Social Media

Belajar Praktik Toleransi dari SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran

“Pernah kita dibilang (melakukan) kristenisasi. Kebalik dong, harusnya murid-murid yang Kristen yang khawatir kena islamisasi di sini. Gurunya kebanyakan Islam kok. Bahkan banyak yang alumni santri. Hahaha.”

Athif Roihan Natsir, Kepala Sekolah SMK Bakti Karya Parigi, Pangandaran, tergelak saat menceritakan ulang pengalaman yang pernah ia alami. Saat itu sekolah yang ia kelola bersama kawan-kawannya sempat dituding warga membawa agenda kristenisasi.

Kecurigaan itu dipantik oleh alasan sederhana. SMK Bakti Karya Parigi merupakan sekolah pertama di Pangandaran yang menerima siswa-siswi dari seluruh Indonesia dengan program kelas multikultural. Sehingga warga sempat kaget dengan kemunculan banyak paras siswa-siswi sekolah yang terlihat asing bagi mereka. Terutama dengan kehadiran siswa-siswi asal Indonesia Timur.

Dari Komunitas Belajar menjadi Sekolah Formal

Konsep tentang program kelas multikultural di sekolah ini digagas oleh sekelompok mahasiswa asal Pangandaran yang terkumpul dalam Komunitas Sabalad. Komunitas ini awalnya adalah komunitas anak muda Pangandaran yang bergerak dengan semangat berbagi ilmu kepada masyarakat melalui cara non-formal. Seperti sesekali mengadakan pelatihan menulis dan pelatihan bahasa Inggris.

Namun di tahun 2016 mereka resah saat mengetahui kabar ada sebuah sekolah swasta di Pangandaran yang terancam tutup karena jumlah siswa-siswinya kurang dari 20 orang. Keresahan ini mengantar Komunitas Sabalad nekat berinisiatif mengambil alih pengelolaan sekolah dan melakukan intervensi.

Mereka lantas merancang sebuah program beasiswa penuh dan memutuskan untuk menerima siswa-siswi dari seluruh Indonesia. Program inilah yang mereka namakan kelas multikultural.

Athif bercerita, celotehan salah satu barista asal Jakarta yang dolan ke Komunitas Sabalad lah yang membuat mereka makin mantap mengeksekusi gagasan ini. “Ini kopi aja dari mana-mana bisa ketemu di Pangandaran, kok orangnya nggak bisa?” sebut Athif menirukan komentar si barista.

Maka kelas multikultural juga tidak dirancang seperti program kelas khusus di sekolah pada umumnya yang biasanya hanya terdiri dari 1-2 kelas khusus saja, SMK Bakti Karya Parigi sengaja mendesain agar semua siswa-siswi sekolah masuk dalam program kelas multikultural. Tujuannya agar seluruh siswa-siswi sama-sama mendapatkan kesempatan berjumpa dengan teman-teman dari latar belakang yang berbeda.

Konsep ini nyatanya berhasil menarik minat banyak siswa-siswi untuk bersekolah di sekolah yang nyaris tutup ini. Saat ini, SMK Bakti Karya Parigi memiliki 70 siswa-siswi yang berasal dari 24 provinsi.

Semua Agama Tinggal Bersama di “Pesantren”

Kelas multikultural pun tak hanya diterapkan sebatas dalam ruang kelas di sekolah. Sebab siswa-siswi juga diasramakan dalam asrama putra dan asrama putri yang dikelola dengan konsep pesantren. Di asrama tersebut, siswa-siswi tidak hanya tinggal, tetapi juga ada jadwal rutin pengajian atau pendalaman agama setelah maghrib dan isya.

Siswa-siswi muslim didampingi oleh guru agama. Sementara siswa-siswi non-muslim didampingi oleh relawan guru beragama Protestan dengan dibantu alumnus beragama Katolik dan Protestan yang bersedia ikut membantu di sekolah.

“Pesantren itu kita nganggepnya tempat santri atau ‘pesantrian’, tempat orang-orang yang berkumpul untuk belajar, sesuai konsep awalnya. Jadi temen-temen yang non-muslim pun logis aja untuk masuk ke situ,” jelas Athif.

Athif melanjutkan, “Nah pas kemarin bulan puasa, nggak mungkin kan kita bikin pengajian Ramadan buat yang muslim aja, terus yang (beragama) lain kita biarin? Ya kita bikin aktivitas berdampingan antara temen-temen yang ngaji tajwid dengan temen-temen yang ngaji Alkitab.”

