“Sudahkah kita beragama?”
Itulah pertanyaan pengantar untuk menelusuri jejak religiusitas bangsa Indonesia hari ini. Pertautan antara paskah, idulfitri dan nyepi tidak dimaksudkan untuk mengeksklusikan ketiga kelompok agama yang sedang dan akan merayakan hari besarnya dari kelompok agama lain. Tidak. Kebetulan ketiga hari raya ini dirayakan dalam waktu yang hampir bersamaan pada tahun ini.
Penyebutan ketiga hari raya besar dari ketiga agama ini ingin mengangkat suatu makna tentang kesejatian manusia. Paskah, bagi orang Kristen, merupakan puncak iman mereka, suatu perayaan kemenangan. Yesus Kristus yang mereka imani, datang sebagai juru selamat kemudian menderita, wafat, dan bangkit untuk menyelamatkan mereka yang selama itu bergelut dalam ruang kedosaan. Dosa yang dimaksud pun bermacam-macam, antara lain yang dapat disebutkan di sini, yaitu ketamakan, kebencian, pengingkaran terhadap hukum kasih (kasih sayang terhadap Tuhan yang diimani dan diwujudnyatakan pada sesama) dan seterusnya.
Pada Hari Raya Idulfitri selain merupakan tanda berakhirnya bulan suci Ramadan, momen ini dirayakan oleh umat Muslim di seluruh dunia sebagai momen kemenangan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Di Indonesia, idulfitri juga dikenal sebagai lebaran dan merupakan waktu untuk saling bermaafan, mempererat silaturahmi, serta berbagi kebahagiaan dengan keluarga, teman, dan orang-orang yang membutuhkan. Tradisi seperti salat idulfitri, mudik (pulang kampung), dan memberikan zakat fitrah menjadi bagian penting dalam perayaan ini.
Imam al-Ghazali seorang filsuf dan sufi besar abad XI menjelaskan bahwa kemenangan dalam idulfitri bukan hanya sekedar kemenangan fisik setelah menahan lapar dan haus, tetapi lebih pada kemenangan spiritual dalam mengendalikan hawa nafsu. Penekanannya adalah soal kembali ke fitrah, yaitu kondisi jiwa yang bersih dari dosa. (Al-Ghazali, 1990)
Selain itu, salah satu ulama besar Indonesia Buya Hamka menyatakan bahwa idulfitri adalah refleksi dari perjuangan manusia dalam melawan ego dan kembali kepada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Menurutnya, idulfitri tidak hanya bermakna secara spiritual, tetapi juga sebagai momentum sosial untuk memperbaiki hubungan dengan sesama. (Tempo, 8 Mei 2021)
Hari Raya Nyepi bagi umat Hindu merupakan momen untuk menyucikan diri dan alam, serta menyeimbangkan kembali hubungan manusia dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), sesama manusia, dan lingkungan (Tri Hita Karana). (Rico Wahyu Eka Yunata, 2024) Singkat kata, hari raya ini mengandung makna yang sangat mendalam dan kompleks. Tentu saja bahwa hari raya ini membawa setiap umat Hindu masuk dalam ruang refleksi tentang keseharian manusia dalam konteks relasionalitasnya. Hal yang sama juga tentu saja dimaknai dari kedua hari raya dalam kedua agama lainnya yang disebutkan di atas. Pertautan ketiga hari raya dari ketiga agama ini sejatinya bertujuan untuk mengundang setiap pribadi untuk sejenak berefleksi tentang realitas kehidupan hari ini.
Ketika setiap umat berjuang dengan tradisinya menyambut hari rayanya masing-masing, persoalan di tengah kehidupan semakin kompleks. Pembunuhan seolah hal biasa yang saat ini mengurai kisah pilu di jagat maya. Persoalan korupsi amat memilukan. Problem kebijakan yang menimbulkan pro dan kontra yang kemudian menyebabkan kerusuhan di mana-mana dan darah mengalir bak tak berfaedah dalam kehidupan manusia.
Tapi pada kenyataannya, mereka tidak satupun yang tidak beragama. Sebuah pertanyaan nyeleneh muncul, “Kok bisa?” Apa dampak dari keberagamaan itu sendiri? Apakah itu hanya sekedar pelengkap administrasi? Bingung? Seperti korupsi sangat menggemparkan dengan nilai yang tidak masuk akal. Untuk apa uang sebesar itu? Memilukan tentu saja.
Indonesia sendiri dalam laporan Ceoworld pada 8 April 2024 menempatkannya sebagai negara ketujuh paling religius di dunia. Sebanyak 98,7 persen responden dari Indonesia mengaku religius. Di antara negara-negara G20, Indonesia adalah satu-satunya negara yang masuk dalam 40 negara paling religius di dunia. (Kompas, 8 Maret 2025)
Pada tempat yang lain, Jonathan Evans, seorang peneliti senior Pew Research Centre yang berfokus pada penelitian agama, melakukan survei tentang komitmen beragama di 102 negara dalam rentang tahun 2008 hingga 2023. Dalam laporan yang dirilis 9 Agustus 2024 di situs resmi Pew Research Centre, Indonesia menduduki urutan pertama sebagai negara yang memprioritaskan agama dan berdoa setiap hari. (Kompas, 22 Februari 2025)
Data ini beririsan dengan kenyataan hidup manusia Indonesia hari ini. Bahwa pada waktu yang sama, Lembaga Transparency International (TI) menguraikan datanya dengan menyebut CPI (Corruption Perception Index) Indonesia tahun 2024 tercatat berada di angka 34 dan menempatkan Indonesia di urutan ke-110 dari 180 negara. (Kompas, 22 Februari 2025) Lalu pertanyaannya adalah ke mana kekuatan religiusitas yang telah diperoleh dari proses keberagamaan atau keberimanan bangsa ini?
Maka momen ketiga hari raya besar ini perlu menjadi kesempatan untuk kembali “sadar diri” akan eksistensi kita sebagai individu-individu yang beragama atau yang beriman. Doa jangan sampai hanya sekedar jiplakan kata untuk menyenangkan hati Sang Khalik yang diimani. Akan tetapi doa dan iman itu berbuah dalam keseharian. Iman sejatinya perlu sampai menyentuh manusia dalam segala sisi antara lain soal keadilan, harkat dan martabatnya, dan seterusnya. Maka mengutip bahasa seorang rasul yang mengatakan “iman tanpa perbuatan adalah sia-sia” (Yakobus, 2:17). Dengan kata lain, iman yang tidak diwujudnyatakan dalam keseharian adalah suatu kesia-siaan belaka.