Gus Dur dan Jalan Moral Pemberantasan Korupsi

Publik Indonesia lagi dan lagi dibuat geger atas Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini perihal kasus dugaan pemerasan di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan. Pada 22 Agustus 2025, KPK menetapkan Immanuel Ebenezer Gerungan (IEG), Wakil Menteri (Wamen) Ketenagakerjaan, sebagai tersangka. Ia diduga menerima uang tunai senilai tiga miliar rupiah dan satu motor mewah Ducati sebagai bagian dari pemerasan terkait pengurusan sertifikat K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).

Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK itu menyeret 10 orang lainnya. Bahkan beberapa nama mendapat julukan “Sultan” sebab diduga menerima aliran dana terbesar, yakni mencapai 69 miliar rupiah. Segera setelah penetapan IEG sebagai tersangka, Presiden Prabowo Subianto memberhentikannya sebagai wamen. Kasus ini menambah bukti bahwa korupsi telah mengakar di berbagai lapisan pemerintahan di Indonesia.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai OTT terhadap IEG menjadi temuan penting di balik praktik performative governance. Bahwa apa yang terlihat secara publik sebagai upaya perbaikan dapat digunakan untuk menutupi praktik penyalahgunaan kekuasaan seperti suap dan pemerasan. Sehingga, pengembangan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi sebuah kebutuhan.

Satu contoh yang sebelumnya dilakukan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden Keempat Republik Indonesia. Cara Gus Dur menangani kasus korupsi berbeda dari pemimpin lain: Ia lebih menekankan transparansi, penegakan hukum yang independen, dan sikap moral tanpa kompromi terhadap perilaku menyimpang pejabat negara. Tak heran Gus Dur sering dipandang bukan hanya sebagai tokoh demokrasi dan pluralisme, tetapi juga sebagai pemimpin yang berusaha keras melawan korupsi. Meski masa pemerintahannya hanya berlangsung sangat singkat (1999–2001), langkah-langkah yang diambil meninggalkan jejak penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.

Bagi Gus Dur, korupsi bukan sekadar tindakan melanggar hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai moral dan keadilan sosial. Ia berusaha membongkar praktik-praktik gelap yang selama Rezim Orde Baru dibiarkan berkembang. Salah satu langkah awalnya adalah membuka data tentang korupsi di tubuh Badan Urusan Logistik (Bulog) dan perusahaan-perusahaan BUMN. Ia sadar, transparansi adalah cara efektif untuk memutus rantai penyembunyian korupsi. Gus Dur juga mendorong media dan masyarakat sipil agar lebih kritis mengawasi pejabat negara.

Gus Dur menginisiasi penguatan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Lembaga ini bertugas memeriksa harta kekayaan pejabat publik sebagai bentuk pencegahan korupsi. Ia juga mendorong wacana pembentukan lembaga khusus pemberantasan korupsi yang independen, yang kelak menjadi cikal bakal KPK. Langkah ini menegaskan pandangan Gus Dur bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa hanya diserahkan kepada lembaga hukum konvensional yang rentan intervensi politik.

Gus Dur menunjukkan sikap tegas ketika ada pejabat yang terindikasi melakukan penyalahgunaan wewenang. Ia akan mencopot menteri dan pejabat tinggi yang terindikasi atau dicurigai terlibat dalam skandal korupsi. Meskipun keputusan itu berisiko secara politik. Ia tidak segan mengambil langkah keras yang nanti akan memunculkan kontroversi. Sikap ini membuatnya dianggap sebagai presiden yang benar-benar ingin menegakkan prinsip good governance di Indonesia.

Yang unik lainnya dari Gus Dur, Ia tidak semata-mata mengandalkan hukum positif. Ia juga mengedepankan pendekatan moral dan budaya. Sebagai seorang kiai, Gus Dur sering mengingatkan bahwa korupsi adalah bentuk kezaliman dan perampasan hak orang banyak. Ia meyakini, membangun kesadaran moral di kalangan elit politik dan masyarakat adalah jalan jangka panjang dalam memberantas korupsi. Dengan cara ini, Ia menempatkan korupsi bukan hanya sebagai masalah hukum, tetapi juga penyakit sosial yang menggerogoti sendi-sendi bangsa.

Meski memiliki niat kuat, usaha Gus Dur memberantas korupsi kerap terbentur resistensi politik. Banyak elit partai dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang merasa terancam oleh langkah-langkahnya. Sehingga menghalalkan segara cara untuk menjatuhkan Gus Dur sebagai Presiden. Seperti penggunaan kasus Buloggate dan Bruneigate sebagai senjata politik untuk menjatuhkan Gus Dur. Sebab kedua kasus itu belum terbukti secara hukum hingga saat ini. Inilah paradoks yang dihadapi Gus Dur: seorang presiden yang ingin memberantas korupsi, tetapi justru dilengserkan melalui tuduhan korupsi.

Cara Gus Dur menangani korupsi menunjukkan kombinasi antara transparansi, penguatan lembaga pengawas, ketegasan pada pejabat, dan pendekatan moral. Meski pemerintahannya berakhir singkat, warisan pemikirannya masih relevan hingga kini. Gus Dur mengajarkan bahwa melawan korupsi tidak hanya soal menegakkan hukum, tetapi juga membangun budaya politik yang jujur dan berkeadilan.

Kasus IEG menegaskan bahwa korupsi masih menjadi penyakit kronis yang menggerogoti tubuh bangsa. Gus Dur sudah menunjukkan cara yang berani: transparansi, penguatan lembaga independen, ketegasan terhadap pejabat, dan penanaman kesadaran moral. Warisan pemikirannya membuktikan bahwa perang melawan korupsi tidak bisa hanya mengandalkan operasi tangkap tangan, melainkan harus melibatkan perubahan budaya politik dan moral publik.

Apakah kita hanya akan puas menyaksikan drama penangkapan koruptor demi koruptor? Kapan kita berani untuk memulai menempuh jalan panjang yang pernah ditunjukkan Gus Dur, membangun bangsa yang jujur, bermoral, dan bebas dari korupsi?

Pegiat literasi dan pecinta Gus Dur. Aktif di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *