Pada 2015, Mbak Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, mengajak saya ke Pontianak, Kalimantan Barat. “Urun rembung pemberantasan korupsi ning (di) pesantren, mas”, kira-kira begitu prolog dari ajakannya.
Saya, yang kebetulan juga sebagai warga Nahdliyyin, tak kuasa menolak “perintah” anak sulung Gus Dur itu, sembari juga ingin ngalap barokah dari dzurriyah KH. Abdurrahman Wahid.
Sesampai di Pontianak, saya langsung bergegas menuju Pondok Pesantren Asyariyah. Halaqah soal pesantren melawan korupsi pun dimulai. Salah satu kiai menyampaikan pengalamannya terkait risywah. “Ada calling dari Jakarta bilang begini: pak kiai, ini ada slot bantuan untuk pesantrennya. Tapi imbal baliknya 30 persen ya. Bagaimana pak kiai?”
Pilihan yang sangat rumit. Di satu sisi, pesantren membutuhkan anggaran untuk pembangunan ruang kelas. Tapi di lain sisi, penelepon dari Jakarta minta jatah. Tentu laporan besaran bantuan akan berbeda dengan jumlah uang yang akan diterima. Tertera dan tanda-tangan anggaran 100 persen, tapi yang didapat hanya 70 persen.
Suara di ujung ponsel memecah keheningan sang kiai. “Bagaimana pak kiai?” Akhirnya dengan sungguh-sungguh, pak kiai ngendikan, “Saya tidak memberi atau menerima potongan. Sudah, saya tidak mau. Terima kasih.” Percakapan via udara itu ditutup. Dana bantuan 70 persen tak jadi mampir ke pesantren.
Saya sendiri termenung mendengar kisah pak kiai tersebut. Nyata-nyata terjadi. Pelaku korupsi memang biadab. Mereka tak memandang siapa dan apa yang sedang diajak berbuat dosa. Kiai dan institusi pesantren sekalipun, tak jadi soal. Sepanjang ada duit, sikat! Pelaku korupsi itu sangat kurang ajar.
Sejenak saya berpikir. Memori otak saya langsung bekerja menerima impuls, mencari referensi soal korupsi hubungannya dengan agama. Kasus korupsi yang berkaitan dengan agama ini sudah banyak terjadi. Lebih dari satu.
Dalam catatan publik, korupsi pencetakan mushaf Alquran dan korupsi dana haji, misalnya, adalah dua kasus besar yang terekam secara hukum dan selalu diingat masyarakat. Jangankan ngibuli pesantren, kitab suci saja dipantatin oleh koruptor. Apakah para koruptor itu sedang menista agama? Mengorupsi agama?
Islam sebagai agama mengajarkan prinsip untuk melindungi agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan—selain juga tentang ketauhidan. Dalam menjaga harta, Islam melarang perbuatan-perbuatan yang merusak harta benda, baik sumber/asal usulnya maupun penggunaannya.
Kejahatan terhadap harta benda (al-jarimah al-maliyah), oleh karena itu, dilarang. Kejahatan itu meliputi penggelapan (ghulul), penyuapan (risywah), pencurian (sariqah), penguasaan ilegal (ghasb), penjarahan/perampasan (nahb), dan penyalahgunaan wewenang (khianat).
Kejahatan lain adalah memakan harta haram (akl al-suht), perampokan/perompakan (hirabah), dan mengaburkan asal usul harta yang haram (ghasl al-amwal al-muharromah). Perbuatan-perbuatan itu wajib dihindari oleh kaum muslimin wal muslimat.
Islam memberitahukan larangan, pasti selalu ada musababnya. Korupsi ditolak karena ia berdampak sangat buruk bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan sendi masyarakat. Korupsi menghancurkan harapan, menginjak-injak ajaran agama, dan mengangkangi Allah dan Rasul-Nya. Islam—dan tentunya agama lainnya—mengajarkan untuk selalu menuju kebaikan. Korupsi melangkah sebaliknya. Ia mengajarkan keburukan, penistaan, dan kerusakan.
Mungkin ada sebagian yang mencoba bernegosiasi dengan perintah Allah dan Rasul-Nya terkait korupsi. Misalnya saja berpikir, “…nggak apa-apa korupsi, toh ntar duitnya dibagi untuk kemaslahatan. Membangun masjid, rumah ibadah lainnya, dan untuk beasiswa santri. Jadi tetap ada manfaatnya, kan. Dari pada nggak dapat sama sekali.”
Dalam kerangka berpikir yang rasional, agama tidak pernah menuntut umatnya untuk melakukan atau mengambil sesuatu kejelekan. Sebab, bangunan yang disusun dari sesuatu yang buruk, hasilnya akan rapuh serta membahayakan alias tidak aman. Bayangkan, kalau cakar ayam bangunan pesantren itu seharusnya menggunakan besi setebal 14 mm, tetapi karena anggaran yang dikorupsi, besi yang disediakan adalah berukuruan 8 mm atau 10 mm, tentu kekuatannya akan berkurang.
Jika terjadi gempa bumi, apakah besi itu akan kuat menahannya? Kalau ada santri di dalam bangunan itu, bukankah keselamatan jiwanya akan terancam? Bagaimana kalau bangunan pesantren itu diganti dengan jembatan, gedung perkantoran pemerintah, fasilitas sosial dan fasilitas umum, berapa nyawa akan melayang?
Islam tidak memberi toleransi terhadap korupsi. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menyebutkan, “Dari Mus’ab bin Sa’ad berkata, Abdullah bin Umar masuk ke dalam rumah Amir pada saat ia sakit menjenguknya. Ketika itu Sa’ad berkata, mengapa kamu tidak mendoakan saya? Abdullah bin Umar berkata, sungguh saya mendengar Rasulullah Saw bersabda bahwa salat yang dilakukan tanpa wudlu tidak akan diterima Allah, demikian halnya sedekah yang berasal dari harta korupsi.”
Uang hasil korupsi tidak bisa disucikan. Najisnya harta korupsi itu mughaladhoh jiddan wa kabiron.
Pendek kata, korupsi menggerogoti dan menghancurkan dengan cepat prinsip serta ajaran agama. Oleh karena itu, memerangi korupsi harus menjadi sebuah keyakinan, iman bagi kita semua. Sayangnya, sepertinya belum banyak yang tahu bagaimana cara mengimani dan menjalankan keyakinan itu?
“Monggo mas,” seorang santri menyodorkan secangkir kopi ke meja di depan saya. Saya pun terjaga dari selaman memori diri tiga tahun lalu itu. Saya meluruskan pandangan, dan masuk kembali ke diskusi mengenai pesantren melawan korupsi, pagi itu.
(Artikel ini pertama kali dimuat di alif.id)