(Catatan Jalan-Jalan Toleransi, Edisi Spesial Haul Gus Dur Januari 2025)
Yogyakarta – Pada tanggal 30 Januari 2025, saya mendampingi tiga siswa dari SMA Cahaya Bangsa Utama (Kinderstation Senior High School) ikut kegiatan Jalan-Jalan Toleransi yang diadakan oleh Komunitas GUSDURian Yogyakarta di Gereja Katolik Baciro dan Masjid Jami’ Fadhli Umar.
Dalam perjalanan menuju tempat kumpul, salah satu siswa menanyakan pada saya ‘Apakah GUSDURian itu artinya gus yang jual durian’? Sepintas ini make sense, karena ada term gus dan durian.
Sebagai penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta, saya sering mendengar kalimat serupa. Pertanyaan salah satu siswa itu bukan yang pertama, ada banyak orang yang juga punya pemikiran sama. Bahkan acap kali seorang presidium komunitas GUSDURian Yogyakarta menjadikan ‘gus-gus penjual durian’ sebagai humor saat sambutan.
Saya sendiri mengenal dan mengikuti komunitas GUSDURian Yogyakarta setelah lulus kuliah. Kala itu (November 2023) saya ikut Kelas Penggerak GUSDURian (KPG) yang diadakan di daerah Kaliurang. Itu artinya saya sudah berdinamika bersama lebih dari 1 tahunan, waktu yang masih belia tapi menarik untuk direfleksikan. Jika saya tidak ikut KPG kala itu, saya yakin akan memiliki pemahaman yang sama dengan siswa yang bertanya perihal gus-gus penjual durian.
Selama proses belajar dan dinamika bersama rekan-rekan di komunitas Santri Gus Dur (SGD) Yogyakarta, saya menyadari bahwa 1) GUSDURian bukan gus-gus penjual durian. 2) GUSDURian adalah identitas yang melekat pada pribadi-pribadi yang belajar dari sosok KH. Abdurrahman Wahid, familiar disapa Gus Dur (mantan Presiden ke-4 RI).
Ada banyak hal yang saya pelajari di komunitas GUSDURian, khususnya bersama Santri Gus Dur. Sejak awal sebagai penggerak, sembilan nilai utama Gus Dur mulai dari ketauhidan, kemanusian, keadilan, kesetaraan, pembebasan, persaudaraan, kesederhanaan, kekesatriaan, dan kearifan tradisi dielaborasi dalam beragam kegiatan.
Untuk mengaktualisasikan nilai dan pemikiran Gus Dur tersebut, para penggerak khususnya yang di Yogyakarta memilah dan memilih isu-isu sentral hasil rakorsan antara lain: isu toleransi, pendidikan inklusif, demokrasi dan keadilan ekologi sebagai gerakan sosial bersama.
Salah satu agenda rutinan untuk merawat nilai dan isu arus utama tersebut, diadakan kegiatan Jalan-Jalan Toleransi (Jalan Tol). Jalan Tol bukan jalan buatan raja Jawa, ini adalah gerakan yang dikemas dengan santai dalam bentuk jalan-jalan untuk membahas isu-isu toleransi dan ekologi.
Jalan Tol dirancang sebagai ruang pertemuan lintas iman dengan berkunjung langsung ke berbagai rumah ibadah. Tujuannya ialah agar para peserta dapat saling mengenal dan memperdalam pemahaman tentang keberagaman secara langsung dan mengobservasi hal-hal apa saja yang ada di setiap rumah ibadah masing-masing agama.

Pada edisi Haul Gus Dur yang ke-15 tahun ini agenda Jalan Tol menyasar para peserta khusus untuk siswa SMA. Keterlibatan peserta yang lazimnya terbuka untuk umum menjadikan Jalan Tol edisi ini spesial. Para siswa dari beberapa sekolah di daerah Yogyakarta diajak untuk berpartisipasi langsung dan belajar keberagaman melalui kegiatan tour rumah ibadah, udar rasa tentang pengolahan sampah di setiap rumah ibadah. Ada pun peserta yang ikut antara lain: 5 siswa SMA Pangudi Luhur, 3 siswa SMA Cahaya Bangsa Utama, 5 siswa SMA Stella Duce Dua, 5 siswa SMA Bopkri Satu, dan 5 santri MA Nurul Ummah.
Perwakilan siswa dari setiap sekolah tersebut diajak berkeliling, mendengarkan cerita sejarah rumah ibadah, nilai-nilai toleransi yang terkandung dalam tradisi keagamaannya, serta berdiskusi dan bertanya langsung dalam rangka memahami keragaman satu sama lain dari pemangku agama di Gereja Katolik Kristus Raja Baciro dan Masjid Jami’ Fadhli Umar Yogyakarta.
Para siswa dan siswi yang berusia belasan tahun ini belajar tentang toleransi yang dibumbui dengan racikan persoalan ekologis. Salah satu peserta dari MA Nurul Ummah dalam sesi sharing, mengungkapkan, “Saya jadi mengenal lebih dalam tentang gereja. Melihat langsung ruangan pengakuan dosa. Yang biasanya hanya lihat dari luar atau lihat di film-film sekarang bisa lihat langsung”.
Romo Aan, selaku pastor Paroki Baciro menyambut baik kegiatan jalan tol ini sebagai ruang belajar tentang nilai-nilai universal kemanusiaan. Hal senada diakui kembali oleh Pak Murti, pengurus masjid, yang mengutarakan perhatiannya bahwa kegiatan berkunjung dan belajar dari pengalaman iman agama lain menjadi momen yang sangat penting dalam hidup bersama di negara Indonesia yang plural.
Secara pribadi, setelah saya berdinamika bersama Santri Gus Dur, pun mengakui bahwa belajar dan berjumpa langsung dari orang yang berbeda adalah suatu panggilan untuk mematangkan nurani dan menajamkan nalar manusia.
Saya dan kita semua menyadari bahwa pertama kita lahir dengan identitas sebagai manusia, setelahnya nyusul identitas ‘manusia beragama’. Kalau punya kematangan naluri dan ketajaman naluri seharusnya “manusia beragama dengan baik” dan tidak takut akan keberagaman, apalagi benci. Kata Gus Dur, “Gitu aja kok repot”.