Pada 15 Februari pagi waktu menunjukkan pukul 08.00 WITA, para siswa Sekolah Jejaring Agama untuk Lingkungan dan Toleransi (Jagat) GUSDURian bertandang ke rumah salah satu pejuang lingkungan di Kota Manado, Sulawesi Utara.
Sebelum kunjungan berlangsung, para panitia Sekolah Jagat di Manado telah membagi para siswa menjadi tiga kelompok. Salah satu kelompok diarahkan untuk berkunjung ke salah satu titik untuk mendengar kisah para pegiat lingkungan berjuang melestarikan alam. Para siswa yang datang tidak hanya mereka yang tinggal di sekitar Sulawesi Utara, tapi juga dari daerah lain seperti Papua dan Gorontalo.
Kunjungan para siswa Sekolah Jagat itu untuk menyelami dan menggali lebih dalam tantangan yang tengah dihadapi pejuang lingkungan seperti Ibu Restin Bangsuil, warga Karangria, Kecamatan Tuminting, Kota Manado yang gigih mempertahankan pesisir laut dari proyek reklamasi.
Sebagaimana diketahui, kawasan Manado Utara yang meliputi Kelurahan Sindulang 1, Sindulang 2, Karangria, Maasing, Tumumpa 1, dan Tumumpa 2 adalah target kawasan proyek reklamasi yang digagas oleh PT. Manado Utara Perkasa (MUP) sebagai perusahaan pengembang.
Dilansir dari Tempo.co, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, (KKP) Victor Gustaaf Manoppo, menyatakan bahwa penimbunan pesisir pantai itu ditolak karena dinilai merampas ruang hidup warga, terutama kelompok nelayan.
Reklamasi yang mendapatkan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat itu dikerjakan oleh PT Manado Utara Perkasa. Sementara izin penimbunan kawasan pesisir pantai itu dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) di tahun 2019.
Seiring dengan perubahan regulasi, izin tersebut dilanjutkan oleh KKP. “Cuma karena perubahan regulasi, izin reklamasi harus dari pusat, ya (kami) lanjutkan sekarang,” kata Victor, dikutip dari Tempo.co, Minggu 23 Februari 2025.
Intimidasi dan Iming-iming Uang
Ibu Restin menceritakan pengalamannya mengawali perjuangan bersama warga Karangria dan sekitarnya dalam mempertahankan wilayah pesisir utara Manado dari proyek reklamasi itu.
Menurut Ibu Restin dan warga di sekitar pesisir laut utara Manado, mempertahankan alam dari ancaman kerusakan bukan semata-mata berjuang untuk lingkungan, tapi juga berjuang mempertahankan hak dan kemanusiaan.
“Bagi kami perjuangan ini sangat penting. Kalau bukan kita lalu siapa lagi? Kami warga di sekitar Karangria yang masuk wilayah reklamasi bergantung hidupnya pada laut. Jika reklamasi ini tidak ditolak, ancaman atas lingkungan dan mata pencaharian warga hilang,” kata Ibu Restin saat menerima kunjungan siswa Sekolah Jagat GUSDURian di kediamannya.
Akan tetapi dalam memperjuangkan kawasan pesisir laut utara Manado dan nasib nelayan sekitar, terkadang Ibu Restin mendapatkan intimidasi dari berbagai oknum. Bahkan tak tanggung-tanggung, ia dan warga lainnya diiming-imingi uang dengan tujuan agar mereka menghentikan penolakan terhadap proyek reklamasi.
Namun Ibu Restin dan warga lainnya tak pernah goyah iman. Ia menolak berbagai bujuk rayu yang justru mengorbankan perjuangan yang tengah dilalui bersama warga Karangria selama ini.
“Ada upaya intimidasi melalui telepon, ada juga yang datang ke tempat kerja saya. Bahkan ada juga yang menawari uang agar kami menghentikan penolakan proyek reklamasi ini. Jika saya ambil, itu berarti saya mengorbankan kemanusiaan dan lingkungan,” ucapnya.
Para siswa Jagat nampak serius menyelami setiap cerita yang dikisahkan Ibu Restin, namun sesekali juga menggali lebih dalam darinya. Kedatangan para siswa Jagat sengaja dirancang untuk menerima pengalaman maupun merasakan dinamika yang dialami pengelola lingkungan.

Perjuangan Butuh Solidaritas
Sebagai Koordinator Perempuan Tolak Reklamasi, Ibu Restin menyampaikan kepada siswa Jagat bahwa setiap perjuangan sangat sulit dilakukan jika hanya sendiri. Perjuangan, lanjutnya, membutuhkan solidaritas yang kuat.
Selama ini, Ibu Restin dan ibu-ibu warga di Kelurahan Karangria merupakan garda terdepan melawan proyek reklamasi di pantai utara Manado. Adakalanya, Ibu Restin dan ibu-ibu warga Karangria dan sekitarnya turun menyuarakan penolakan atas proyek reklamasi.
“Kami yang tergabung dalam gerakan Perempuan Menolak Reklamasi pantai utara Manado adalah garda terdepan, dan saya meyakinkan kepada ibu-ibu lainnya, bahwa perempuan hadir di muka bumi ini adalah ras terkuat,” ucap Ibu Restin dengan penuh semangat di hadapan para siswa Sekolah Jagat GUSDURian.
Sebagai salah satu pendamping Siswa Sekolah Jagat GUSDURian, saya bertanya bagaimana respons pemerintah atas perjuangan para warga dalam mempertahankan wilayah pesisir utara Manado dari proyek reklamasi selama ini?
Jawaban Ibu Restin sangat memantik api perlawanan, terutama bagi siswa Jagat GUSDURian yang kala itu menyimak ceritanya. Penilaian warga yang dengan getol menolak reklamasi terhadap pemerintah menurun drastis. Pemerintah kelurahan hingga provinsi justru melanggengkan proyek reklamasi selama ini.
Namun dengan begitu, perjuangan Ibu Restin dan warga pesisir utara Manado itu tak pernah surut. Mereka terus berjuang dan membangun jejaring aliansi agar lingkungan pesisir pantai dan nasib warga di enam kecamatan itu terus disuarakan.
“Bagi saya, perjuangan ini tidaklah mudah, apalagi di saat awal-awal membangun aliansi. Perjuangan juga butuh kelihaian mengelola emosi. Bagaimana menyatukan visi bersama di antara banyak karakter emak-emak yang berbeda itu jadi tantangan,” terangnya.

Laut untuk Semua
Usai menyelami kisah yang selama ini di perjuangan warga Karangria, para Siswa Sekolah Jagat diajak Ibu Restin melihat langsung wilayah pesisir yang masuk zona reklamasi tak jauh dari kediamannya.
Para Siswa Jagat melihat langsung adanya pemugaran kawasan pesisir untuk proyek reklamasi. Para siswa tak lupa mengunjungi Base Camp sebuah tempat berkumpulnya para warga sekitar yang terletak di pesisir pantai Karangria.
Dalam kunjungan ke tempat itu pula, kami ditemani Piter Sasundame, purnawirawan polisi yang saat ini dipercaya menjadi Sekjen Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan (AMPL) Sulawesi Utara.
Bagi Ibu Restin, Piter dan warga di enam kelurahan pesisir utara Manado, laut tidak hanya sebagai sumber kehidupan warga sekitar, tapi juga tempat hidupnya spesies ikan yang hanya hidup pesisir pantai dengan pasir hitam, seperti gurita kecil dan biota laut lainnya.
Sebagaimana diceritakan, bahwa pesisir utara Manado juga merupakan tempat berkembang biaknya penyu. Sewaktu-waktu, kata Ibu Restin, wilayah pesisir laut karangria adalah tempat bertelurnya penyu. Ia dan warga terkadang membuat penangkaran jika tiba waktu penyu bertelur. Selain itu, Ibu Restin dan para warga juga mengkhawatirkan rusaknya terumbu karang di laut pesisir utara Manado akibat adanya proyek reklamasi.
Padahal penyu dan terumbu karang dalam dalam UUD tentang Konservasi SDA merupakan jenis biota laut yang wajib dilindungi. Lalu, bagaimana jika proyek reklamasi ini terus berlangsung?
“Reklamasi sangat menyusahkan kami. Apalagi kami menghidupi anak-anak untuk bersekolah. Program pemerintah, anak-anak harus pintar, harus bersekolah kong torang pe pantai mo di tambung dan torang so nda ada mata pencaharian. Torang mo kase sekolah bagaimana torang pe anak-anak?” tuntut Ibu Meske, salah satu warga Karangria saat melakukan orasi di depan Gedung DPRD Sulawesi Utara, pada 7 Oktober 2024.
Lebih lanjut, ungkap Ibu Meske, bahwa reklamasi juga mengancam tumbuhan ubi jalar atau ketela pantai yang selama ini menopang perekonomian warga. Selain menambah pendapatan ekonomi, daun ubi jalar pantai diyakini sebagai obat untuk berbagai jenis penyakit.
“Daun ubi jalar pantai itu adalah obat berbagai penyakit. Seperti meriang, manfaatnya bisa untuk ibu-ibu usai persalinan dan penyakit lumpuh. Sayang dari pihak pemerintah, ubi jalar yang hidup di kawasan pantai justru diberi racun,” terang Ma Meske, sapaan akrabnya.

Jejak Warisan Kemaritiman Gus Dur
Laut menyimpan banyak potensi sumber daya alam dan menjadi pusat penghidupan ekonomi warga. Memperkuat wilayah laut bukan hanya sekedar menegakkan kedaulatan, tetapi juga sebagai wujud pemberdayaan ekonomi.
Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid saat dilantik menjadi presiden keempat Indonesia, meletakkan kembali dasar-dasar pembangunan ekonomi berbasis maritim yang selama ini hanya berbasis darat. Bagi Gus Dur, perlu adanya reorientasi ekonomi dari daratan kembali ke lautan.
Gus Dur dan Hendri Kariawan dalam buku berjudul Membangun Ekonomi Kelautan menyatakan perlunya memperhitungkan keadaan bahwa hampir 2/3 kawasan Indonesia adalah laut.
Karenanya, laut itu sendiri haruslah menjadi lahan utama untuk mata pencaharian bangsa kita. Ini berarti harus adanya pandangan hidup bangsa yang lebih mementingkan laut dari pada darat, karenanya perkembangan laut dalam segala aspeknya harus diutamakan (Gus Dur –Kariawan, 2004).
Gus Dur dengan tegas menyatakan, bahwa menjaga kelestarian kekayaan yang dikandung laut, baik berupa makhluk hidup, terumbu karang maupun pulau-pulau kita haruslah mendapatkan prioritas utama.
Bahkan kata Gus Dur, jika pun ada ekspor pasir laut harus dilarang karena membahayakan keberadaan gugusan pulau-pulau yang ada. Hal itu sebagaimana dilontarkan Gus Dur saat menyikapi kapal-kapal yang disewa Singapura menghisap pasir dari pulau-pulau di provinsi Riau saat itu.