Yang Sama dan yang Berbeda di Idul Adha Tahun Ini

Idul Adha yang bertepatan dengan hari Jumat sudah sering terjadi akhir-akhir ini. Pembahasan perihal hukum jumatan pun cukup ramai di internet dan media sosial. Bagiku, tidak ada alasan tidak jumatan sebab telah salat Idul Qurban. Sebab tidak terbebani jarak ke masjid maupun kesulitan lainnya yang pernah dialami para Sahabat pada masa silam. Bila ada yang memilih tidak jumatan, silakan, yang penting punya referensi ilmunya.

Pagi tadi, Jumat (6/6/2025), ternyata aku terlambat datang ke masjid. Saat aku masuk masjid, Sang Khatib baru saja membuka salam khutbahnya. Aku pun menjadi perhatian beberapa jamaah. Aku sempat berpikir untuk saat itu mendirikan salat Id sendirian. Karena alasan menjadi pusat perhatian beberapa jamaah, akhirnya kuputuskan untuk salat Idul Adha setelah khatib selesai berkhutbah. Apakah boleh? Setelah kubaca beberapa artikel di NU Online, kesimpulanku boleh dan sah.

Kenapa pagi ini aku terlambat? Apakah karena ini pengalaman pertama melaksanakan salat Idul Adha di masjid dalam kompleks rumah sakit? Jawaban pertanyaan kedua sih masih logis untuk dipilih sebagai jawaban. Namun setelah merefleksikan diri, ada beberapa faktor yang membuatku terlambat. Faktor terbesar tentu saja berasal dari dalam diri sendiri. Misalnya berpikiran kalau salat Id di kompleks rumah sakit akan lebih mundur. Kalau mau cari alasan lainnya, ya ada. Seperti tidak ada pengumuman di masjid dan/atau rumah sakit perihal waktu salat Id. Yang ada justru banner perihal nama khotib. Hehehe.

Pengalaman itu tentu menjadi catatan penting untuk terus belajar merefleksikan ke dalam diri atas situasi dan keadaan yang terjadi. Alih-alih hanya menyalahkan hal-hal di luar diri. Meski demikian, aku akan tetap menulis di medium saran rumah sakit, agar dalam pelaksanaan salat Id di masjid RS untuk diumumkan detail jamnya.

Ada yang Sama dan yang Berbeda 

Dimulai dari segi teknis pelaksanaan salat Idul Adha, teknis pagi hari ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Mengikuti khutbah lalu mendirikan salat Id. Perihal rasa, tetap sama. Aku tetap merasakan getaran spiritual Idul Qurban saat malam takbir sebelum hingga mulai terdengar lantunan takbir sahut-menyahut dengan lirih dari kamar ruang inap rumah sakit.

Bedanya lagi, pagi hingga siang ini belum bisa menikmati sate kurban, sate ayam. Tidak mudik ke kampung halaman. Memang ada tradisi yang berbeda di salah satu musala di dusun tempat ayahku dilahirkan: di Dusun Kawatan, Desa Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Yakni tradisi selain menyembelih sapi dan/atau kambing, menyembelih puluhan ayam, disate, dimakan bersama di tempat dan boleh dibungkus. Beberapa tahun terakhir, penyembelihan hewan kurban di musala-musala dusun difokuskan di balai dusun. Menjadi semakin meriah dan tentu saja ada sate dan gule sapi kambing yang siap disantap.

Dari kecil hingga berkepala tiga ini, menikmati situasi dan sate merupakan sebuah kebahagiaan yang sangat istimewa sebagai umat Islam di Indonesia. Tradisi itu menjadi salah satu dari kekayaan tradisi Islam yang membumi di Indonesia. Pribumisasi Islam kalau menurut Gus Dur.

Ada hal unik dan membahagiakan lainnya di Indonesia perihal Idul Qurban. Pagi ini aku menerima ucapan selamat dan doa dari pendeta serta majelis gereja. Alhamdulillah. Aku sendiri juga pernah beberapa kali merayakan Idul Qurban bersama dengan kawan-kawan lintas agama. Bedanya di tahun ini, sepertinya aku belum bisa bergabung. Sedih sekali.

Kalau perihal isi khutbah, aku memiliki beberapa catatan.

Pertama, saat khatib menyebutkan kelompok rentan yang perlu mendapatkan perhatian di hari raya, hanya menggunakan kalimat anak yatim dan janda yang mencari nafkah. Bagaimana nasib para duda yang tidak berdaya? Apa hanya janda yang perlu diperhatikan? Apa karena kata janda itu produksi dari budaya patriarki? Barangkali itu yang perlu mulai direfleksikan bersama. Saya pernah menyaksikan sendiri, justru seorang janda yang membantu seorang duda yang tidak berdaya secara ekonomi.

Yang menarik, sang khatib juga menyebut mereka-mereka yang kehilangan pekerjaan, khususnya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang tidak memenuhi hak-hak pekerja sebagai kelompok yang perlu mendapatkan perhatian dan kegembiraan di hari raya.

Kedua, ada penggalan kisah yang baru kudengar, bahwa proses penyembelihan Nabi Ismail sudah dilakukan. Hanya saja, pisau yang digunakan tidak mempan menggores kulit leher Nabi Ismail. Hal itu bahkan dilakukan hingga tiga kali. Saat kucek di NU Online dengan judul “Sejarah Kurban: Teladan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail”, kutemukan dan kubaca kisahnya yang lebih lengkap.

Ketiga, biasanya, refleksi atas kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, masih hanya seputar dan secara langsung dikaitkan dengan ketaqwaan kepada Allah SWT. Bedanya, khatib tadi menarik kepada sebuah motivasi yang lebih universal. Bahwa saat menghadapi kesusahan, hadapi saja. Sebab ada janji kemudahan. Saat ada musibah, pasti ada hikmah. Apalagi hanya ada masalah, pasti dapat dicari jalan keluar terbaiknya. Bagiku, refleksi ini berhubungan dan memperkuat masalah kesehatan mental yang cukup tren di kalangan Generasi Milenial dan generasi selanjutnya.

Penulis belum menemukan refleksi kisah Nabi Ibrahim dengan Ismail untuk memperkuat ketahanan keluarga. Bagaimanapun Nabi Ibrahim sebagai hamba Allah dan seorang ayah yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri. Anak yang selama ini didambakan kehadirannya selama bertahun-tahun. Kemudian adanya dialog antara ayah dan anak dalam rangka menjalankan sebuah perintah Tuhan. Kisah epik itu pun ditutup dengan penyembelihan hewan yang sekaligus menutup budaya tumbal manusia. Menegaskan bahwa setiap manusia adalah makhluk yang mulia. Refleksi tersebut diharapkan dapat memperkuat hubungan dalam keluarga yang humanis, sehingga dapat mencegah kekerasan terhadap anak. Mengingat kekerasan terhadap anak saat ini terus meningkat.

Terakhir, sudah harus mulai diperbanyak dan diarusutamakan tentang refleksi dari sebuah kisah-kisah besar dalam agama-agama untuk mendukung generasi selanjutnya dalam menghadapi persoalan-persoalan sosial yang semakin kompleks. Membangun peradaban yang lebih baik pun membutuhkan sebuah pengorbanan yang besar.

Selamat Hari Raya Qurban.

Penggerak Komunitas Gitu Saja Kok Repot (KGSKR) GUSDURian Pasuruan. Dosen UNU Pasuruan. Ketua LTNNU PCNU Kabupaten Pasuruan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *