Sudah dua kali aku menyaksikan secara langsung perayaan Goan Siao atau Cap Go Meh di Kota Gorontalo, kota yang disebut-sebut sebagai Serambi Madinah. Salah satu alasanku membenarkannya yaitu keberadaan masjid. Jika kita menghitung masjid di kota ini, akan kelelahan sendiri. Namun di tengah ke-mayoritas-an umat Muslim di kota ini, toleransi tetap terjaga.
Tahun 2025 ini jatuh pada Shio Ular dengan elemen kayu. Dalam mitologi Cina, ular kayu digambarkan dengan ular yang berwarna hijau. Tahun ular kayu ini diharapkan dapat memberikan pertumbuhan bangsa, organisasi, maupun pada individu. Terkait ular, sering disimbolkan sebagai makhluk penyembuh. Lihat saja di lambang pada apotek dan rumah sakit, lambang ular melingkar di gelas akan banyak ditemukan.
C.G Jung menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Manusia dan Simbol-simbol bahwa, simbol yang beredar di masyarakat merupakan hasil perkembangan peradaban manusia sejak dahulu. Simbol-simbol dijadikan sebagai penuntun hidup bagi sebagian kelompok masyarakat. Jung mencontohkannya pada masyarakat Eskimo dan Naskapi. Bagi kelompok masyarakat ini, simbol-simbol yang lahir dalam mimpi menjadi penuntun hidup, menuju pada Manusia Agung. Tapi saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut tentang buku ini, mungkin di lain waktu.
Kita lanjut pada makna simbol Shio Ular Kayu, yang menurut kalender Cina muncul 60 tahun sekali itu. Ini adalah hasil peradaban tertua manusia yang harus kita hargai dan lestarikan. Seperti perayaan Goan Siao di Jantung Serambi Madinah kali ini.
Moderasi Beragama di Kampung Moderasi
Perayaan Goan Siao dilaksanakan di Kelurahan Biawao, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo yang menjadi pusat Proyek Kampung Moderasi Beragama oleh Kementerian Agama. Di kelurahan ini masyarakatnya heterogen. Terdapat umat Muslim, Kristen, Katolik, dan Buddha yang tinggal dalam satu kecamatan. Di situ juga berdiri megah rumah-rumah ibadah dari masing-masing agama yang disebutkan tadi.
Salah satu yang unik adalah Vihara Buddha Dharma, yang tepat bertetangga saling hadap dengan SMP Katolik Santa Maria, yang sering menjadi tempat perayaan hari besar umat Katolik. Tidak jauh dari situ, ada masjid bersejarah umat Islam di Gorontalo, ialah Masjid Hunto Sultan Amai. Sehingga, meski masyarakat Muslim di Gorontalo terkenal dengan umat yang mayoritas, mereka hidup rukun berdampingan dengan umat lainnya.
Jika kita sedikit kembali ke masa lampau, kehidupan harmonis antarumat beragama ini juga telah terjaga di zaman Rasulullah SAW. Seperti semasa hidup beliau saat tinggal di perkampungan yang bernama Yastrib atau Madinah. Di situ, masyarakatnya majemuk, ada Kristen, Yahudi, dan juga sedikit umat Muslim yang baru saja menyatakan keyakinannya kepada Rasul dan Allah SWT. Hidup mereka rukun. Bahkan mereka sangat menghargai dan menantikan Nabiyullah yang telah diriwayatkan melalui kitab-kitab terdahulu. Hal ini juga tergambar pada kemajemukan di Kota Gorontalo.
Animo masyarakat menyaksikan sejumlah atraksi Barongsai dan lainnya memenuhi atmosfer Kelurahan Biawao. Mulai dari yang tua hingga yang muda berbondong-bondong melihatnya. Tradisi menyaksikan ini tidak bisa diartikan secara secara lahiriah, tapi secara simbolik bermakna sikap saling menghormati dan menghargai masyarakat di Kampung Moderasi itu sudah terjaga, bahkan menurut masyarakat sekitar sudah sejak dulu.

Masa Depan yang Diharapkan
Sewaktu menjabat sebagai presiden Republik Indonesia ke-4, Gus Dur telah mengambil langkah mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 pada Era Presiden Soeharto yang melarang Perayaan Imlek. Kebijakan tersebut menyebabkan sejumlah ekspresi identitas kebudayaan maupun secara administrasi membatasi masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Melihat hal ini, Alissa Wahid, putri sulungnya yang baru-baru ini dalam wawancara dengan Metro TV dalam QnA “Alissa Nomor Wahid” menjelaskan, bahwa langkah tersebut diambil Gus Dur selaku presiden dengan memandang keadilan dalam berbangsa dan bernegara, termasuk bagi masyarakat Tionghoa. Setelah mengambil keputusan mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967, Presiden Gus Dur melahirkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 yang membolehkan kembali perayaan Imlek setelah sebelumnya dilarang oleh rezim Orde Baru.
Dengan adanya kebijakan dari Gus Dur tersebut, beliau terkenal sebagai Bapak Tionghoa. Hal ini tidak sekedar menjadi semboyan, tapi kita harus menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memperkenalkan tradisi-tradisi seperti Cap Go Meh setiap tahunnya kepada anak-anak, memungkinkan akan terjaganya masyarakat yang toleran. Bila perlu diwajibkan dalam kurikulum pendidikan di sekolah, sejak jenjang sekolah dasar, menengah, dan lanjutan untuk melakukan touring kelas untuk menyaksikan perayaan Cap Go Meh secara langsung. Sehingga masa depan Indonesia Emas 2045 dapat diraih, tidak hanya siap dalam dunia kerja, tapi juga siap sebagai masyarakat Indonesia yang multikultural.
Penutup
Kota Gorontalo seperti yang aku sebut pada judul adalah Serambi Madinah. Hal ini yang sering dipercakapkan oleh masyarakat di sini. Seperti daerah Madinah yang hidupnya majemuk, di kota ini juga menunjukan kemajemukan masyarakatnya yang harus dijaga. Tidak hanya dijadikan sebagai semboyan, tapi diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Perayaan Goan Siao di Jantung Serambi Madinah pada intinya adalah sebuah sikap masyarakat yang toleran. Saling menghargai satu dengan yang lainnya, dalam beragama dan berbudaya. Semoga Kota Serambi Madinah ini terus terjaga rasa toleransinya, hingga tidak hanya saling menghargai tapi juga menerima perbedaan dengan sesungguhnya. Sehingga—mengutip dari Habib Ja’far pada podcast bersama Gita Wirjawan—ke depannya, berita-berita toleransi antarumat beragama, tidak jadi hal yang viral lagi, sebab telah menjadi kebiasaan kita.