Posisi Perempuan dalam Ruang Politik Praktis

Di zaman yang terlampau maju ini, kesadaran kita dalam memosisikan perempuan justru semakin memprihatinkan. Kedudukan perempuan menjadi tidak aman dan terkesan harus lebih waspada dalam beraktivitas di dunia yang serba praktis seperti ini. Apalagi hampir seluruh pergerakan perempuan seolah-olah diawasi dengan nilai moral. Artinya, perempuan dalam ruang sosial, agama, lebih-lebih dalam ruang politik [partai poltik], akan dinilai dengan pendekatan moralitas. Tidak demikian dengan ‘laki-laki’. Jarang sekali kita melihat, mendengar, atau menyaksikan bahwa ukuran perilaku laki-laki dinilai dari pendekatan moralitas.

Contohnya sederhana; ketika merokok, mengonsumsi minuman keras, dan bersetubuh (zina). Ketika perilaku itu nampak pada perempuan, maka respons yang lebih dulu keluar adalah “dia perempuan tidak baik-baik”, atau bisa saja “dia itu pelacur’, ungkapan lain yang paling menggelikan adalah ‘’perempuan itu kafir, tempatnya pasti neraka”. Lalu bagaimana jika perilaku itu jelas terlihat pada umumnya laki-laki? Respons familiar akan dengan sangat tabu didengar. Semacam “biarkanlah, dia itu laki-laki, jadi wajar” atau “namanya juga laki-laki, santai”, dan yang paling nyaman didengar adalah “nakal dulu baru sukses, itu tipikal lelaki hebat”.

Contoh respons kebanyakan masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki di atas tadi, tentu terlepas dari perspektif agama. Bukan saya mengenyampingkan nilai-nilai agama. Tidak. Lebih kepada penilaian manusia terhadap perilaku individu perempuan yang cenderung misoginis, mencitrakan laki-laki padahal jelas melakukan perilaku yang sama. Apalagi akan bertemu dengan yang sok agamais–respons yang akan muncul lebih dari penilaian dan otoritas Tuhan.

Adapun memperjelas maksud tulisan ini, saya dominan mengurai posisi perempuan dalam ruang politik. Bukan pada ranah sosial, agama, apalagi menafsirkan perempuan dari sudut pandang feminisme. Biarkan pembahasan itu dikuliti oleh ahli sesuai fokus keilmuannya – setidaknya begitu cara saya menghargai potensi keilmuan masing-masing manusia.

Konspirasi muktahir menurut saya yang kerap dilakukan untuk menyita kebebasan perempuan era baru ini adalah ‘partai politik’. Legitimasi kesetaraan menjadi bumbu sedap oleh partai politik demi mumbujuk perempuan agar turut andil dalam setiap kontestasi politik. Dan siasat buruk demikian terus berjalan secara masif baik itu di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Bahkan yang paling ironis, kebiasaan terstruktur itu merambat sampai pada tingkat paling bawah, yakni di desa.

Tak jarang saat ajang pemilihan BPD (Badan Permusyawaratan Desa) di desa, istilah “pasang orang” terdengar sangat lazim. Buruknya, perempuan yang dianggap biasa saja namun berpengaruh pada lingkungannya adalah orang yang tepat dipasang maju di perhelatan skala kecil itu. Motifnya sederhana; agar mudah diintervensi guna menyelamatkan kebutuhan golongan atau pribadi.

Merebut Suara Perempuan

Selain menjadikan perempuan sebagai pion ampuh untuk prestasi politik, perempuan juga dimanfaatkan guna menunjang suara yang lebih banyak. Merujuk pada data proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035, dari total 266,91 juta penduduk Indonesia (tahun 2019), jumlah perempuan Indonesia berkisar pada 132,89 juta jiwa atau sekitar 49,80 persen dari populasi manusia di Indonesia (baca: katadata.co.id). Pada hitung-hitungan politik, angka 49,80 persen di atas sangat berpotensi baik untuk kemenangan partai politik dalam kontestasi 5 tahunan yang dilaksanakan di Indonesia. Khotbah politik, pidato politik, serta kampanye politik seakan menjurus pada kata-kata pujian kepada perempuan. Tak ubahnya seperti bola salju yang terus menggelinding dan kian membesar, pujian-pujian terus diramaikan hingga akhirnya terjadinya deformasi makna dan tujuan.

Lebih dalam dari pada itu, saya menilai potensi kecelakaan perempuan dalam dunia politik lebih besar dari sekadar perhitungan angka-angka di atas. Di bagian ini, perempuan diletakkan di arena paling bawah. Layaknya barang bekas, perempuan akan digunakan sejauh kebutuhan partai politik. Di setiap kampanye politik, pembelaan hak perempuan semakin luber didengarkan. Bahkan baru-baru ini slogan ‘emak-emak’ sengaja diluapkan untuk mencari simpatisan ibu-ibu dan para perempuan milenial yang notabene memiliki populasi paling banyak di Indonesia.

Cara merebut suara kaum perempuan belakangan dilegitimasikan dengan peraturan 30% keterwakilan perempuan dalam mengisi kursi parlemen dan struktural partai politik. Aturan itu dijelaskan secara terperinci pada UU No. 2 tahun 2008 yang mengharuskan partai politik menyertakaan keterwakilan perempuan 30% baik itu di tingkat pusat dan lokal. Kemudian dalam UU No. 10 tahun 2013, lalu UU No. 10 tahun 2008. Peraturan lainnya adalah menerapkan zipper system bahwa setidaknya setiap tiga bakal calon terdapat satu orang perempuan pada pasal 55 ayat (2) UU No. 20 tahun 2008. Saya menyebut “legitimasi aturan” sebab cita-cita meningkatkan peran perempuan dalam mengisi ruang parlemen sejauh ini tidak pernah tercapai – kecuali keterwakilan 30% perempuan di struktural partai politik.

Pada pemilu 1999, jumlah perempuan yang menduduki kursi DPR sebanyak 44 orang atau 8,8 persen. Proporsi ini meningkat 47,7 persen menjadi 65 orang pada pemilu 2004 atau mendapatkan porsi sebesar 11, 82 persen di DPR. Pada empat periode terakhir, keterwakilan perempuan tertinggi pada pemilu 2009, dengan proporsi sebesar 17,86 persen. Sayangnya, pada periode 2014-2019, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR turun menjadi 97 orang atau 17,32 persen dari total anggota DPR RI yang berjumlah 560 orang (baca: tirto.id).

Keterwakilan perempuan menjadi mimpi tidur paling nyenyak oleh perempuan itu sendiri. Sampai dengan pemilihan DPR yang dihelat baru-baru ini, posisi perempuan belum juga mencapai pada cita-cita yang sebenarnya. Motif dari itu bukan disebabkan kekurangan perempuan progres atau tidak adanya perempuan yang mampu bersaing, namun sistem politisasi perempuan kerap dilakukan oleh partai politik dewasa ini. Sederhananya adalah; jika suara perempuan lebih tinggi dari calon anggota DPR lainnya yang berada di partai yang sama, maka suara perempuan itu digeser mengisi kekosongan suara pada laki-laki, agar suara laki-laki itu tercapai dan akhirnya mendapat jatah kursi di DPR RI atau DPRD. Budaya semacam demikian saat ini lebih aktif dengan menggunakan segala pengakuan ‘kemaslahatan’ serta ‘iming-iming kesetaraan dan pembelaan hak perempuan’.

Politisasi Perempuan

Macam-macam strategi yang dimainkan oleh tim kerja parpol (partai politik) untuk mengambil suara masyarakat Indonesia. Segala hal menjadi positif untuk menempuh tujuan masing-masing golongan. Dan perempuan adalah objek paling ampuh dalam menjual popularitas partai. Dalam kondisi tertentu, perempuan akan memainkan perannya demi partai politik.

Misalnya pada acara pengajian massal yang dibuat oleh parpol. Di sana dipasang tokoh perempuan untuk bercerita soal kebaikan yang selalu dilakukan oleh parpol. Di setiap agenda arisan mingguan emak-emak. Perempuan dititipkan materi sambutan yang lagi-lagi mengangkat derajat parpol itu sendiri. Yang paling memuakkan, di saat kontestasi politik telah tiba. Perempuan sengaja dipasang memang untuk merebut suara dengan cara yang menurut saya cenderung bersifat pelecehan. Hampir di semua parpol ketika sudah pada fase kampanye, alat peraga kampanye tumpah ruah di setiap sudut jalan, pagar rumah, halaman masjid, bahkan yang populer baru-baru ini, wajah para caleg nampak di WC umum wisata.

Baliho caleg serentak menjadi pasar malam ketika mendekati masa tegang kampanye. Di saat itulah para elit politik menggunakan kesempatan guna memainkan peran perempuan. Yang paling familiar, strategi mendesain baliho perempuan yang kelewat manipulatif. Caleg perempuan didesain secantik dan semenarik mungkin agar mendapatkan dukungan dari pada kaum laki-laki. Lantas baliho tersebut disebarkan di semua sudut jalan agar para masyarakat tertarik dengan itu. Dititpi kalimat indah serta dengan gaya foto yang menarik, lalu memuluskan wajah perempuan agar nampak cantik. Itu semua dilakukan lagi-lagi untuk merebut suara parpol dari semua kalangan. Para tim kerja parpol berpikir bahwa dengan strategi mendesain baliho para caleg perempuan dengan wujud seperti itu berpotensi menambah suara partai.

Menurut saya problemnya bukan terletak pada baliho atau seberapa cantik caleg yang dipampang di baliho tersebut. Tetapi melebih-lebihkan wujud perempuan justru letak kekeliruan yang sederhana. Perempuan yang terlihat cantik di baliho selain memancing khayal tinggi oleh laki-laki, baliho itu juga membentuk secara otomatis ekspektasi buruk pada perempuan. Seperti kejadian yang terjadi baru-baru ini pada pemilihan calon anggota DPR RI dapil NTB (Nusa Tenggara Barat). Caleg perempuan ini terpilih menjadi anggota DPR setelah pencoblosan yang dilaksanakan oleh KPU daerah NTB, 17 April 2019.

Caleg perempuan itu dituntut manipulasi wajah di baliho yang kelewat cantik, yang mengakibatkan masyarakat terkecoh atas itu. Selain ketua DPD partai politik menuntut, pihak masyarakat pun menuntut adanya pemalsuan identitas kepada caleg perempuan tersebut. Mereka menganggap caleg perempuan ini sengaja memalsukan wajah di baliho untuk menarik simpati masyarakat. Di daerah lain, tepatnya di Provinsi Gorontalo, wajah caleg perempuan terpampang sangat manis dan cantik digambar baliho parpol. Yang berpotensi menimbulkan pemikiran buruk laki-laki. Dan ujung-ujungnya, suara parpol itu menuai suara banyak lantaran mereka menggunakan perempuan jadi jimat ampuh. Setelah itu perempuan tidak dipergunakan lagi – cita-cita capaian 30% keterwakilan akhirnya hanya menjadi sekadar dokumen negara.

Pada dasarnya, politik Indonesia sangat menaruh perhatian pada perempuan. Itu terlihat jelas dalam rentetan sejarah keterlibatan perempuan dalam gerakan politik Indonesia yang berimplikasi pada jangka panjang yang baik bagi perempuan. Nyonya Meneer, Gedong Bagoes, Ani Idrus, dan Sandiah (Ibu kasur), adalah representasi tokoh politik perempuan Indonesia yang berhasil berjuang dan berkarya di Indonesia. Pada ruang politik, perempuan sangatlah krusial.

Merekalah yang menetralisir keadaan serta sebagai mitra kuat pengambil kebijakan bersama laki-laki. Kalau pada akhirnya perempuan hanya menjadi sekedar pelengkap partai politik, atau hanya menjadi ladang basah untuk melengkapi suara partai politik, maka yang akan terjadi adalah kekacauan dalam lembaga politik tersebut. Sudah saatnya cita-cita perempuan dalam keterwakilan 30% di parlemen harus benar-benar diseriusi. Cara pandang politis, hal demikian tidak menjadi patokan, tetapi dalam sudut pandang kemanusiaan, keterwakilan perempuan adalah cara ampuh untuk merawat peradaban Indonesia. Perempuan akan benar-benar merdeka jika hak dan kewajibannya berhasil dipegang.

Alumnus Sekolah Menulis Keberagaman Gorontalo 2019.