Nyaris semua orang tahu bahwa nama “Abdurrahman Wahid” bermakna luhur. Abdurrahman berarti “hamba yang pengasih” dan sering diasosiasikan dengan salah satu sosok filantropis dalam golongan Assabiqunal Awwalun, Abdurrahman bin Auf. Namun, ia justru dikorting sedemikian rupa hingga tersisa kata “Dur” dengan “Gus” di depannya. Lebih akrab, lebih membumi. Dan ia, sang empunya nama, tak pernah mempermasalahkannya.
Melihat hal ini—saya kira—jika saja ada sepasang verba yang paling gencar Gus Dur perjuangkan, mungkin jawabannya ialah “membumi” dan “membumikan”.
Menelusuri Verba yang Hilang
Di sepanjang hayatnya, Gus Dur berseberangan dengan keangkuhan, lawan kata dari tawadhu alias rendah hati. Keangkuhan bukan sebuah verba, melainkan nomina yang fungsi-fungsinya didorong oleh verba yang disebut melangit, lawan kata dari membumi yang punya saudara kandung yang lumrah disapa merakyat.
Banyak metode yang dilakukan Gus Dur untuk membumikan segala hal. Istana, misalnya, yang bernada feodalistik selama lebih dari tiga dekade, dibuka untuk publik sehingga Paspampres pusing tujuh keliling dibuatnya. Saat judi berkedok Porkas dan SDSB merusak sendi-sendi kehidupan lapisan bawah, ia justru menjadikan sepak bola sebagai pisau analisis dalam membaca situasi politik nasional maupun internasional.
Membumi juga berkaitan erat dengan lokalitas. Jika saja sebuah bangsa diibaratkan kapal, lokalitas berperan sebagai lambung yang menopang seluruh badan kapal dan menahan tekanan air. Dan itulah satu-satunya bagian kapal yang tenggelam. Ketika arabisasi merebak luas, bahkan sampai menimbulkan friksi, sang kolumnis berpeci malah berkampanye untuk mengganti “assalamu’alaikum” dengan “selamat pagi”, “selamat siang” atau “selamat sore” tergantung konteks waktunya. Gus Dur mafhum, lokalitas mesti dirawat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara konotatif, kata membumi dan membumikan mempunyai disparitas. Membumi cenderung berfokus pada subjek yang bermain di dalamnya. Ia tak selalu membutuhkan objek untuk melegitimasinya sebagai kata kerja. Sementara membumikan butuh sebuah otoritas bernama objek untuk menjadikannya absah. Ringkasnya, membumi adalah tingkatan pertama sebelum membumikan.
Membumi merupakan verba yang bersangkut paut dengan tanah yang kita pijak: bumi. Bumi bukan pusat alam semesta. Ia bukan pula bintang yang mampu memancarkan cahayanya sendiri ataupun pemilik gravitasi maha-tinggi yang membuat planet-planet mengitarinya. Sebagai kata dasar, bumi diciptakan sebagai landasan bagi manusia untuk melatih dirinya mendongak ke langit. Bumi adalah sumber praksis, sementara langit merupakan sumber hipotesis, tempat semua hal yang belum teruji.
Bukankah kita dibiasakan untuk berpikir sambil menatap langit dan merenungi kesalahan sambil menentang tanah oleh guru mengaji? Manusia, sebesar atau sehebat apa pun, diperintahkan untuk tak melupakan tempat dirinya berasal dan berakhir. Oleh karena itulah, ketika manusia mati, ia dikebumikan, bukan malah dilangitkan.
Membumi sebagai verba punya sifat yang egaliter dan demokratis, sangat kontras dengan melangit yang terkesan eksklusif. Ini dapat ditinjau dari kendaraan utama manusia: kaki. Kaki jelas menapak bumi. Manusia tak dibekali sayap. Kalaupun ada, sayap itu tentu berasal dari teknologi bernama pesawat terbang yang tak semua kalangan bisa menaikinya. Dengan membumi, manusia beradaptasi di tengah dinamika, sehingga memungkinkan dirinya mencari akar dari segala sesuatu, menelisik inti dari polemik-polemik yang ada hari ini. Sebab, akar tumbuh di bawah tanah, bukan di antara awan.
Membumi juga berarti membatasi formalisme yang terlalu rigid. Kata kerja ini ibarat mengangkat bagian dasar gunung es, yang berkali lipat lebih kompleks dan mematikan, ke atas permukaan. Dengan membumi, kita belajar memandang segala hal secara substantif lalu memprediksi ekses-eksesnya.
Maraknya Keangkuhan
Jika saja konteksnya dilebarkan sedikit ke realitas sosial dewasa ini, rasa-rasanya, membumi kian menjauh perlahan dari gerak napas bangsa. Literasi politik, misalnya, hanya diposisikan sebagai milik kalangan akademisi. Ruang-ruang akademik, yang seharusnya inklusif itu, kini justru bersemayam di wadah sempit berisi pemahaman berbelit yang menjaga jarak dari pelaku utamanya: rakyat yang tertindas. Ini sama halnya dengan membangun jembatan terbatas untuk segelintir orang.
Sementara itu di akar rumput, masyarakat terus-menerus mengambang di pusaran kebingungan dengan beragam informasi yang tak akurat dan setengah-setengah. Alhasil, sudah tak terhitung lagi pejabat publik terpilih yang memandang rakyat, yang sejatinya merupakan hierarki tertinggi dalam piramida demokrasi, sebagai warga kelas dua. Kesombongan elite, meminjam frasa Franz Magnis-Suseno, dipoles dengan nilai-nilai populisme yang direduksi menjadi sekadar retorika saat proses elektoral berlangsung. Media sosial disulap menjadi etalase baru bagi konten politik viral yang penuh narasi sensasional namun bias.
Para elite—didampingi kameramen pribadinya—berlomba-lomba masuk gorong-gorong, melakukan sidak pada proyek ilegal, hingga membagi-bagikan sembako di gang-gang sempit. Kemudian, ketika ada pihak yang melontarkan kritik, narasi pembenaran diproduksi secara masif. Pembuatnya? Anonim yang entah dikendalikan dari mana dan oleh siapa. Dan ironisnya, kita menyadari bahwa semua hal ini berporos pada keangkuhan. Padahal, manifestasi membumi bukan soal siapa yang paling kumal, melainkan siapa yang selalu siap repot di garda terdepan.
Ironisnya, satu-satunya gerbang masuk untuk mendekonstruksi ini semua ialah political will sebagai komitmen tegas dari para pembuat kebijakan.
Di Langit, namun Membumi
Dalam menerapkan membumi dan membumikan, Gus Dur adalah sebaik-baiknya teladan. Bagaimana tidak? Gus Dur justru memilih untuk membumi ketika dirinya sudah ada di langit: statusnya sebagai cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), anak sulung dari Menteri Agama, dan Ketua Pengurus Besar NU (PBNU) selama tiga periode barangkali sudah cukup menerangkan di mana dirinya bertumpu.
Alih-alih bertindak seenak perut karena darah birunya, ia justru membumikan fenomena langit ke dalam bahasa yang paling sederhana. Altruisme itulah yang justru terbukti menggambarkan sifat langit: membentang dan mampu menggapai seluas-luasnya, dari wong cilik hingga para elite yang bertabur bintang. Dan kini, menjadi tugas kita bersama untuk mengembalikan verba yang hilang tersebut.