Menyelami Jiwa Islam Nusantara lewat Gus Dur dan Gus Iqdam

Islam Nusantara bukan hanya sebuah istilah teologis, tetapi representasi pertemuan antara iman dan budaya lokal yang melahirkan corak keberagamaan khas Indonesia. Ia bukan agama baru, bukan pula mazhab tandingan, melainkan cara berislam yang menempatkan nilai-nilai kasih sayang, kearifan, dan keindahan dalam bingkai kebudayaan. Ia adalah Islam yang tersenyum, santun dalam tutur, dan hangat dalam perjumpaan. Islam yang mengajarkan bahwa ketaatan kepada Tuhan harus sejalan dengan kasih sayang kepada sesama manusia.

Dalam konteks ini, dua sosok karismatik menampilkan wajah Islam Nusantara dari dua zaman berbeda: KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Gus Iqdam (Muhammad Iqdam Kholid). Gus Dur adalah figur humanis dan intelektual besar yang menanam benih Islam yang inklusif, sedangkan Gus Iqdam adalah pendakwah muda yang menyirami benih itu agar tumbuh subur di hati generasi digital.

Keduanya lahir dari rahim pesantren, tumbuh dalam budaya Nahdlatul Ulama, dan sama-sama menjadikan cinta sebagai fondasi dakwah. Jika Gus Dur mengajarkan Islam yang menembus batas intelektual dan sosial, Gus Iqdam menampilkan Islam yang menembus batas emosional dan generasional. Melalui dua sosok ini, kita bisa menyelami jiwa Islam Nusantara: Islam yang berakar pada tradisi, tetapi terus bergerak mengikuti zaman.

Gus Dur dan Fondasi Humanisme Islam Nusantara

KH. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Islam Indonesia modern. Lahir dari keluarga ulama besar, Gus Dur mewarisi tradisi keilmuan pesantren sekaligus semangat pembaruan pemikiran Islam. Dalam pandangannya, agama tidak boleh menjadi sumber ketakutan, tetapi harus menjadi sumber pencerahan.

Gus Dur mengajarkan bahwa inti dari ajaran Islam adalah kemanusiaan. Karena itu, dalam setiap gagasan dan kebijakannya, ia selalu berpihak pada mereka yang tertindas. Ia menolak segala bentuk diskriminasi, baik berbasis agama, etnis, maupun ideologi. Baginya, agama yang benar tidak mungkin menindas manusia, karena Tuhan menciptakan manusia dengan kehormatan yang sama.

Dalam karya-karyanya seperti Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), Gus Dur menegaskan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang tumbuh dari bumi budaya Indonesia. Ia menghormati tradisi seperti tahlilan, selamatan, ziarah, dan maulid karena dianggap sebagai bentuk spiritualitas rakyat yang sarat nilai solidaritas sosial. Bagi Gus Dur, Islam tidak datang untuk meniadakan budaya, tetapi untuk menyucikan dan memperkaya maknanya.

Di luar dunia keilmuan, Gus Dur menunjukkan keberanian moral yang jarang dimiliki pemimpin lain. Ia membela kaum minoritas Tionghoa, menghapus istilah “Pribumi-Nonpribumi”, dan membuka ruang kebebasan beragama. Ia tidak sekadar berdakwah lewat kata, tetapi juga lewat kebijakan yang nyata. Gus Dur pernah berkata, “Tuhan tidak perlu dibela, Ia sudah maha segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil.”

Warisan pemikiran Gus Dur melahirkan generasi Muslim yang lebih terbuka, lebih empatik, dan lebih mencintai perdamaian. Di tangannya, Islam Nusantara menjadi wajah religiusitas yang lembut, logis, dan menyatukan—bukan memecah belah.

