Literasi AI di Pesantren: Jalan Tengah Menuju Generasi Emas 2045

Bulan lalu, pertengahan Juni 2025, penulis mencoba mencari informasi melalui ChatGPT tentang profil salah satu pengasuh dari empat pesantren tertua di Kabupaten dan Kota Pasuruan. Pesantren tersebut telah berumur lebih dari satu abad, sehingga pesantren ini pun mendapatkan penghargaan Anugerah 1 Abad Nahdlatul Ulama pada tahun 2023. Akan tetapi, jawaban ChatGPT ternyata tidak tepat. Sebab menyamakan pengasuh tersebut dengan tokoh yang berbeda.

Apabila cerita di atas di-publish medsos, penulis mencoba memprediksi respons dan komentar netizen. Pertama, bisa jadi ada yang akan menyalahkan aplikasi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang menggunakan teknologi pengolahan bahasa alami (Natural Language Processing/NLP) untuk memahami dan merespons pertanyaan yang diinput. Lalu memberi saran untuk berhati-hati hingga larangan menggunakan teknologi tersebut. Kedua, menyalahkan civitas pesantren, sebab tidak membuat konten tentang pesantren di dunia digital, sehingga AI itu salah dalam menyimpulkan. Maka warganet itu akan menyarankan agar pesantren membuka akses internet dan AI di pesantren. Kedua respons itu bisa jadi dari civitas pesantren, alumni misalnya, dan dari bukan civitas pesantren.

Untuk respons yang ketiga, yang terakhir ya, sebab angka tiga identik dengan sunnah Rasul. Respons ini datang dari alumni santri kalong. Menurut Clifford Geertz, penulis buku Agama Jawa, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, santri kalong adalah santri yang belajar namun memilih tidak mukim di gutean atau asrama tempat tinggal di pesantren. Jawabannya akan menghindari menyalahkan AI atau civitas pesantren. Ia lalu menyimpulkan bahwa betapa kurangnya informasi tentang semesta khazanah pesantren di dunia digital. Dunia yang hari ini dapat berpengaruh terhadap perkembangan pengetahuan dan karakter bagi generasi milenial, generasi Z, dan generasi alpha. Tiga generasi yang akan mendominasi di tahun 2045 atau biasa dikenal sebagai Generasi Emas.

Kemudian ia menyarankan untuk mendiskusikan dan merumuskan upaya strategis dan teknis dalam meningkatkan dan mengembangkan literasi digital bagi civitas pesantren melalui pendidikan pesantren (Definisinya mengacu kepada Ketentuan Umum di Undang-Undang Pesantren) yang memiliki kekhasan tradisi dan keilmuan yang beragam. Mengingat lembaga pendidikan Islam tradisional ini memiliki kekhasan tradisi yang beragam, yang bersumber dari jejaring nasab, jejaring keilmuan, dan jejaring perjuangan yang dimiliki oleh pengasuhnya masing-masing.

Perihal model gerakan literasi digital di pondok pesantren, penulis teringat dengan hasil disertasi Abu Amar Bustomi, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Pasuruan. Disertasi yang dipertahankan dalam Sidang Terbuka di Program Studi Doktor Ilmu Sosial Universitas Merdeka Malang pada awal Juni 2025 itu, menemukan tiga model pesantren dalam merespons era post-truth melalui adaptasi kebijakan media sosial dan integrasi literasi digital.

Pertama, Model Protektif. Model ini memprioritaskan stabilitas nilai. Model ini melindungi santri dari informasi yang menyesatkan. Sisi lain yang dapat menghambat kesiapan santri dalam menghadapi dunia digital. Kedua, Model Integratif. Model ini menggabungkan pengawasan dengan pelatihan literasi media. Model ini dianggap adaptif dan relevan dalam menjembatani tradisi dan modernitas. Ketiga, Model Progresif. Model ini tidak hanya memanfaatkan media sosial, tetapi mengembangkannya secara aktif sebagai bagian dari kurikulum dan strategi dakwah.

Sebagaimana prediksi respons netizen sebelumnya, perlu mengambil cara yang digunakan oleh alumni santri kalong, sehingga tidak menyalahkan pesantren yang memilih model protektif atau menganggap pesantren yang memilih model progresif berpotensi kehilangan tradisi dan keilmuan agama yang mendalam. Sebab pengasuh pesantren masing-masing yang dapat memutuskan sebuah kebijakan sesuai dengan kekhasan tradisi yang bersumber dari jejaring nasab, jejaring keilmuan, dan jejaring perjuangan. Harus dihormati, diterima, dan dihargai.

Sebagaimana kesimpulan Clifford Geertz, bahwa kiai pengasuh pesantren di Jawa dulu berperan sebagai makelar budaya (cultural broker). Bertugas menyaring budaya baru yang baik dan menolak budaya baru yang buruk. Ada temuan yang berbeda dengan itu, yakni disertasinya Hiroko Horikoshi. Bahwa seorang pengasuh dapat mengambil peranan tersendiri dalam membangun budaya masyarakat setempat sehingga respons dan kebijakan pesantren beragam. Di era post-truth ini, peran pengasuh di atas tentu mengalami dinamika dan tantangan yang semakin kompleks dan sangat cepat berubah. Apalagi saat ini, ada pesantren dengan pengasuh seorang kiai sepuh, atau kiai muda, atau ibu nyai atau gus atau ning.

Andai penulis ditanya atau dimintai saran oleh pengasuh pesantren, penulis akan mengusulkan optimalisasi pelaksanaan dan pengembangan pendidikan pesantren untuk mendukung generasi emas. Salah satu caranya dengan mengajari AI tentang ‘semesta khazanah pesantren’. Dimulai dengan menulis ulang khazanah keilmuan, tradisi pesantren, profil pengasuh pesantren, hingga perjuangan sosial pesantren di dunia digital. Konten dengan jenis tulisan itu kemudian diubah menjadi konten di berbagai media sosial. Dari semua jenis konten itu, dapat digunakan sebagai pengayaan materi/modul di pendidikan pesantren saat berselancar di dunia digital. Konten itu sekaligus menjadi media dakwah dan upaya pemberdayaan masyarakat, khususnya generasi milenial, generasi Z, dan generasi alpha. Tiga generasi yang mengisi Generasi Emas 2045, yang saat ini sangat menikmati berselancar di dunia digital.

Penggerak Komunitas Gitu Saja Kok Repot (KGSKR) GUSDURian Pasuruan. Dosen UNU Pasuruan. Ketua LTNNU PCNU Kabupaten Pasuruan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *