SURABAYA – Komunitas GUSDURian Surabaya dan GUSDURian Jawa Timur bergabung dengan Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya, sebuah wadah kolaboratif yang menghimpun berbagai organisasi, komunitas, aktivis, akademisi, dan individu yang memiliki kepedulian terhadap isu-isu sosial, lingkungan, hak asasi manusia, tata kelola pemerintahan, serta keadilan sosial di wilayah Surabaya dan sekitarnya.
Pada Sabtu, 9 Agustus 2025 bertempat di Student Centre GMKI Surabaya Jl. Tegalsari No. 62 Kedungdoro, aliansi ini mengadakan kegiatan ‘Panggung Rakyat: Menyeduh Ingatan, Menolak Lupa’, sebagai bentuk penolakan atas penulisan ulang sejarah Indonesia yang diinisiasi Kementerian Kebudayaan.
Mendapat dukungan dari 24 elemen masyarakat dan lebih dari 80 tokoh dan individu, kegiatan ini berupaya meningkatkan kesadaran publik melalui gerakan kolektif yang tidak hanya bersikap reaktif terhadap pernyataan yang menyakiti dan mengkhianati kebenaran, tetapi juga proaktif dalam mempertahankan keadilan, kejujuran, dan martabat bagi semua warga negara.
Aksi ini dikemas dengan sarasehan, orasi budaya, aksi simbolik cap tangan ‘‘Tolak Manipulasi Sejarah’, dan diakhiri dengan pernyataan sikap bersama. Beberapa tokoh masyarakat, akademisi, dan aktivis perempuan Surabaya yang turut bergabung diantaranya Prof. Drs. Hotman Siahaan, Dr. Pinky Saptandari EP, Dr. Endah Triwijati (Tiwi), RD. Alexius Kurdo Irianto (Romo Kurdo), dan Yohanes Somawiharja.

Prof. Hotman Siahaan saat sarasehan menyampaikan, kejahatan terhadap kemanusiaan tidak bisa dihapus dari sejarah. Sebesar apapun kekuasaan mencoba menghapus dan menghilangkannya dari dokumen.
“Ingatan sosial yang tertanam sangat dalam di memori sosial masyarakat akan tetap menjadi narasi yang membiak dari generasi ke generasi. Rezim kekuasaan selalu berganti, tapi narasi sejarah akan tetap hidup di dalam ingatan sosial masyarakat. Pengalaman traumatis akan melanggengkan narasi sejarah, tetap hidup di benak masyarakat. Karma sejarah akan menghantui siapa pun yang mencoba menghapus fakta sejarah demi kekuasaan,” ujar Guru Besar Fisip Universitas Airlangga.
Menyambung dengan Prof. Hotman, Bu Endah Triwijati juga menyampaikan, di peristiwa kerusuhan Mei 98, tubuh perempuan dari kelompok non-mayoritas lokal— termasuk perempuan keturunan Arab dan Tionghoa—kembali menjadi sasaran.
“Pola kekerasan ini bukan hal baru: yang terjadi di Surabaya, mencerminkan pola serupa yang terjadi di Jakarta dan berbagai kota lain. Perempuan, yang sering dianggap sebagai lambang kehormatan kolektif, menjadi target paling rentan. Kekerasan yang memanfaatkan narasi kultural ‘perkosaan adalah aib keluarga, ditanggung turun-temurun’. Tubuh mereka diserang secara seksual, dan dipinggirkan secara naratif: pengalaman mereka dihapus, dan suara mereka tak dipercaya,” pungkas Ketua Kelompok Studi Gender dan Kesehatan Universitas Surabaya yang akrab disapa Bu Tiwi itu.
Bagi penggerak GUSDURian sendiri, upaya penghapusan sejarah adalah kejahatan. Generasi muda butuh sejarah yang aktual dan konkrit, bukan yang dimanipulasi.
“Mestinya negara hadir dengan gentle, kalau memang buruk ya diakui dengan gagah berani, kita perbaiki bersama-sama,” ucap Siti Sumriyah, Koordinator GUSDURian Surabaya.

Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya menganggap proses penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Pemerintah Indonesia cacat moral dan historis. Penulisan sejarah bukan sekedar aktivitas naratif, tetapi memiliki tanggung jawab etis pada masa lalu, generasi masa depan, dan kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya menyatakan sikap:
1. Menolak buku sejarah yang dihasilkan oleh Kementerian Kebudayaan yang disetujui oleh DPR-RI dengan dana APBN 2025.
2. Menolak penulisan ulang sejarah Indonesia oleh pemerintah karena akan menjadi instrumen legitimasi kekuasaan yang menutupi dan menghilangkan fakta sejarah, serta menghapus narasi-narasi yang berpihak pada korban, khususnya pada peristiwa pelanggaran dan kejahatan HAM di masa lalu. Upaya-upaya untuk memanipulasi fakta sejarah kami anggap sebagai bentuk kejahatan.
3. Mendesak pemerintah Indonesia menghormati, mengakui dan menjalankan temuan resmi lembaga negara, dokumentasi sejarah, kesaksian korban, pendamping korban, data investigatif, serta rekomendasi dari berbagai lembaga kredibel seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998, dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan.
4. Menuntut pemerintah Indonesia bertanggung jawab terhadap warganya didasarkan pada prinsip keadilan dan kemanusiaan yang inklusif, dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran dan kejahatan HAM berat di masa lalu, sebagai bagian dari proses rekonsiliasi nasional.

Kepada segenap masyarakat sipil di seluruh Indonesia, Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya menyatakan bahwa peristiwa Mei 1998 terjadi tidak saja di satu kota, tetapi juga di Surabaya dan kota lainnya. Demikian juga peristiwa sejarah kelam lainnya di Indonesia, oleh karena itu Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya:
1. Meyakini bahwa sejarah bukanlah sekadar catatan masa lalu yang dapat ditulis ulang sesuai kepentingan atau tafsir sesaat, terutama oleh penguasa. Sejarah diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bentuk jati diri, memori kolektif, dan pembentuk kesadaran bersama.
2. Menyerukan dan mengajak seluruh masyarakat untuk merawat ingatan kolektif dan melawan lupa dalam semangat solidaritas pada korban. Mari kita “Menyeduh Ingatan dan Menolak Lupa”.
3. Mengajak seluruh masyarakat sipil untuk tetap berpijak pada nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan yang inklusif dalam membaca dan melakukan tafsir terhadap peristiwa sejarah. Semua upaya yang mengaburkan, mengganti, meniadakan, atau merekayasa sejarah atas nama modernitas, kepentingan politik, dan kekuasaan adalah bentuk pengingkaran terhadap akar identitas dan pemutusan hubungan masa lalu, masa kini, dan masa depan.









