Ekonomi Pesisir yang Terus Dijanjikan, Tapi Tak Pernah Tiba

Lima tahun berturut-turut, Menteri Kelautan dan Perikanan mengumumkan “terobosan besar” untuk penguatan ekonomi pesisir. Tahun ini namanya berubah lagi: dari “Kampung Nelayan Modern” ke “Kampung Nelayan Merah Putih”, lalu ke “Revitalisasi Tambak Pantura” yang kini berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN).

Angkanya selalu menggoda: ratusan ribu lapangan kerja baru, produksi udang melonjak puluhan kali lipat, pendapatan nelayan naik dua digit. Realitas di Pantura? Tetap sama: tambak mangkrak, nelayan terlilit rentenir, perempuan pengolah ikan masih bekerja di bawah terik matahari tanpa listrik yang layak. Impact? Nol besar.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memang jago bikin slogan, tapi miskin inovasi. Ketika negara tetangga seperti Vietnam sudah mengadopsi sistem tambak bioflok terintegrasi dengan energi surya dan blockchain untuk traceability udang, kita masih bangga dengan “tebar benih dan doa”. Ketika Thailand membangun koperasi nelayan yang menguasai 40 persen rantai pasok domestik, kita masih mengandalkan “bantuan kapal fiber” yang dalam tiga tahun sudah karatan di tepi pantai.

Inovasi terbaru KKP adalah menjadikan lahan tambak idle seluas 20.000 hektare di Pantura sebagai “kawasan budidaya terpadu”. Cara kerjanya? Serahkan ke korporasi besar, beri insentif pajak, lalu harap-harap cemas ada efek rambatan ke petambak kecil. Hasilnya sudah bisa ditebak: petambak tradisional jadi buruh harian lepas dengan upah Rp70.000 sehari, sementara keuntungan ekspor miliaran dolar mengalir ke kantong segelintir konglomerat.

Yang lebih memilukan adalah lemahnya pengawasan DPR RI. Komisi IV, yang seharusnya menjadi penjaga kepentingan rakyat pesisir, lebih sibuk berebut jatah kunjungan kerja ke lokasi proyek. Rapat dengar pendapat soal revitalisasi tambak Pantura pada September lalu hanya dihadiri 11 dari 55 anggota komisi.

Pertanyaan kritis soal KLHS yang amburadul, soal hak petambak kecil yang terancam tergusur, dan soal risiko abrasi yang makin parah, tenggelam dalam tawa dan foto bersama menteri. DPR kita ternyata lebih mahir mengawasi nasi kotak daripada mengawasi nasib 7 juta penduduk pesisir.

Tahun 2026 sudah di depan mata. APBN lagi-lagi akan menggelontorkan ratusan miliar untuk “program penguatan ekonomi pesisir”. Jika pola lama terus diulang – slogan bombastis, inovasi nol, pengawasan lemah maka kita hanya akan menambah daftar panjang janji kosong yang ditabur di atas pasir Pantura.

Sekarang saatnya berhenti menipu diri sendiri.

Ekonomi pesisir tidak akan pernah bangkit dengan model “serahkan ke korporasi, berdoa ada tetesan ke bawah”. Ia hanya akan bangkit jika negara berani melakukan tiga hal sederhana yang sampai hari ini masih terlalu sulit dilakukan:

Satu, KKP harus berani keluar dari zona nyaman proyek infrastruktur fisik dan mulai membangun institusi ekonomi rakyat: koperasi nelayan yang benar-benar mandiri, bank benih rakyat, dan sistem asuransi mikro yang murah.

Dua, DPR harus menghentikan tradisi kunjungan kerja yang jadi ajang selfie, lalu benar-benar menggunakan hak budget dan hak interpelasi untuk memaksa KKP menyusun indikator kinerja yang nyata bukan hanya tonase produksi, tapi juga kenaikan NTP nelayan, jumlah petambak kecil yang naik kelas, dan luas bakau (mangrove) yang tetap lestari.

Tiga, libatkan perempuan pesisir dan generasi muda sebagai subjek, bukan objek foto seremonial. Mereka yang paling tahu mana program yang benar-benar bermanfaat dan mana yang hanya numpang lewat.

Jika tiga hal itu masih terlalu berat, maka lebih baik KKP jujur saja: ganti nama kementerian menjadi “Kementerian Korporasi Kelautan dan Perikanan”.

Setidaknya rakyat pesisir tidak lagi harus menunggu janji yang tak pernah datang. Pantura sudah terlalu lama jadi bahan kampanye. Sudah waktunya ia jadi subjek pembangunan, bukan sekadar latar belakang foto menteri yang tersenyum di atas tambak baru.

Pengamat situasi nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *