Gelombang demonstrasi yang melanda Indonesia sejak 25 Agustus 2025, dipicu penolakan tunjangan DPR dan kematian tragis Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang dilindas kendaraan taktis Brimob, telah menyingkap luka lama dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Dari Jakarta hingga Makassar, aksi massa yang awalnya damai kerap berujung ricuh, ditandai pembakaran gedung DPRD, kerusuhan, hingga korban jiwa. Data KontraS mencatat lebih dari 645 kasus kekerasan Polri terhadap demonstran sejak 2020 dan pada 2025 bertambah setidaknya lima korban tewas, termasuk Affan dan empat lainnya di Makassar.
Tingkat keberhasilan pengamanan demonstrasi, yang ditargetkan Polri di atas 90 persen sesuai Rencana Strategis 2020-2024, merosot ke kisaran 40-50 persen berdasarkan laporan terbaru.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan krisis kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat. Reformasi Polri kini bukan lagi opsi, melainkan keharusan mendesak. Namun, tantangan yang dihadapi besar, dan harapan masyarakat menuntut keberanian untuk berubah.
Tantangan: Kultur Represif dan Struktur yang Kaku
Pengamanan demonstrasi diatur ketat dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 dan Nomor 1 Tahun 2009, yang menekankan pendekatan humanis dan proporsionalitas. Namun, realitas di lapangan sering kali bertolak belakang.
Insiden Affan, misalnya, menunjukkan pelanggaran nyata terhadap prinsip penggunaan kekuatan bertahap. Kendaraan taktis melindas korban yang sudah terkapar, sebuah tindakan yang tidak hanya melanggar SOP, tetapi juga menodai kemanusiaan.
Komnas HAM mencatat penggunaan berlebih senjata pengendali massa (SPM) seperti gas air mata dan water cannon di 13 kota, dengan 718 korban luka sejak 2019 dan 135 dokumentasi kekerasan pada 2025 saja. Ini bukan sekadar kegagalan operasional, melainkan cerminan kultur represif yang masih mengakar di tubuh Polri.
Struktur Polri yang terpusat juga menjadi hambatan. Dengan lebih dari 400.000 personel di bawah komando Mabes Polri, pengambilan keputusan sering kali lambat dan tidak responsif terhadap dinamika lokal.
Demonstrasi di 27 kota menunjukkan ketidakmampuan koordinasi efektif, terutama di daerah seperti Sulawesi Tenggara, yang mengerahkan 3.107 personel namun gagal mencegah kerusuhan. Ketergantungan pada pendekatan militeristik, seperti pengerahan Brimob dengan peralatan tempur, memperburuk eskalasi alih-alih meredamnya.
Survei Civil Society for Police Watch (Februari 2025) mencatat hanya 45,9 persen masyarakat yang menilai kinerja Polri baik, turun drastis dari 73,1 persen pada 2024 menurut Litbang Kompas. Kultur dan struktur ini, jika dibiarkan, akan terus menggerus legitimasi Polri di mata rakyat.
Harapan: Polri yang Humanis dan Akuntabel
Masyarakat tidak hanya menuntut Polri yang menegakkan hukum, tetapi juga yang menghormati hak asasi manusia dan mendengar aspirasi rakyat. Tuntutan 17+8 poin dari 211 LSM, yang didukung berbagai tokoh publik, menyerukan desentralisasi Polri, penguatan mekanisme pengawasan eksternal melalui Komnas HAM dan Kompolnas, serta pengesahan RUU Perampasan Aset untuk memutus lingkaran korupsi yang turut melemahkan kepercayaan publik.
Reformasi ini bukan sekadar kosmetik, melainkan perubahan sistemik yang menempatkan masyarakat sebagai pusat pelayanan. Langkah awal yang mendesak adalah merevisi pendekatan pengamanan demonstrasi. Polri harus memprioritaskan dialog dan negosiasi, seperti yang berhasil dilakukan di Baubau dan Kendari, di mana aksi berjalan damai tanpa kekerasan.
Pelatihan ulang personel dalam pendekatan humanis, termasuk pengendalian emosi dan penggunaan SPM secara proporsional, harus menjadi agenda rutin, bukan sekadar reaksi pasca-insiden. Evaluasi internal, seperti zoom meeting Polri pada 30 Agustus 2025, perlu diikuti tindakan nyata, bukan hanya seremoni.
Tujuh personel Brimob yang diperiksa atas kematian Affan, dengan dua di antaranya terbukti melanggar etik berat, menunjukkan bahwa akuntabilitas internal dimungkinkan, tetapi harus diperluas dan transparan.
Selain itu, Polri perlu mendukung penguatan pengawasan eksternal. Komnas HAM dan Ombudsman RI telah berulang kali menyoroti pelanggaran dalam pengamanan demonstrasi, namun rekomendasi mereka sering terabaikan.
Pemberian wewenang lebih besar kepada Kompolnas untuk menangani kasus pelanggaran HAM oleh polisi, serta pembentukan badan independen untuk menyelidiki tindakan represif, akan meningkatkan kepercayaan publik.
Desentralisasi Polri, dengan memberikan otonomi lebih besar kepada Polda untuk merespons konteks lokal, juga dapat mengurangi pendekatan seragam yang sering kali memicu konflik.
Jalan ke Depan: Komitmen Politik dan Dukungan Publik
Reformasi Polri tidak akan berhasil tanpa komitmen politik yang kuat. Presiden Prabowo Subianto, yang baru menjabat, telah memerintahkan evaluasi menyeluruh dan tindakan tegas terhadap pelaku anarkis, namun perintah ini harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan HAM.
Kapolri, yang telah meminta maaf atas insiden Affan, perlu menunjukkan langkah konkret, seperti menonaktifkan sementara personel yang terlibat pelanggaran berat sambil menunggu proses hukum.
Dukungan masyarakat juga krusial. Gelombang solidaritas #IndonesiaGelap dan aksi massa yang menuntut reformasi menunjukkan bahwa rakyat tidak lagi diam. Namun, aspirasi ini harus diterjemahkan ke dalam dialog konstruktif, bukan hanya kemarahan di jalanan.
Polri berdiri di persimpangan: menjadi institusi yang disegani karena integritasnya atau terus terpuruk dalam ketidakpercayaan publik.
Reformasi bukanlah soal mengganti seragam atau menambah anggaran, melainkan membangun kultur pelayanan yang humanis, akuntabel, dan responsif. Masyarakat menanti Polri yang tidak hanya menjaga ketertiban, tetapi juga menjaga hati nurani bangsa.
Pertanyaannya, mampukah Polri menjawab tantangan ini, atau akan terus terjebak dalam bayang-bayang masa lalu? Waktu akan memberikan jawabannya, tetapi waktu itu kini semakin sempit.









