“Agama adalah penyelamat manusia dari dosa dan api neraka”. Barangkali itulah pandangan beragama yang dilekatkan kuat-kuat dalam kesadaran kita sejak kecil. Baru belakangan ini, ketika krisis iklim sampai pada titik terparah dalam sejarah, para agamawan, akademisi, serta aktivis mulai membangun dan menguatkan kesadaran bahwa “agama bukan hanya soal dosa-pahala, surga-neraka, halal-haram. Agama juga tentang alam dan agama bisa menjadi penyelamat bagi lingkungan”.
Dalam Islam, dalil rahmatan lil ‘alamin semakin gencar ditekankan untuk menjadi pijakan syar’i aksi-aksi pencegahan kerusakan dan merawat lingkungan. Pun dalam Katolik, mendiang Paus Fransiskus pada 2015 mengeluarkan ensiklik Laudato Si’ yang mengajak umat untuk menjaga dan merawat alam dari kehancuran. Upaya menggali basis spiritualitas bagi pelestarian lingkungan pun banyak dilakukan dalam agama dan kepercayaan lainnya.
Dalam satu kesempatan, Roy Murtadho (pengajar Pesantren Ekologi Misykat Al Anwar) menyatakan bahwa cinta kasih di muka bumi serta rahmatan lil ‘alamin itu mencangkup semua aspek baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat dan itu merupakan bagian dari tugas profetik. Menurutnya, kita tidak akan bisa beragama dengan baik jika lingkungannya rusak. Sebagai contoh, dalam Islam hal paling dasar yang dipelajari dalam fikih adalah tentang thaharah alias bersuci. Dalam bab itu disebutkan jenis-jenis air mutlak yang bisa kita gunakan untuk bersuci salah satunya adalah air sungai. Akan tetapi kita patut bertanya, masih absahkah air yang bersumber dari sungai-sungai di Indonesia saat ini disebut sebagai air mutlak? Padahal semuanya telah tercemar, berubah warna, berubah bau dan berubah rasa? Sekali lagi, beragama tidak akan bisa jika lingkungannya rusak.
Roy Murtadho juga mengatakan, dalam teologi pembebasan manusia hendaknya berbicara pada realitas sehari-hari sebelum berbicara kepada Tuhan. Agama bukan hanya ketika kita sedang menjalani ritual-ritual keagamaan semata. Karya kita pada kehidupan juga bagian dari peristiwa keagamaan. Kegiatan-kegiatan keagamaan pun sudah semestinya selalu selaras dengan denyut pelestarian bumi.
Meningkatnya kesadaran akan hal ini telah berhasil mendorong banyak gerakan lingkungan. Kita patut mengapresiasi ketika beberapa daerah mulai melarang penggunaan single use plastic dalam kegiatan keagamaan. Pemerintah kabupaten di DIY menjadi salah satu yang turut mengintervensi untuk tidak menggunakan plastik sekali pakai dalam pembagian daging kurban tahun ini.
Tentu aksi nyata penyelamatan lingkungan ini tidak hanya berjalan di kalangan umat Muslim saja. Sejak sekitar tiga tahun lalu, Gereja Santo Paulus Pringgolayan (GSPP) Yogyakarta juga telah memulai aksi lingkungan di wilayah gereja. Menurut Henricus, bukan upaya yang mudah untuk mengedukasi jemaat sekedar untuk memilah dan mengolah sampah yang dihasilkan dari aktivitas mereka di gereja. Butuh waktu bertahun-tahun untuk benar-benar mengintegrasikan gereja dalam aksi lingkungan yang riil.
Pada akhirnya, hasil tidak menghianati upaya. Saat ini kegiatan-kegiatan ekologis sudah menjadi rutinan setiap Sabtu di GSPP. Hasil pengelolaan sampah jemaat di gereja ini bahkan sudah mampu mendukung kegiatan keagamaan. Misalnya saja, pada Sabtu (07/07/2025) GSSP mengadakan kegiatan Sedekah Rosok. Dana yang terkumpul dari penjualan rosok kemudian dipergunakan untuk mendukung penyelenggaraan Penerimaan Sakramen Krisma 2025. Dari sini kita melihat betapa simbiosis mutualisme antara agama dan lingkungan bersinergi secara nyata di gereja ini.
Saya pribadi menyaksikan langsung bagaimana integrasi gerakan agama dan gerakan lingkungan direalisasikan dalam kegiatan Sedekah Rosok. Sabtu pagi di area gereja, sejumlah jemaat dari kalangan ibu-ibu, bapak-bapak, dan beberapa anak muda sudah sibuk berhadapan dengan tumpukan sampah baik yang sudah terkumpul dari aktivitas gereja maupun yang disetor oleh jemaat lainnya. Jenis sampah yang diterima dalam sedekah rosok ini meliputi plastik, kertas, besi, dan elektronik bekas.
Pagi itu semua orang bergerak cekatan memilah sampah. Ibu-ibu ambil bagian dalam memisahkan botol air mineral dari tutup dan plastik mereknya. Sebagian lain memilah sampah plastik antara jenis yang satu dengan jenis yang lain. Urusan menyortir dan menata kardus-kardus bekas kebanyakan dikerjakan oleh para bapak. Setiap jemaat yang datang membawa sampah akan ditanya “dari lingkungan mana?” Dalam sedekah rosok ini, setiap lingkungan yang telah menyetor akan dicatat.
Semua yang hadir bekerja dengan giat sejak sekitar pukul delapan pagi hingga menjelang siang. Sampah-sampah plastik yang menggunung, tumpukan kardus dan kertas/buku-buku bekas serta barang-barang elektronik sudah tertata rapi dan siap untuk dijual. Setiap barang elektronik juga dicek kondisinya apakah masih berfungsi atau tidak. Jika masih ada barang seperti sepatu, HP atau apa pun yang masih bisa digunakan, jemaat boleh mengambilnya untuk dimanfaatkan.
Di Gereja Santo Paulus Pringgolayan, Sedekah Rosok bukan satu-satunya kegiatan yang in line dengan upaya merawat alam. Setiap Sabtu gereja ini selalu mengadakan kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan misalnya membuat ekoenzim, mengolah ekoenzim menjadi sabun pembersih, memperkenalkan tanaman-tanaman di lingkungan gereja kepada anak-anak, melakukan perawatan tanaman dan pepohonan di lingkungan gereja, dan lain-lain.
Dengan banyaknya kegiatan itu, tidak mengherankan jika Gereja Pringgolayan sering menjadi rujukan dan percontohan khususnya dalam hal pengelolaan sampah dalam institusi keagamaan. Gerakan-gerakan semacam ini memang patut untuk disebarkan dan dilakukan secara masif jika berkaca pada kenyataan bahwa kegiatan-kegiatan keagamaan (dalam agama dan kepercayaan mana pun) selama ini menjadi faktor penyumbang krisis sampah yang tidak bisa disepelekan. Jika persoalan sampah di institusi keagamaan telah tertangani dengan baik, setidaknya itu telah mengurangi sekian persen permasalahan sampah yang menjadi bencana nasional bahkan bahkan bencana global.