Di tengah suhu politik yang masih panas pasca-Pemilu 2024, publik dikejutkan oleh pembebasan dua tokoh politik ternama: Hasto Kristiyanto (Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan) dan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong (mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo dan tokoh ekonomi nasional). Keduanya sebelumnya terseret dalam proses hukum dengan tingkat eksposur media yang tinggi. Namun, tak lama berselang, mereka dinyatakan bebas atau tidak lagi berstatus sebagai pihak yang diperiksa secara intensif oleh penegak hukum.
Pembebasan ini memantik kontroversi luas. Sebagian pihak menilai langkah tersebut sebagai bentuk ketidakjelasan proses hukum dan dugaan campur tangan politik, sementara lainnya menganggapnya sebagai pembuktian bahwa hukum tetap berjalan dengan asas praduga tak bersalah. Dalam konteks ini, media menjadi medan utama pertarungan narasi. Di balik derasnya arus pemberitaan, teori-teori komunikasi klasik maupun kontemporer menawarkan cara pandang kritis untuk memahami bagaimana peristiwa ini dikonstruksi, diterima, dan diperdebatkan di ruang publik.
Media dan Pembingkaian Realitas, Siapa Menentukan Kebenaran?
Media massa memainkan peran ganda dalam sistem demokrasi: sebagai pengawas kekuasaan sekaligus penghubung antara pemerintah dan masyarakat. Namun dalam praktiknya, media bukanlah entitas netral. Pemberitaan pembebasan Hasto dan Tom menunjukkan dengan jelas bagaimana peristiwa dapat dibingkai (framed) untuk membentuk opini tertentu.
Menurut teori framing dari Robert Entman, media tidak hanya menyampaikan fakta, melainkan menekankan aspek tertentu dari realitas untuk “menentukan di mana letak masalah, siapa yang harus disalahkan, dan bagaimana solusi harus dirumuskan.” Dalam kasus Hasto, media pro-pemerintah cenderung menekankan narasi bahwa pemanggilan dan penahanan dirinya merupakan bentuk kriminalisasi terhadap tokoh politik, sementara media kritis atau oposisi justru mempersoalkan alasan pembebasannya yang dianggap janggal dan sarat kepentingan.
Tom Lembong mengalami dinamika serupa. Beberapa media menggambarkan dirinya sebagai korban dari tarik-menarik elite pasca-pemilu, sementara lainnya mengulas sisi teknokratisnya sebagai ekonom profesional yang “tidak layak menjadi sasaran politik”. Dari sini terlihat bagaimana media memilih sudut pandang untuk menyusun realitas, bukan sekadar memotret apa adanya.
Apa yang Dianggap Penting oleh Media
Teori agenda setting dari McCombs dan Shaw menyoroti kekuatan media dalam menentukan apa yang dianggap penting oleh publik. Media tidak menginstruksikan apa yang harus dipikirkan, tetapi mampu mengarahkan apa yang harus dipikirkan tentang.
Isu pembebasan Hasto dan Tom menjadi headline utama selama beberapa hari. Isu-isu lain seperti krisis ekonomi daerah, konflik agraria, atau kegagalan kebijakan publik seolah tenggelam. Di sinilah media berperan sebagai aktor politik: dengan memilih isu tertentu untuk ditonjolkan, mereka membentuk peta perhatian publik, yang pada akhirnya memengaruhi respons masyarakat dan elite politik.
Fakta bahwa pembebasan keduanya menjadi berita utama di berbagai platform memperlihatkan bagaimana media mengarahkan fokus publik pada kontroversi ini, sehingga menjadikannya peristiwa politik dengan bobot persepsi yang tinggi, meskipun belum tentu merupakan kasus hukum paling genting di Indonesia saat ini.
Sosiolog Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya The Social Construction of Reality menjelaskan bahwa realitas sosial bukanlah sesuatu yang objektif, melainkan dibentuk oleh interaksi simbolik dan institusi yang mengkonstruksinya. Dalam konteks ini, media, aparat hukum, partai politik, dan tokoh publik saling berlomba untuk membentuk “realitas” pembebasan Hasto dan Tom: apakah sebagai kemenangan demokrasi, kegagalan supremasi hukum, atau manuver elite untuk menjaga stabilitas politik?
Pernyataan resmi dari penegak hukum, klarifikasi dari pengacara, dan pernyataan elite partai kemudian disambut oleh berbagai tafsir media. Masing-masing mencoba mengonstruksi realitas versinya. Hal ini berkelindan dengan teori produksi makna dalam studi komunikasi: makna tidak inheren dalam peristiwa, tetapi diproduksi melalui representasi media dan interpretasi publik.