Banyak Tantangan Berat

Athif sendiri mengakui tidak mudah mengelola sekolah ini. Selain harus berjibaku menjaring siswa-siswi baru setiap tahunnya, komitmen memberikan beasiswa penuh juga membuat pengelola sekolah rajin-rajin memutar otak guna mencari dana untuk operasional sekolah dan biaya hidup siswa-siswi sehari-hari.

Perbedaan latar belakang juga membuka fakta adanya gap pengetahuan di antara siswa-siswi. Ada yang sudah memiliki pengetahuan dasar yang baik lumrahnya anak lulusan SMP, tetapi ada kalanya guru-guru harus memberi bimbingan ekstra kepada siswa-siswi yang masih kesulitan untuk membaca, berhitung, dan menulis.

Namun demikian, tantangan terberat yang pernah dialami pengelola sekolah ini adalah sulitnya mendapatkan kepercayaan warga. Warga Pangandaran yang secara umum berlatar belakang homogen sempat heran, mengapa anak-anak yang berasal dari berbagai asal daerah sampai mau jauh-jauh datang demi bersekolah di Pangandaran? Alhasil, kasak-kusuk dan kecurigaan terhadap sekolah pun muncul karena hal itu merupakan pemandangan baru bagi warga.

Launching kelas multikultural itu kan 2016. Natal 2016 tuh karena kondisinya kita yakin udah pasti ada konflik di awal-awal (kalau menyelenggarakan Natalan di Pangandaran), jadi siswa-siswi kita bawa Natalan di Yogyakarta. Nah itu pulangnya dari Yogyakarta, beneran ada isu kristenisasi dan kita dituduh misionaris yang menjalankan agenda itu di sekolah,” beber Athif.

“Isu yang berhembus kami membawa anak-anak buat dibaptis di Yogyakarta. Padahal yang kami bawa buat Natalan di Yogyakarta, ya memang anak-anak yang Katolik, ha-ha-ha,” tambah Athif lagi sambil tertawa lepas.

Alhasil hanya karena memiliki siswa-siswi kristiani, SMK Bakti Karya Parigi pernah menuai tudingan miring memiliki agenda kristenisasi, mendapatkan sponsor pendanaan dari gerakan misionaris, dan mendukung pendirian gereja di Pangandaran. Masyarakat pun sampai menuntut sekolah ditutup.

Keributan ini akhirnya membuat bupati harus turun tangan memanggil pengelola sekolah untuk meredakan isu ini. Dalam pertemuan dengan bupati dan perwakilan masyarakat, pengelola SMK Bakti Karya pun dapat mengklarifikasi tudingan-tudingan keliru yang menerpa mereka.

Lantas pertemuan tersebut berbuah kesepakatan, SMK Bakti Karya hanya boleh menerima maksimal 10 siswa-siswi dari satu agama di tahun ajaran selanjutnya. “Okelah kita terima sebagai jalan tengah. Nah, ternyata di tahun depannya jumlah siswa-siswi baru yang non-muslim ada 12. Ya kita dipanggil lagi sama Pak Bupati,” Athif tergelak.

“Bupati nanya, ‘Ini kenapa jadi 12? Katanya kemarin sepakat 10?'”

“Ya kita jawab, ‘Lah, ini 10 kan Katolik. Ini yang hadir 2 lagi itu Protestan. Kan beda agama, Pak,'” kisah Athif sembari tertawa lepas.

Namun, tantangan-tantangan berat itu tak lantas membuat semangat para pengelola SMK Bakti Karya Parigi surut. Sebab mereka memandang semua konflik itu dapat diselesaikan dengan dialog. Sedangkan dialog hanya dapat tercipta jika masyarakat mau bertemu dan mau mengenal orang yang berbeda, serta diberi kesempatan untuk melakukan hal tersebut. Sehingga SMK Bakti Karya Parigi berusaha hadir sebagai ruang yang memfasilitasi pertemuan dan perkenalan tersebut bagi masyarakat di sekitarnya yang selama ini terbilang masih homogen dari sisi etnis dan agama.

“Kami percaya dengan ketemu orang lain itu banyak hal terkonfirmasi. Banyak hal yang tadinya hanya sekadar asumsi bisa jadi lebih jelas ketika kita ngobrol sebagai teman,” jelas Athif. 

_______________

Artikel ini pertama kali dimuat di katolikana.com

Penggerak GUSDURian Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.