Membaca Gus Dur secara Holistik

Di akhir bulan ini, tepatnya 29-31 Agustus akan diadakan kegiatan Temu Nasional (TUNAS) GUSDURian dan Konferensi Pemikiran Gus Dur akan dilangsungkan di Jakarta. Momentum ini menjadi ruang yang tepat untuk kembali menggali dan mendiskusikan warisan pemikiran Gus Dur.

Membaca Gus Dur memang perlu pembacaan yang holistik. Pembacaan yang parsial tentang Gus Dur akan membawa kita dalam pemahaman yang salah tentang sosoknya. Selama ini banyak yang salah paham tentang Gus Dur, mulai dari pemikiran keislamannya, cara memimpin NU, sewaktu jadi presiden, keberpihakannya kepada golongan minoritas, dan lain sebagainya.

Tetapi tidak sedikit juga yang paham jalan pemikiran Gus Dur. Baik itu pemahaman keagamaannya yang pluralistik, pemikirannya tentang demokrasi, perlakuannya yang setara pada semua penganut agama, pengakuannya pada agama Konghucu sebagai agama yang diakui oleh negara, hingga caranya mengutamakan kepentingan bangsa untuk menjaga keutuhan negara.

Direktur GUSDURian yang juga merupakan putri Gus Dur, Alissa Wahid, mengatakan bahwa Gus Dur pernah berpesan kepada keluarganya kalau dalam hal pelayanan atau perhatian, Gus Dur akan memprioritaskan agama (keislaman), kemudian Indonesia (keindonesiaan), lalu Nahdlatul Ulama, dan yang terakhir barulah keluarga. Itulah Gus Dur. Dalam hierarki pengabdian kehidupannya, ia lebih memprioritaskan menerjemahkan keislaman yang ia pahami, yaitu keislaman yang mengedepankan pemahaman universal tanpa tersekat oleh primordialisme. Islam ala Gus Dur adalah keislaman yang terbuka, keislaman yang lebih mengedepankan visi kemanusiaan.

Salah satu yang menjadi pemikiran universal Gus Dur dalam keislaman untuk konteks keindonesiaan adalah menerjemahan Islam lewat pribumisasi Islam. Pemikiran ini lebih banyak memberikan nuansa keberislaman di bumi Nusantara. Berislam dengan mengakomodasi budaya-budaya lokal yang banyak membantu ketersebaran keislaman dengan lebih cepat. Pemikiran Gus Dur lewat pribumisasi sangat banyak membantu penyebaran keislaman yang lebih menyentuh karena aspek budaya yang menjadi motor dalam proses pembumian ajaran Islam.

Pemikiran keislaman Gus Dur yang sangat mengindonesia itu tidak terlepas dari aspek perjalanan intelektualnya yang berangkat dari nilai-nilai pesantren tradisional. Gus Dur tumbuh di lingkungan pesantren tradisional Tebuireng, Krapyak, dan Tegalrejo Magelang. Dari sini Gus Dur banyak menimba disiplin keilmuan Islam tradisional, seperti ilmu fikih, tafsir-tafsir klasik, hadis, tasawuf, ilmu-ilmu bahasa, khususnya tata bahasa klasik yang merupakan masterpiece dari pesantren-pesantren tradisional, dan ilmu-ilmu lainnya. 

Di samping penguasaan terhadap keilmuan Islam tradisional, Gus Dur mampu mengakses keilmuan modern seperti sosiologi dan antropologi, berkat pengalaman pengembaraannya di Timur Tengah, yaitu di Al-Azhar dan Universitas Baghdad. Kedua universitas ini adalah universitas terbesar di Timur Tengah dan kiblat ilmu pengetahuan khususnya kajian-kajian keagamaan. Gus Dur juga menyempatkan diri mengunjungi berbagai negara Eropa, seperti Belanda, Jerman, dan Prancis untuk menambah pengalamannya.

Hierarki berikutnya dalam pengabdian Gus Dur adalah sangat cinta dengan Indonesia. Nilai-nilai keindonesiaan menjadi bagian pemikiran Gus Dur, sebagaimana dalam perjuangan NU yang menjadi kiblatnya dalam mengkampanyekan nilai-nilai keindonesiaan yang telah diperjuangkan oleh pendahulunya, yakni para pendiri NU yang mengedepankan nilai-nilai nasionalisme dan keindonesiaan.

Gus Dur sangat ingin merawat Indonesia yang pluralistik, memperjuangkan hak-hak minoritas yang banyak mengalami ketidakadilan terhadap keberadaannya. Gus Dur ingin perlakuan terhadap berbagai kelompok aliran yang ada di Indonesia sesuai dengan jaminan undang-undang. Sangat kental jiwa patriotisme yang dimiliki oleh seorang Gus Dur. Ia sangat menginginkan Indonesia yang berbhinneka dan plural, itu yang tetap dipertahankan sebagai bagian ajaran keagamaan yang universal.

Hierarki berikutnya yang menjadi perhatian Gus Dur adalah organisasi yang menjadi tempatnya berpijak dalam pengembangan intelektualnya, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Gus Dur tidak bisa dipisahkan dari NU, bahkan muncul ungkapan bahwa Gus Dur itu adalah NU dan NU adalah Gus Dur. Gus Dur-lah yang berhasil mengembangkan NU menjadi organisasi yang maju dan modern. Bukan hanya maju dalam mempertahankan aspek kultural dalam beragama, tapi yang lebih menonjol pada masa kepemimpinan Gus Dur adalah aspek pemikiran atau intelektualnya. Gus Dur telah berhasil meletakkan aspek-aspek intelektual dan keilmuan dalam tubuh NU. Kebesaran dan berlimpahnya kader NU itu tidak terlepas dari jasa-jasa Gus Dur. Gus Dur menjadi rujukan sentral oleh para cendekiawan muda NU yang akan melanjutkan tali estafet kepemimpinan NU ke depan.

Generasi-generasi pelanjut NU sekarang ini sangat banyak. NU kebanjiran kader. banyak kader-kader muda NU yang sangat matang dengan keilmuan tradisional karena memang lahir pendidikan pesantren dan ilmu-ilmu modern yang tidak terlepas dari bagian keilmuan yang mereka pelajari. Dalam kepengurusan NU sekarang ini khususnya di tingkat pusat banyak diisi oleh kader-kader muda yang tingkat keilmuannya sangat memadai dan memiliki pemikiran moderat dan punya wawasan kebangsaan yang luas. Mereka ini adalah para pelanjut pemikiran Gus Dur.

Semoga para Gus Dur-Gus Dur muda ini akan tetap menghiasi NU ke depan sehingga dapat memperjuangkan keislaman yang moderat, keindonesiaan, dan kemanusiaan sebagaimana yang menjadi visi besar Gus Dur.


(Bumi Pambusuang, Agustus 2025)

Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *