JEMBER – BEM FKIP Universitas Jember berkolaborasi dengan Komunitas GUSDURian Jember dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jember dalam acara Talkshow Rasitara Berdialektika dengan tema “Refleksi Pendidikan di Bumi Pandalungan” pada Kamis, 20 November 2025.
Acara ini diawali oleh sambutan ketua panitia dan dilanjutkan sambutan oleh Ketua BEM FKIP Universitas Jember, Devi Aryanti. Devi mengungkapkan kebahagiaannya karena bisa menjalin kerja sama dengan GUSDURian Jember untuk yang kedua kalinya. “Di tahun lalu kami melakukan dialog lintas iman dan tahun ini kita mendiskusikan refleksi pendidikan di Bumi Pandalungan,” paparnya.
Dalam diskusi kali ini terdapat tiga pemateri. Pemateri pertama, Fatia Inast Tsuroya dari GUSDURian Jember menyampaikan bahwa permasalahan-permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia menjadi tantangan besar bagi masyarakat sipil dan pemerintah. Inast memaparkan data terkait permasalahan pendidikan yang terjadi di Jember harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah.
“Pertama, 40.000 anak di Jember putus sekolah, tentu ini angka yang sangat besar, dan kenapa bisa terjadi di Jember? Di mana notabenenya banyak sekali kampus di Jember. Kedua, 1.500 gedung sekolah negeri di Jember rusak. Dari sini bisa dilihat bahwa kami lebih butuh fasilitas sekolah yang layak daripada MBG,” ungkapnya.
Inast melanjutkan, ada juga kasus bullying di MTSN Jember, yang mana pelakunya diduga anak guru hingga menyebabkan korban pindah sekolah. Dan parahnya hingga saat ini belum mendapatkan keadilan bagi pelaku ataupun korban.
“Ada juga isu kesejahteraan guru, khususnya guru honorer, yang jauh dari kata layak, sehingga ada sebagian guru yang terlilit hutang atau pinjol. Guru dituntut untuk ikhlas dengan gaji yang minim dalam menjalankan tugas mulia untuk mencerdaskan anak bangsa. Tentu ini sebuah ketidakadilan,” kata Inast.
Selain itu, ada juga kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di kalangan pelajar ataupun mahasiswa. Lebih mengejutkan lagi, kekerasan seksual juga bisa terjadi di lembaga pendidikan agama ataupun pesantren.
“Aparat yang seharusnya menjadi penegak hukum untuk mengadili kasus ini namun yang terjadi malah sebaliknya, aparat menikahkan korban dengan pelaku. Tentu ini menimbulkan permasalahan baru bagi korban,” ungkapnya.
Menurutnya, kasus-kasus pendidikan yang terjadi di Jember juga terjadi di Brasil. Filsuf asal Brasil, Paulo Freire, mengkritik ketimpangan atas pendidikan, di mana pendidikan yang baik hanya bisa diakses oleh pemilik modal. Inast mengajak para mahasiswa atau calon pendidik yang hadir untuk meneladani apa yang dilakukan oleh Freire, mengganti pendidikan gaya bank ke pendidikan yang ideologis serta memanusiakan peserta didik.
“Karena melalui pendidikan yang humanis, harapan besarnya kita bisa menjadi manusia yang adil dan beradab dalam mengambil kebijakan apa pun,” pungkasnya.
Sementara itu, pemateri kedua dari perangkat Dinas Pendidikan Jember, Supomono, menyampaikan bahwa menjadi seorang guru adalah pilihan, maka harus dilakukan dengan ikhlas.
“Usaha yang dilakukan oleh Kemendikbud dengan menggelar pelatihan-pelatihan bagi para guru sudah kami dilakukan. Kita melakukan apa yang sudah diamanahkan oleh presiden untuk menyalurkan Smartboard atau Interactive Flat Panel (IFP) yang didistribusikan untuk sekolah-sekolah di Indonesia sebagai bagian dari program digitalisasi pembelajaran. Alat ini dapat digunakan untuk menampilkan konten pelajaran, termasuk animasi,” paparnya.
Terakhir, pemateri ketiga dari GKI JEMBER, calon pendeta Jonathan menyampaikan kritik pendidikan yang ada di Kristen, seperti kegiatan menghafal. Menurutnya kegiatan ini terkadang membuat anak-anak tidak paham terhadap isi konteks Al-Kitab. Dirinya sendiri lebih menyukai anak yang paham dan bisa menerapkan Al-Kitab dalam kehidupan sehari hari.
“Gereja tidak hanya menjadi tempat ibadah, namun bisa menjadi tempat belajar, membangun relasi. Di GKI Jember ada berbagai macam kegiatan, seperti, ibadah Minggu, sekolah Minggu, rapat, arisan, kebaktian rumah tangga, hingga outing pemuda remaja,” jelasnya.
Diskusi ini berjalan dengan meriah dan interaktif, sehingga para mahasiswa dari FKIP UNEJ, UIN KHAS Jember, Universitas Islam Jember, maupun jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jember yang hadir sekitar 150 orang antusias untuk berdialektika.









