PONTIANAK — Suasana hangat dan reflektif terasa di Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) saat berlangsungnya diskusi bertajuk “Merawat Demokrasi ala Gus Dur” pada Minggu, 12 Oktober 2025. Kegiatan ini menghadirkan Jay Akhmad, warga sipil yang juga Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, untuk membincangkan cara-cara kecil Gus Dur dalam menjaga demokrasi dan keberagaman di Indonesia.
Jay membuka diskusi dengan menyinggung masa Orde Baru, ketika istilah “Demokrasi Pancasila” hanya menjadi slogan yang justru menutupi praktik otoritarianisme. Pemerintah kala itu mengontrol hampir seluruh aspek kehidupan rakyat, bahkan hingga urusan pangan.
“Urusan perut aja diatur, apalagi urusan kepala (pikiran),” ujar Mas Jay.
Kebijakan “politik beras” pada masa Soeharto, lanjut Jay, membuat masyarakat tercerabut dari akar kulinernya. Negara mengatur apa yang harus dimakan, dan lebih jauh lagi, mengatur apa yang boleh dipikirkan. Pemerintah takut terhadap segala bentuk pertemuan, seperti liqo’ atau diskusi, bahkan kerap menyabotase kegiatan yang dianggap berpotensi mengancam kekuasaan.
Dalam konteks politik, kekuatan negara saat itu terpusat pada partai politik, pers, dan militer (ABRI). Tentara bahkan bisa menjadi anggota DPR tanpa melalui pemilihan umum. Ketimpangan antara negara dan masyarakat sipil begitu terasa.
Namun, di tengah situasi represif tersebut, Gus Dur tampil sebagai tokoh yang sulit dibungkam. Sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur aktif membangun jejaring dan gerakan di luar kendali negara.
Soeharto sempat mengundangnya bergabung dengan ICMI, organisasi yang dipimpin B.J. Habibie, tetapi Gus Dur menolak dengan menyebut dirinya sebagai “cendekiawan kaki lima”.
Memasuki era reformasi yang kini telah berjalan 27 tahun, Jay menilai bahwa demokrasi Indonesia masih belum sepenuhnya dijalankan. Ia mengutip Gus Dur dengan istilah “Demokrasi Seolah-Olah”.
“Kita masih menghadapi krisis demokrasi: korupsi yang masif, ketimpangan ekonomi, lemahnya penegakan hukum, penyalahgunaan wewenang, ancaman terhadap kebebasan berpendapat, minimnya partisipasi rakyat, dan maraknya pelanggaran HAM,” jelas Mas Jay.
Menurutnya, kesadaran akan pelanggaran HAM saat ini justru lebih banyak muncul dari kalangan aktivis. Karena itu, literasi HAM perlu terus digalakkan di tengah masyarakat.

Mas Jay juga menyinggung tulisan Gus Dur berjudul “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, yang menekankan pentingnya lima jaminan hidup manusia dalam konsep maqāshid al-syarī‘ah: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Prinsip-prinsip inilah, kata Jay, yang menjadi landasan etis dalam merawat kemanusiaan dan demokrasi.
Sebagai refleksi atas kondisi demokrasi hari ini, Jay juga menyebut adanya “tujuh setan demokrasi” yang menghambat kemajuan bangsa, yaitu: Korupsi yang terus berulang dari masa ke masa, oligarki, dinasti politik, otoritarianisme (watak penguasa yang menolak mendengar rakyat), manipulasi pemilu, keterlibatan militer di ruang sipil, dan ekstremisme agama dan politik.
“Gerakan yang menyimpang jangan diberangus. Mereka justru alasan bagi kita untuk berdialog,” pungkas Mas Jay.
Diskusi ditutup dengan ajakan untuk terus merawat demokrasi melalui keberanian berdialog, menjaga keberagaman, dan memperkuat solidaritas antarwarga. Sebab, sebagaimana Gus Dur, demokrasi sejati tumbuh dari ruang-ruang kecil yang memanusiakan manusia.









