Gus Dur dan Upaya Rekonsiliasi Konflik Aceh dan Papua

Persoalan identitas merupakan masalah yang wajar terjadi dalam negara multikultural seperti Indonesia. Konflik identitas antarsuku, agama, ras, maupun etnis yang terjadi akhir-akhir ini menambah rapot merah keberagaman di Indonesia. Namun bukan hanya persoalan horizontal saja, persoalan vertikal pun juga terjadi dengan melibatkan negara sebagai aktornya.

Problem identitas Aceh dan Papua merupakan sebuah masalah klasik sejak awal kemerdekaan hingga hari ini tak kunjung usai. Konflik identitas kewarganegaraan yang berkepanjangan inilah yang membuat Ahmad Suaedy tertarik untuk menelitinya. Namun bukan hanya meneliti tentang kemunculan konflik tersebut, akan tetapi Suaedy menawarkan sebuah rekonsiliasi yang pernah dilakukan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selama menjabat sebagai presiden keempat dalam mengatasi persoalan Aceh dan Papua (Ahmad Suaedy, 2018).

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa era Orde Baru telah merebut kemerdekaan hak-hak asasi manusia masyarakat Aceh dan Papua. Berbagai diskriminasi dan tindakan represif dilakukan oleh Orde Baru untuk ‘membersihkan’ gerakan separatisme di Papua dan Aceh. Maka tidak heran jika tindakan tersebut akhirnya berdampak pada psikologi masyarakat Papua dan Aceh.

Konflik vertikal antara negara dengan masyarakat Papua dan Aceh telah menarik perhatian Gus Dur. Selama menjabat sebagai Presiden, Gus Dur telah memberikan perubahan yang radikal. Radikal dalam arti mau merangkul, mendengarkan, memahami, dan mengerti apa yang dirasakan oleh masyarakat Papua dan Aceh selama kurang lebih 35 tahun didiskriminasi.

Penelitian Suaedy menunjukkan setidaknya ada tiga strategi yang dilakukan oleh Gus Dur untuk mengembalikan kewarganegaraan masyarakat Aceh dan Papua. Pertama, pengakuan. Pengakuan bukan dalam arti hanya mengakui Papua dan Aceh sebagai satu kesatuan republik, namun pengakuan yang arti sesungguhnya. Pengakuan yang atas identitasnya; pengakuan atas hukum adatnya; pengakuan atas nilai kultural yang melekat dalam masyarakat Aceh dan Papua.

Gus Dur memposisikan masyarakat Papua dan Aceh sejajar dengan etnis lainnya. Sebuah terobosan radikal yang belum pernah dilakukan oleh Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru yang Jawasentris telah memarjinalkan masyarakat Papua dan Aceh di kelas dua. Maka dari itu, Gus Dur mendekonstruksi pemikiran Jawasentris pemerintahan, bahwa pemerintah Gus Dur pemerintahan yang berkeadilan, mengakui nilai multikultural, mengaku hak-hak semua warga negara Indonesia.

Kedua, Gus Dur respek terhadap kedua masyarakat ini. Respek Gus Dur dilandasi dengan rasa kekeluargaan, sehingga pendekatan yang dilakukan bersifat kultural. Gus Dur tahu bahwa ada sejumlah masyarakat Aceh dan Papua ingin merdeka dari Indonesia. Gus Dur tahu bahwa terdapat bendera GAM maupun Bintang Kejora yang dikibarkan di dua provinsi tersebut, namun Gus Dur tidak menindak secara militer, akan tetapi Gus Dur melakukan pendekatan kekeluargaan.

Gus Dur memang menolak keras dan tidak membolehkan masyarakat Papua dan Aceh untuk merdeka dari Indonesia, namun bukan berarti Gus Dur melarang ada pemikiran semacam itu. Ada cerita menarik perihal ini, bahwa suatu saat Gus Dur bilang ‘tidak masalah jika memang bendera bintang kejora berkibar, namun harus dibawah merah putih’. Hal ini menunjukkan bahwa Gus Dur respek terhadap kebebasan berpikir dan berpendapat. Dan memang itu yang harus diberikan kepada mereka. Dengan adanya pemikiran semacam itu, rakyat Papua diberikan kebebasan untuk membangun daerahnya sendiri sesuai kultur masyarakat setempat.

Ketiga, memperbarui institusi dan kelembagaan. Strategi ini berupa pemberian hak khusus (otsus) dan membentuk lembaga yang dinaungi oleh semua ketua adat kepada kedua wilayah tersebut. Dengan adanya lembaga ini harapan Gus Dur pembangunan daerah Aceh dan Papua dilakukan oleh masyarakat setempat.

Hasil penelitian Suaedy terhadap upaya rekonsiliasi konflik Aceh dan Papua perlu untuk diketahui bersama bahwa Gus Dur telah memberikan pengakuan yang setara terhadap daerah Aceh dan Papua. Usaha Gus Dur ini merupakan sebuah pengejawantahan dari nilai-nilai humanisme Gus Dur yang berlandaskan maqasid syariah. Lantas apakah kita tidak ingin melanjutkan apa yang sudah dimulai Gus Dur untuk kedua wilayah ini?

Esais dan GUSDURian Jogja.