Spiral of Silence dan Polarisasi Opini Publik
Di tengah perdebatan, banyak suara publik yang memilih diam. Menurut teori spiral of silence yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann, individu cenderung menahan pendapat mereka jika merasa pendapat itu bertentangan dengan opini mayoritas, terutama bila media mendominasi satu arah pemberitaan.
Jika seseorang merasa bahwa pendapat mereka—misalnya menyalahkan pembebasan Hasto atau menilai Tom menjadi korban kekuasaan—tidak populer di lingkungan media sosial atau komunitasnya, maka mereka akan cenderung diam. Fenomena ini memperparah polarisasi: hanya suara-suara dominan yang terdengar, sementara suara kritis kehilangan ruang ekspresi.
Pada saat yang sama, algoritma media sosial juga memperkuat apa yang disebut filter bubble: individu hanya terpapar informasi yang menguatkan keyakinan mereka. Ini membuat kasus seperti Hasto dan Tom menjadi arena pertarungan narasi tanpa dialog, yang pada akhirnya mengaburkan substansi persoalan.
Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent menyatakan bahwa media dalam sistem demokrasi liberal sering kali menjadi perpanjangan tangan elite ekonomi dan politik. Dalam konteks Indonesia yang oligarkis, pemberitaan tentang pembebasan dua tokoh ini patut dibaca dengan kecurigaan serupa.
Apakah media secara sadar atau tidak sedang membantu membentuk opini publik yang melanggengkan kekuasaan? Apakah framing pembebasan ini dimaksudkan untuk mengembalikan citra partai politik atau elite tertentu menjelang konsolidasi pasca-pemilu? Propaganda model menjelaskan bahwa media beroperasi dalam lima filter utama: kepemilikan, iklan, sumber informasi, pengaruh elite, dan anti-ideologi (seperti anti-komunisme atau anti-radikalisme). Jika pembebasan ini dibingkai dengan cara “membersihkan nama”, maka media mungkin sedang berfungsi sebagai alat produksi legitimasi.
Menyimak Lebih dalam di Balik Kontroversi
Tidak bisa diabaikan bahwa komunikasi elite politik juga memainkan peran penting. Istilah seperti spin doctor merujuk pada strategi komunikasi politik untuk “memutarbalikkan” informasi menjadi narasi yang menguntungkan. Dalam kasus ini, juru bicara partai, penasihat hukum, dan tokoh politik tertentu terlihat berupaya membentuk opini bahwa pembebasan Hasto dan Tom adalah kemenangan moral dan bukti ketidakbersalahan.
Namun spin politik semacam ini berisiko menciptakan “krisis makna”. Masyarakat awam bingung: apakah pembebasan itu tanda lemahnya KPK atau bukti bahwa KPK memang bekerja profesional? Apakah ini langkah menuju rekonsiliasi nasional atau hanya akrobat politik menjelang konsolidasi kabinet? Ketika makna peristiwa menjadi kabur, publik kehilangan kepercayaan, baik pada institusi hukum maupun pada media.
Salah satu dampak serius dari pemberitaan yang bias adalah menurunnya kepercayaan publik pada media. Ini terlihat dalam berbagai komentar di media sosial yang menyebut media “dibeli”, “tidak netral”, atau “main dua kaki”. Menurut teori disonansi kognitif dari Leon Festinger, ketika individu menemukan perbedaan antara kepercayaan mereka dengan informasi yang diterima dari media, mereka mengalami ketegangan psikologis dan berusaha meredamnya—misalnya dengan menolak informasi, menyalahkan media, atau berpaling ke sumber alternatif (media sosial, kanal YouTube independen, dan lain-lain).
Dalam jangka panjang, hal ini memperlebar jarak antara media arus utama dan publik. Jika media tidak segera membenahi standar etikanya, maka mereka akan kehilangan fungsinya sebagai penjaga demokrasi dan pembentuk opini yang sehat.
Kontroversi pembebasan Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong bukan sekadar urusan hukum atau politik. Ia adalah gejala dari krisis kepercayaan yang lebih dalam: antara media dan publik, antara hukum dan keadilan, antara politik dan moralitas.
Dengan menggunakan kacamata teori komunikasi dan studi media, kita bisa melihat bahwa opini publik bukan sesuatu yang “alami”, melainkan hasil dari proses konstruksi simbolik yang kompleks. Dalam masyarakat yang semakin terfragmentasi, penting bagi media untuk menjaga integritasnya, dan bagi publik untuk lebih kritis membaca narasi.
Kasus ini bukan yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir. Namun bagaimana kita memaknainya hari ini akan menentukan kualitas demokrasi kita esok hari.