Gus Iqdam dan Dakwah Islam yang Membumi di Era Digital

Dua dekade setelah kepergian Gus Dur, muncul figur muda yang membawa semangat serupa, namun dalam gaya yang berbeda. Gus Iqdam (Muhammad Iqdam Kholid)—pendiri Majelis Ta’lim Sabilu Taubah, Blitar—hadir sebagai pendakwah yang menjembatani generasi muda dengan pesan-pesan keislaman yang penuh cinta.

Dikenal karena gaya ceramahnya yang jenaka dan lugas, Gus Iqdam berhasil menjangkau jutaan pendengar lintas usia dan latar belakang. Melalui YouTube, TikTok, dan siaran langsung di media sosial, ia menghadirkan dakwah yang bukan hanya didengar, tetapi juga dirasakan. Dalam setiap tausiyahnya, ia tidak menakut-nakuti dengan neraka, melainkan mengajak jamaah untuk merindukan surga.

“Jangan takut jadi orang yang biasa-biasa saja,” ucapnya suatu kali, “asal kamu tidak berhenti jadi orang baik.” Ungkapan sederhana ini mencerminkan teologi kasih yang juga menjadi inti ajaran Gus Dur—bahwa kebaikan kecil lebih bermakna daripada kesalehan yang sombong.

Majelis Sabilu Taubah yang ia dirikan tidak hanya berfungsi sebagai tempat zikir, tetapi juga wadah penyembuhan batin bagi mereka yang lelah secara spiritual. Banyak anak muda datang bukan untuk mendengar ceramah panjang, tetapi untuk merasakan ketenangan. Gaya bicara Gus Iqdam yang merakyat—kadang diselingi humor khas Jawa Timur—membuat agama terasa dekat dan hangat. Ia berhasil menunjukkan bahwa dakwah tidak harus kaku, yang penting sampai di hati.

Melalui media sosial, Gus Iqdam menjadi fenomena dakwah digital yang unik. Ia memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan nilai-nilai Islam Nusantara—tawadhu’, mahabbah, tasamuh—tanpa kehilangan ruh pesantren. Dalam dirinya, Islam hadir bukan sebagai doktrin keras, tetapi sebagai energi cinta yang membimbing manusia untuk pulang kepada Tuhan.

Sekilas, Gus Dur dan Gus Iqdam tampak sangat berbeda: yang satu presiden dan intelektual, yang lain pendakwah muda penuh humor. Namun jika diselami lebih dalam, keduanya memiliki jiwa dakwah yang sama—dakwah yang memanusiakan manusia.

Gus Dur mengajarkan bahwa beragama harus disertai kebebasan berpikir, sementara Gus Iqdam mencontohkan bahwa berdakwah harus disertai kebebasan berekspresi. Gus Dur menggerakkan akal, Gus Iqdam menggerakkan hati. Keduanya menolak cara berdakwah yang menakut-nakuti umat. Mereka memilih jalan cinta, jalan tawa, dan jalan kemanusiaan.

Keduanya juga berbagi keberanian. Gus Dur berani menentang kekuasaan demi keadilan sosial; Gus Iqdam berani menentang arus dakwah instan yang mengejar sensasi. Gus Dur berani berbeda dalam gagasan, Gus Iqdam berani berbeda dalam gaya. Dalam perbedaan itu, keduanya justru memperlihatkan bahwa Islam Nusantara adalah ruang luas bagi kebhinekaan ekspresi keimanan.

Selain cinta dan keberanian, keduanya memiliki satu lagi kesamaan: humor. Gus Dur dikenal dengan selera humornya yang cerdas dan menggugah. Ia sering menyampaikan kebenaran yang sulit diterima dengan cara jenaka agar hati orang terbuka. Begitu pula Gus Iqdam—ceramahnya sering memancing tawa, tetapi setiap tawa itu selalu diakhiri dengan refleksi mendalam. Humor dalam dakwah mereka bukan sekadar hiburan, melainkan jembatan spiritual agar pesan Tuhan lebih mudah diterima.

