Kearifan Lokal sebagai Penawar Konflik di Era Digital Native

Manusia adalah makhluk yang sangat unik. Ia mampu menciptakan budaya dan lingkungan sosial di mana di dalamnya mereka dapat beradaptasi baik dengan lingkungan fisik dan biologisnya. Tak terkecuali dengan habitus ataupun praktik-praktik tradisi juga ikut diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Pada gilirannya hal ini mengakibatkan manusia tidak lagi menyadari dari mana asal warisan ataupun tradisi tersebut berasal. Generasi berikutnya pun demikian, di mana mengikuti pola yang terkondisikan dan memaksa mereka untuk menerima “The True” mengenai nilai, pandangan, konstruksi sosial, dan standar perilaku bagi mereka.

Di era sekarang, individu dapat dikatakan cenderung mudah menerima dan mempercayai hal yang diungkapkan oleh budaya komsumerasi media sosial, hoaks, dan sebagainya. Pada saat seperti inilah seharusnya kearifan lokal muncul sebagai pegangan hidup, khususnya dalam aksiologi gerakan maupun standar nilai masyarakat digital native.

Maka dari itu perlu untuk diketahui sebelumnya bahwasanya kearifan lokal merupakan suatu istilah yang mencuat ke permukaan dengan mengadopsi prinsip, nasihat, tatanan, norma, dan perilaku leluhur kita di masa lampau yang masih sangat urgen untuk diaplikasikan dalam menata berbagai fenomena ataupun problematika yang muncul.

Kearifan lokal juga dapat dikatakan sebagai bagian dari konstruksi budaya. Dalam beberapa pandangan ahli seperti John Haba, bahwasanya kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai, dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat. Maka di sinilah perlu diketahui bahwasanya keberadaan kearifan lokal di era ini dapat dianggap sebagai suatu alternatif guna untuk memecahkan berbagai problem dan konflik intoleransi antarsesama.

Adapun kearifan lokal yang dimaksud di sini adalah kearifan lokal yang ditengarai dan mampu menciptakan suasana sejuk dalam interaksi antarsesama umat beragama. Kearifan lokal sebagai alat perekat sekaligus penghubung bagi sebuah masyarakat yang majemuk. Di sini juga perlu diketahui bahwasanya kemajemukan masyarakat Indonesia sifatnya multidimensional, yaitu ditimbulkan oleh perbedaan suku, strata sosial, organisasi politik, agama, dan sebagainya. Tidak bisa dipungkiri keanekaragaman suku, bahasa, adat istiadat dan agama tersebut merupakan suatu hal magis yang harus diterima sebagai kekayaan bangsa kita.

Namun, keanekaragaman atau pluralitas kita harus diakui juga masih mengandung berbagai kerawanan yang pada suatu waktu dapat memunculkan konflik kepentingan, khususnya kepentingan antara kelompok. Era reformasi kiranya memang telah membawa perubahan yang begitu besar terhadap Indonesia, tidak terkecuali bagi para penganut agama lokal atau kelompok minoritas.

Khususnya dalam hal pengakuan terhadap eksistensi, mereka dianggap memiliki kearifan yang dapat memberikan sumbangsi bagi penanganan konflik di Indonesia. Setidaknya kearifan lokal yang kita miliki ini telah menghantar kita pada suasana damai di tengah-tengah kemajemukan. Untuk itu, keberadaan kearifan lokal sudah sepantasnya dan seharusnya mendapat perhatian khusus untuk dikembangkan sebagai power maupun identitas nasional suatu bangsa.

Sebagai kerangka kultur, kearifan lokal harus pula dipahami sebagai basis sosial yang memiliki kekuatan penggerak dalam berbagai hal, termasuk dinamika konflik yang tidak usai-usai. Adapun pengoptimalan potensi kearifan lokal sebagai sebuah alternatif merupakan bagian dari pendekatan budaya untuk mengatasi berbagai konflik yang mencuat di media sosial saat ini. Selain itu, terdapat juga pendekatan politik, ekonomi, dan sosial yang masing-masingnya memiliki titik tekan pola penyelesaian sendiri atas konflik. Namun, kesemuanya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi.

Terlepas dari berbagai catatan tersebut, setidaknya ada enam hal yang kemudian menjadi fungsi dari kearifan lokal jika ingin dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk pendekatan dalam menyelesaikan konflik ataupun intoleransi.

Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas; Kedua, elemen perekat lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan; Ketiga, kearifan lokal sifatnya tidak memaksa atau dari atas (top down), tetapi sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, daya ikatnya lebih mengena dan bertahan; Keempat, kearifan lokal memberi warna kebersamaan bagi sebuah komunitas; Kelima, local wisdom akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal-balik individu dan kelompok, dengan melekatkannya di atas common ground/kebudayaan yang dimiliki; Keenam, kearifan lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi.

Dari fungsi kearifan lokal tersebut telah menegaskan pentingnya pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai atau kearifan lokal (local wisdom). Sumber-sumber budaya yang ada ini menjadi sebuah penanda identitas bagi kelangsungan hidup kelompok maupun aliran kepercayaan, khususnya di era digital native. Masyarakat luas tidak lagi percaya ataupun kurang mempercayai ritus tradisi dikarenakan komsumerasi media sosial yang tidak seimbang. Konflik yang menyertainya pun juga akan mampu dikelola secara arif dan tidak selalu melibatkan politik kekuasaan sebagaimana selama ini dipraktikkan melalui hubungan agama dan negara di Indonesia dengan dijadikannya kearifan lokal sebagai “the magic bidder” untuk berbagai konflik intoleransi yang marak terjadi.






_______________________________________
Tulisan ini pertama kali dimuat di https://substack.com/inbox/post/164145596?r=5qq7nv&utm_campaign=post&utm_medium=web&triedRedirect=true

Penggerak Komunitas GUSDURian Makassar, Sulawesi Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *