun-tahun sebelumnya, berita-berita semarak kembang api tak berselang lama berganti menjadi berita bencana-bencana alam. Mungkin alam seperti laki-laki, alam tidak bercerita tapi tiba-tiba banjir, karhutla, dan lain-lain. Jelas ungkapan ini hanyalah joke belaka, tanpa bermaksud bias gender, jadi tidak usah baper.
Maksudnya, kira-kira begitulah bahasa alam, agar manusia peka, agar manusia introspeksi diri tentang perbuatannya yang telah sebegitunya menyakiti perasaan ibu bumi. Bencana-bencana itulah luapan emosi jagat meratapi nasibnya yang hari demi hari dibuat semakin merana oleh tangan-tangan manusia. Terutama tangan-tangan orang yang punya kuasa tapi minim sensitivitas dan pengetahuan tentang kelestarian buana. Andai saya adalah Doel Sumbang, maka saya akan merevisi lirik lagu Kalau Bulan Bisa Ngomong, kira-kira liriknya akan jadi seperti ini:
Andai bumi bisa ngomong…
dia jujur tak akan bohong…
…
…
Kalau bumi bisa ngomong..
Sayang bumi tak bisa ngomong..
Coba kalau bisa ngomong..
Dia pasti tak akan bohong..
Meskipun ya, berbagai bencana yang disebut di atas adalah kuasa Tuhan, tapi campur tangan manusia tidak bisa diabaikan. Kebakaran hutan yang dahsyat itu salah satu faktornya adalah perubahan iklim. Dan aktivitas manusia punya andil sangat besar pada perubahan iklim tersebut. Begitupun dengan banjir yang melanda berbagai wilayah di Indonesia termasuk juga di Saudi Arabia. Untuk kasus di Indonesia sendiri, kita tidak bisa menutup mata dan telinga bahwa aktivitas penggundulan hutan sebegitu maraknya, bahkan kegiatan pengrusakan alam itu didukung oleh kebijakan pemerintah yang tidak masuk akal.
Dalam agenda Cangkrukan Komunitas GUSDURian Jogja (10/01/2025), Arami Kasih selaku aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Iklim mem-break down beberapa isu lingkungan yang tengah kita hadapi. Sebutlah krisis iklim, deforestasi, polusi dan sampah, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Tapi apa yang dilakukan pemerintah sungguh bertolak belakang. Kebijakan-kebijakan yang muncul sama sekali tidak berbelas kasih pada permasalahan lingkungan. Lihatlah export pasir laut yang merusak ekosistem bahari, kebijakan omnibus law, dan pernyataan presiden baru yang mempersamakan kebun sawit dengan hutan alam.
Dalam hal ini, sepenggal lirik lagu dari Trio Kwek Kwek sudah paling tepat. Indonesia Negeriku, orangnya lucu-lucu. Coba dipikirkan, humor macam apa lagi yang mampu menandingi lelucon-lelucon pemerintah itu? Tidak bisa tidak, bumi butuh pahlawan yang bisa menyelamatkannya. Tapi siapa?
Kata Mbak Ara, komunitaslah yang menjadi garda terdepan untuk menjaga lingkungan. Kita tidak bisa memungkiri jasa-jasa komunitas peduli lingkungan yang demikian tekun mengkampanyekan zero waste, menggalakkan program transisi energi dengan memperhatikan potensi masyarakat dan lingkungan setempat, begitu pula komunitas keagamaan yang mulai menyasar isu-isu lingkungan sebagai diskursus dalam perbincangan mereka.
“Krisis iklim butuh upaya kolektif,” kata Mbak Ara. Lantas apa saja upaya kolektif itu? Jawabannya sebenarnya itu-itu saja, hampir semua orang mungkin sudah tahu, walaupun pelaksanaannya, entahlah. Tapi yang namanya hal penting memang harus dibicarakan berulang-ulang. Jadi tetap saja, akan saya bocorkan jawabannya di sini.
Upaya kolektif itu antara lain: Pertama terkait dengan sampah, setiap orang harus (untuk tidak lagi mengatakan “sebaiknya”) mengurangi sampah. Bila perlu, hitung produksi sampah kita setiap hari, khususnya sampah plastik. Dengan begitu kita bisa tahu perilaku kita sendiri, apakah waktu demi waktu semakin boros sampah, sama saja, atau berhasil mengurangi. Kemudian, biasakan juga memilah sampah antara yang organik dan non-organik? Bila sanggup dan telaten, olahlah sampah secara mandiri, misalnya jadi produk kompos untuk jenis sampah organik. Kita juga bisa memilih produk-produk yang ramah lingkungan saat membeli kebutuhan sehari-hari.
Upaya kolektif kedua adalah hemat energi. Kita tidak boleh apatis alias jor-joran dalam menggunakan energi. Praktik baik yang bisa kita lakukan adalah dengan memberlakukan jam mematikan listrik di rumah kita atau di kamar kos kita. Jangan dikira, upaya kecil itu tetap ada dampaknya bagi kelestarian alam. Tidak ada usaha sekecil apa pun yang layak diremehkan. Karena dengan menerapkan itu, setidaknya kita telah jadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.
Di samping upaya-upaya kecil itu, kita memang tetap membutuhkan orang-orang seperti Gus Dur. Mengapa tiba-tiba ngomongin Gus Dur? Ya karena Gus Dur itu merupakan tokoh besar yang berpihak pada masyarakat yang menjaga lingkungan. Beberapa aktivis dan pejuang lingkungan sebutlah Aak Abdullah Al-Kudus dan Leonard Simanjuntak (Kepala Greenpeace Indonesia) mengakui bahwa Gus Dur memiliki pandangan yang holistik tentang lingkungan dan juga secara aktif menemani perjuangan-perjuangan pahlawan lingkungan hidup.
Welas asih Gus Dur pada lingkungan juga tercermin pada kebijakan-kebijakan yang diambilnya semasa menjabat sebagai presiden. Pertama, Gus Dur merupakan tokoh yang menganjurkan land reform alias kedaulatan agraria demi keadilan bagi para petani. Gus Dur semasa menjabat presiden pernah bilang bahwa perusahaan perkebunan itu mencuri tanah rakyat, sehingga harus dikembalikan. Kedua, Gus Dur juga membidani lahirnya Tap MPR IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketiga, Gus Dur mempelopori pembangunan berbasis maritim untuk kedaulatan sumber daya laut dan pesisir.
Gus Dur juga menginisiasi gerakan hijau yang diwajibkan bagi setiap parpol, kebijakan moratorium tebang hutan dan pendidikan berwawasan lingkungan. Selanjutnya, yang sangat penting dan lain dari presiden lain, Gus Dur menolak industri-industri ekstraktif yang merusak sumber daya alam. Coba ingat-ingat, apakah ada presiden lain yang seperti Gus Dur kepedulian lingkungannya? Kalau mau membandingkan presiden saat ini dengan Gus Dur juga boleh banget loh.
Nah, inti dari membahas soal Gus Dur adalah bahwa absennya tokoh-tokoh sepertinya –yang membela dan menjaga lingkungan di garda terdepan– juga menjadi bagian penting dari krisis alam yang kita hadapi saat ini. Akhir kata, Gus Dur sudah meneladankan, saatnya kita melanjutkan.