Kita hidup di zaman di mana kata “ustaz” tidak lagi hanya disematkan pada sosok bersarung dan berkitab, tetapi juga pada mereka yang bisa berbicara lewat layar. Di era seperti ini, Gus Iqdam menjadi perpanjangan lidah dari semangat Gus Dur—menyebarkan Islam yang sejuk dengan bahasa zaman.

Jika Gus Dur berdakwah melalui tulisan, pidato, dan kebijakan, maka Gus Iqdam berdakwah melalui video, siaran langsung, dan candaan. Namun esensinya sama: agama harus membawa kebahagiaan. Dalam dunia digital yang penuh polarisasi dan kebencian, kehadiran Gus Iqdam seperti oase. Ia menolak menjadikan agama sebagai alat penghakiman, tetapi menjadikannya ruang penyembuhan batin.

Dalam konteks ini, Islam Nusantara menemukan bentuk barunya. Ia tidak hanya hadir di pesantren, masjid, dan kampus, tetapi juga di feed media sosial. Semangat tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan tawadhu’ (kerendahan hati) tidak lagi disampaikan lewat kitab kuning saja, tetapi juga lewat live streaming dan potongan video berdurasi satu menit.

Maka, dari Gus Dur ke Gus Iqdam, kita melihat transisi cara berdakwah, namun bukan transisi nilai. Nilai yang sama—cinta, kesederhanaan, dan kemanusiaan—tetap menjadi roh Islam Nusantara, hanya medianya yang berubah.

Krisis zaman modern bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga spiritual. Banyak orang merasa kehilangan arah di tengah arus informasi dan kompetisi. Di sinilah pesan dua Gus ini menjadi sangat relevan. Gus Dur mengajarkan pentingnya berpikir jernih dan berempati dalam beragama, sementara Gus Iqdam menunjukkan bahwa kesederhanaan dan humor juga bisa menjadi jalan menuju Tuhan.

Kita belajar dari Gus Dur tentang pentingnya keberanian berpikir, dan dari Gus Iqdam tentang pentingnya ketulusan berbicara. Dari Gus Dur, kita belajar menjadi Muslim yang membela kemanusiaan; dari Gus Iqdam, kita belajar menjadi Muslim yang menebar kehangatan.

Islam Nusantara yang mereka hidupi bukanlah Islam elite yang hanya bisa dipahami kalangan terpelajar, tetapi Islam rakyat—yang bisa dirasakan oleh siapa saja. Islam yang hadir dalam tawa, dalam kesedihan, dalam kerja, bahkan dalam keseharian yang sederhana. Islam yang menuntun manusia untuk tidak kehilangan arah, sekaligus tidak kehilangan rasa.

Dari Gus Dur dan Gus Iqdam, kita belajar bahwa beragama tidak harus tegang. Bahwa cinta bisa menjadi jalan menuju Tuhan, dan tawa bisa menjadi cara berdzikir. Islam Nusantara adalah Islam yang menyembuhkan luka, bukan menambah luka; Islam yang menuntun dengan kasih, bukan menakut-nakuti dengan ancaman.

Gus Dur menanam gagasan bahwa agama harus berpihak pada manusia. Gus Iqdam menyiram gagasan itu dengan cara yang lebih ringan dan hangat. Keduanya membuktikan bahwa Islam tidak lekang oleh zaman selama ia berpihak pada cinta.

Di tengah dunia yang semakin gaduh oleh ujaran kebencian dan fanatisme sempit, dua sosok ini adalah cahaya. Gus Dur mengajarkan kita untuk berpikir dengan hati, Gus Iqdam mengajarkan kita untuk merasakan Tuhan lewat tawa.

Dan mungkin di situlah letak keindahan sejati Islam Nusantara: ia tidak hanya dipahami, tetapi juga dirasakan. Sebab pada akhirnya, agama bukan hanya soal hafalan ayat, tetapi tentang bagaimana kita menebar kedamaian bagi sesama makhluk Tuhan.

Pegiat literasi dan pecinta Gus Dur. Aktif di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *