Dilahirkan miskin bukan dosa. Tapi di negeri ini, kadang rasanya seperti kutukan yang diwariskan turun-temurun, bahkan sebelum sempat memilih cita-cita. Aku sering mendengar kalimat, “Dilahirkan miskin bukan salahmu, tapi mati miskin baru itu salahmu.” Entah siapa yang pertama kali mengatakannya, tapi ucapan itu seperti cambuk halus yang membuat orang miskin merasa bersalah hanya karena tidak kaya.
Dulu aku sering bertanya-tanya, bagaimana Tuhan membagikan kekayaan di dunia ini? Kenapa di ujung gang rumahku ada orang yang bisa ganti motor tiap tahun, sementara kami bahkan bingung besok makan apa. Untuk bisa sekolah saja, aku harus berutang ke tetangga yang sedikit lebih mampu, meski sebenarnya, dia juga sama miskinnya.
Aku masih ingat waktu kelas tiga SMA. Aku belum bayar SPP selama beberapa bulan, dan sekolah mulai menekan. Akhirnya, kami menggadaikan anting emas milik tetangga. Ia cuma punya sepasang, tapi karena kami dekat, ia rela meminjamkan satu-satunya harta berharganya untuk membantu. Begitulah solidaritas masyarakat miskin kota: kami saling bantu, meski sama-sama nyaris tenggelam. Yang kami pertaruhkan bukan sekadar uang, tapi nyawa. Al-Fatihah untuk beliau, perempuan yang ikhlas.
Kami hidup dalam lingkaran harapan yang sulit tergapai. Untuk mengubah nasib, kami harus berjuang tiga kali bahkan lima kali lebih keras dari mereka yang lahir dengan privilese. Tapi lagi-lagi, apa yang salah dari kami? Kami tidak malas, kami tidak bodoh, kami hanya hidup di sistem yang membuat kami tak pernah cukup.
Dua tahun terakhir, aku memperhatikan perilaku keluarga dan lingkungan sekitar. Ada banyak hal yang menyedihkan tapi juga ironis. Orang miskin sering kali menggali kuburnya sendiri, bukan karena malas, tapi karena hidup memaksa mereka berpikir pendek. Ketika uang hanya cukup untuk hari ini, menabung untuk besok adalah kemewahan. Ketika listrik mau diputus, siapa sempat memikirkan menabung untuk masa depan?
Kebiasaan orang miskin sering terbentuk dari ketidakpastian. Kami membeli barang murah yang cepat rusak, karena tidak mampu membeli yang tahan lama. Kami mengambil pekerjaan harian tanpa jaminan, karena tidak punya akses ke pekerjaan formal. Kami berutang dengan bunga tinggi ke rentenir, karena bank tak percaya pada kami. Siklus itu berputar terus, membuat kemiskinan seperti pola hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi, mirip langganan listrik prabayar, cuma bisa diisi sedikit-sedikit.
Yang lebih menyedihkan, di tengah segala keterbatasan itu, muncul tekanan sosial baru: ingin terlihat “setara”. Aku pernah melihat keluargaku, juga tetangga-tetanggaku, memaksakan diri menggelar acara keagamaan besar, hingga harus menggunakan tabungan darurat pribadiku. Budaya konsumtif tumbuh di tengah dompet kempes, karena gengsi sosial sekarang lebih mahal dari harga beras.
Sosiolog Oscar Lewis menyebut fenomena ini sebagai culture of poverty, budaya kemiskinan. Bukan berarti orang miskin malas, tapi karena sistem sosial dan ekonomi membuat mereka terperangkap dalam pola pikir bertahan hidup, bukan berkembang. Dalam jurnal The Culture of Poverty Reconsidered (Small, 2010), dijelaskan bahwa kemiskinan bertahan bukan hanya karena faktor ekonomi, tapi juga karena aspek sosial dan psikologis. Ketika kesempatan jarang datang, orang mulai kehilangan keyakinan bahwa usaha bisa mengubah nasib.
Tapi bukan berarti tak ada jalan keluar. Beberapa penelitian, seperti yang dilakukan World Bank (2022), menunjukkan bahwa akses pendidikan, literasi finansial, dan komunitas suportif bisa meningkatkan pendapatan keluarga miskin hingga 30 persen. Di beberapa kampung kota, koperasi warga dan program simpan-pinjam sederhana berhasil membuat ibu-ibu membuka usaha kecil dan menyekolahkan anaknya. Dari situ, aku belajar: perubahan tidak butuh miliaran, cukup kepercayaan antarsesama.
Refleksi paling pahit adalah bahwa kemiskinan bukan sekadar kekurangan uang, tapi kehilangan harapan. Orang miskin tidak selalu kekurangan ide, tapi sering kehilangan kesempatan untuk mencoba. Dalam diam, mereka menggali kuburnya sendiri, bukan karena ingin mati miskin, tapi karena sistem membuat mereka tak sempat hidup layak.
Namun aku percaya, masih ada ruang kecil untuk melawan. Entah dengan membaca, menulis, atau sekadar menolak pasrah. Sebab mungkin benar, menjadi miskin bukan dosa. Tapi membiarkan kemiskinan dianggap takdir, itulah kesalahan yang diwariskan terus-menerus.
Dan kalau boleh sedikit sinis: mungkin di negeri ini, yang paling kaya hanyalah mereka yang pandai menertawakan kemiskinan orang lain.









