Munir, Gus Dur, dan Keadilan

Ada dua nama yang selalu hidup dalam ingatan kolektif bangsa ketika kita berbicara tentang keadilan dan kemanusiaan: Munir Said Thalib dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda—Munir sebagai aktivis hak asasi manusia dan Gus Dur sebagai ulama serta presiden—namun mereka bertemu pada satu titik nilai yang sama: keberanian untuk membela yang lemah dan tekad menegakkan keadilan, meski harus berhadapan dengan risiko besar.

Munir adalah simbol perlawanan terhadap kekerasan negara. Ia membela korban pelanggaran HAM sejak era Orde Baru hingga reformasi, dari kasus Tanjung Priok, Timor Timur, hingga penculikan aktivis 1998. Ia dikenal vokal, berani, dan teguh. Kehadirannya menjadi ancaman bagi kekuasaan yang ingin menyembunyikan dosa masa lalu. Tragisnya, nyawanya direnggut secara keji melalui racun arsenik dalam perjalanan ke Belanda tahun 2004. Namun, meskipun jasadnya telah tiada, semangatnya tidak pernah mati. Munir adalah bukti bahwa kebenaran bisa dibungkam, tetapi tidak bisa dihapus.

Di sisi lain, Gus Dur hadir sebagai tokoh bangsa yang menjadikan politik sebagai ruang kemanusiaan. Ketika ia menjabat sebagai presiden, salah satu kebijakannya yang paling monumental adalah mencabut diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, membubarkan Departemen Penerangan yang sering digunakan untuk sensor, serta mengakui kembali keberadaan Konghucu. Gus Dur pula yang dengan santai menyebut dirinya “presiden rakyat kecil,” karena ia lebih memilih bersama mereka yang terpinggirkan ketimbang duduk nyaman di kursi elite. Di luar jabatan politiknya, Gus Dur adalah sosok yang memeluk semua golongan: Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, bahkan mereka yang sering dianggap “berbeda” sekalipun.

Keadilan bagi Munir dan Gus Dur bukan sekadar gagasan abstrak. Ia adalah jalan hidup, sebuah praktik sehari-hari. Munir menempuh jalan keadilan dengan advokasi hukum dan keberanian moral menantang aparat keamanan. Gus Dur menempuh jalan yang sama melalui kebijakan politik dan wacana kebudayaan. Jika Munir adalah suara rakyat di jalanan dan ruang pengadilan, maka Gus Dur adalah suara rakyat di istana dan panggung dunia.

Namun, refleksi ini juga menyingkap luka. Kasus pembunuhan Munir hingga kini belum tuntas. Negara seperti enggan menegakkan hukum untuk seorang pejuang HAM yang begitu berjasa. Sementara gagasan pluralisme Gus Dur masih sering dipatahkan oleh gelombang intoleransi dan politik identitas. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan mereka belum selesai, dan tugas itu kini berpindah ke pundak generasi setelahnya.

Hari ini, 7 September 2025, dalam ingatan kolektif bangsa, kita ingin mengucapkan: Selamat ulang tahun, Munir—sang pejuang HAM yang keberaniannya menjadi teladan abadi. Dan selamat ulang tahun, Gus Dur—Bapak Bangsa yang mengajarkan bahwa kemanusiaan lebih tinggi dari sekadar politik atau ideologi. Meski kalian berdua tak lagi hadir secara ragawi, nilai perjuangan dan ajaran kalian tetap menjadi cahaya penuntun bangsa ini.

Ucapan ulang tahun ini bukan sekadar ritual simbolis, tetapi juga pengingat bahwa kehadiran mereka tidak boleh dilupakan. Mengingat Munir berarti mengingat luka bangsa yang belum disembuhkan, sebuah kasus pembunuhan yang menunggu keadilan. Mengingat Gus Dur berarti mengingat cahaya harapan bahwa bangsa ini bisa hidup dalam keragaman tanpa harus saling meniadakan. Perayaan ulang tahun mereka adalah perayaan ingatan kolektif yang menolak lupa.

Pada akhirnya, Munir dan Gus Dur mengajarkan bahwa keadilan bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah jalan panjang yang harus ditempuh dengan kesabaran dan keberanian. Jalan ini mungkin sepi, penuh rintangan, bahkan berbahaya, tetapi hanya dengan menapakinya kita bisa bermimpi tentang Indonesia yang benar-benar merdeka—bebas dari penindasan, diskriminasi, dan ketidakadilan.

Warisan mereka adalah warisan moral, yang tidak bisa dihapus meski kekuasaan berganti. Kita mungkin tidak seberani Munir, atau sebijak Gus Dur, tetapi kita bisa mulai dengan langkah kecil: melawan intoleransi, menolak diskriminasi, dan membela mereka yang terpinggirkan. Itulah cara terbaik untuk merayakan ulang tahun mereka—dengan melanjutkan perjuangan, bukan sekadar mengenang.

Selamat ulang tahun, Munir. Sugeng ambal warsa, Gus Dur. Indonesia berhutang banyak pada kalian.

Pegiat literasi dan pecinta Gus Dur. Aktif di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *