Sekolah Harus Aman: GUSDURian Mojokerto Diskusikan Tiga Dosa Besar Pendidikan

MOJOKERTO – Komunitas GUSDURian Mojokerto mengadakan Forum-17 yang bertempat di GKI Mojosari pada Jumat, 21 Februari 2025,. Tema yang diangkat kali ini adalah “Strategi Efektif dalam Mencegah Tiga Dosa Besar Pendidikan: Perundungan, Kekerasan Seksual, dan Intoleransi”.

Topik ini tidak lain bermula dari salah satu video yang mendapatkan pro-kontra di media sosial. Sebuah konten yang menunjukkan betapa pendidikan di Indonesia masih belum baik-baik saja berkenaan dengan perundungan, kekerasan seksual, maupun isu intoleransi. Video ini pun viral dan menguak berbagai perspektif di kolom komentar berkenaan dengan pengalaman pribadi maupun cemooh-cemoohnya.

Sebagai bentuk counter, GUSDURian Mojokerto kemudian mengadakan ruang perjumpaan dan mengundang tiga narasumber dari berbagai bidang. Mereka adalah Eka Sandi Nugroho selaku pendeta GKI Mojokerto sekaligus content creator dari salah satu video yang telah dijelaskan di atas. Narasumber yang kedua adalah Herlina Christi Nugraheni, Guru Bahasa Inggris SMPN 1 Puri, dan terakhir yakni Risya Rifqotus Sa’diyah, seorang penyuluh agama Islam Kota Mojokerto

“Di dunia pendidikan, apakah anak-anak aman? Nyaman? Dimanusiakan?” begitulah kiranya kata-kata pembuka Herlina, narasumber pertama pada acara Forum 17-an tersebut.

Ia, dalam penjabarannya, lebih memberikan sudut pandang pendidikan secara praktis. Sebagai pelaku pendidik, Herlina membagikan pengalaman yang dirasakan selama mengajar di sekolah negeri. Sebagaimana terjadi di SMPN 1 Puri, Herlina menjelaskan bahwa sekolahnya sudah melakukan MoU dengan berbagai pihak, baik psikolog, puskesmas, desa, yang kemudian upaya ini diharapkan bisa berdampak dan menciptakan suasana kondusif di sekolah.

Sedangkan Pendeta Sandi juga turut membagikan pengalamannya yang pernah menjadi kaum minoritas, mayoritas, maupun semi-mayoritas ketika sedang menempuh pendidikan. Di sini, ia merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang korban maupun pelaku perundungan dan pengecualian. Sehingga ia berpikir bahwa perundungan dan intoleransi antar murid adalah sebuah kewajaran.

Pendeta Sandi mengatakan bahwa murid merupakan pembelajar, wajar jika melakukan kesalahan. Terlebih ketika mereka masih saling tidak mengerti dan tidak mengenal satu sama lain, serta tidak memahami bagaimana berhadapan dengan orang-orang yang berbeda dengan mayoritas di antaranya. Sehingga murid-murid minoritas sering kali dikecualikan dan dikucilkan.

“Kalau diskriminasi antarmurid, wajar, karena mereka belajar. Lah belajarnya itu adalah kepada guru. Maka untuk guru jangan mencontohkan,” ungkapnya.

Inilah yang kemudian menjadi poin permasalahan Pendeta Sandi, bahwa kini banyak oknum pengajar yang mengajarkan, mencontohkan, serta memfasilitasi adanya perundungan di lingkungan pendidikan. Merekalah yang kemudian menjadi figur untuk ditiru oleh para murid. Merekalah yang akhirnya membuat dunia pendidikan tidak baik-baik saja karena telah memberikan rasa tidak aman pada murid-muridnya yang berbeda.

Kemudian pada pemaparan dari Risya Rifqotus Sa’diyah sendiri, lebih menekankan pada strategi pencegahan tiga dosa besar di dunia pendidikan. Paparannya tidak lain merupakan upaya preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tiga dosa besar di ranah pendidikan. Ada beberapa poin yang ia sebutkan dalam dialognya.

Pertama adalah membangun pendidikan keadilan relasi sejak dini. Salah satunya adalah berbuat baik kepada setiap orang tanpa mengkotak-kotakkan atau pilih-pilih.

“Kalau kamu mau dibaiki orang, maka berbuat baiklah ke orang lain,” ucapnya.

Risya kemudian menyebutkan makna salah satu surat dalam Al-Quran surat al-Ahzab ayat 58 yang berbunyi, “Orang-orang yang menyakiti mukminin dan mukminat tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, sungguh mereka telah menanggung kebohongan dan dosa yang nyata.”

‌Selain itu, ia juga menyebutkan untuk memberi perhatian intensif pada pelaku, korban, maupun saksi. Risya menyatakan bahwa secara tidak langsung pelaku perundungan juga merupakan korban, karena tidak tahu bagaimana memperlakukan dengan baik. Sehingga perlu adanya penyuluhan maupun rehabilitasi agar mereka bisa sadar akan perlakuan, kejadian yang menimpa, dan apa yang harus dilakukan jika berhadapan dengan peristiwa tersebut.

‌Pada poin yang lain, anak-anak juga harus diajarkan bagaimana batas kenyamanan dirinya. Risya mencontohkan seperti melatih menolak orang yang menyuruh untuk merendahkan. Dalam hal ini, Risya berkaca pada posisinya yang merupakan seorang guru di lingkungan pesantren. Selama mengajar para santri (murid), ia sering kali menekankan pada mereka untuk lebih mawas diri, bahkan terhadap guru sendiri sekalipun.

“Saya selalu menekankan pada murid-murid saya, ‘Kalian jangan mau dipanggil dengan sebutan ‘nduk’ (Jw: Panggilan untuk anak perempuan). Kalian punya nama. Beranilah untuk mengatakan ketidaknyamanan kalian untuk dipanggil dengan sebutan lebih dekat. Begitupun jika ada guru lelaki yang menyuruh untuk datang ke rumah atau ruangan yang hanya ada dirinya saja. Jangan mau! Ajaklah teman, jangan sampai sendirian!’” ujar Risya.

Melihat paparan di atas kemudian perlu disadari bahwa seluruh pelaku pendidikan memiliki perannya masing-masing untuk memerangi tiga dosa besar. Tidak ada yang benar-benar menganggur untuk menghadapi masalah ini. Baik orang tua, guru, murid, maupun masyarakat secara umum sama-sama merupakan stakeholder yang harus saling mendukung dan berjuang, saling mendidik dan mengingatkan, dan saling setuju bahwa tiga dosa besar ini merupakan penyakit yang bersifat urgen untuk diberantas bersama-sama.

Penggerak Komunitas GUSDURian Mojokerto, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *