Social Media

Bukan Menjadi tetapi Belajar Menjadi GUSDURian

Bukan Politik GUSDURian

Sewaktu mengikuti Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Jaringan GUSDURian tahun 2016 di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Yogyakarta, ada satu peserta yang menyatakan sebuah narasi terkait cara Gus Dur dalam mengkader Cak Imin (Abdul Muhaimin Iskandar) menjadi pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pernyataan itu disampaikan di hadapan peserta dan Mbak Alissa Wahid.

Hingga di tahun 2022, narasi semacam di atas pun tetap kudengar dari beberapa orang. Saat diminta berkomentar atas itu, aku berpegang pada tulisan Mbak Alissa, bahwa “Bapakku Bukan Perekayasa Konflik”. Tidak berhenti di situ, teman diskusiku pun memberikan kesimpulan bahwa tidak ada yang benar-benar tahu atas kebenaran situasi itu. Bagiku, kesimpulan itu merupakan bentuk penolakan atas jawabanku yang mengutip tulisan Mbak Alissa Wahid.

Sisi lain dari dialog itu, membuktikan bahwa begitu besar jasa dan kontribusi Gus Dur bagi masyarakat luas. Sehingga, dalam hitungan politik praktis, itu jelas dapat dijadikan modal politik. Terbukti, dalam setiap siklus Pemilihan Umum (Pemilu), cukup banyak politisi yang menyatakan dan menegaskan diri meneruskan perjuangan Gus Dur. Beberapa politisi itu juga menyatakan diri sebagai GUSDURian.

Ketika menjumpai politisi yang mengaku GUSDURian, jelas itu “Bukan GUSDURian”. Bagiku, berpolitik dengan meneruskan perjuangan Gus Dur itu tidak dengan pernyataan dan deklarasi. Tetapi dengan pembuktian dan adanya pengakuan dari masyarakat. Bahwa ia telah menjalankan Sembilan Nilai, Pemikiran, dan Keteladanan Gus Dur (9 NPK Gus Dur). Saat seseorang telah menjalankan 9 NPK Gus Dur, dengan sendirinya ia akan malu ketika menyatakan bahwa “politiknya adalah politik yang meneruskan perjuangan Gus Dur”.

“Belum Menjadi GUSDURian”

Apabila di atas membahas soal politisi “ bukan GUSDURian”, selanjutnya berkaitan dengan diriku yang merasa dan menyimpulkan bahwa dirinya “belum menjadi GUSDURian”.

Berawal dari kebijakan Jaringan GUSDURian dalam mengurangi sampah plastik, seluruh penggerak diharuskan selalu membawa tumbler dan mengurangi plastik sekali pakai dalam kegiatan komunitasnya masing-masing. Aku pun konsisten untuk menerapkan itu. “Mana tumblermu?” Begitu tanyaku kepada penggerak KGSKR yang tidak membawa tumbler.

Dalam kehidupan keluarga, penulis baru dapat menerapkan Gerakan Mengurangi Sampah Plastik ketika telah menikah. Sampah rumah tangga harus dipilah. Sampah organik dapat dibuang ke pembuangan sampah. Sedangkan sampah anorganik disetorkan ke Bank Sampah. Untuk sampah anorganik yang basah, aku pun akan mencuci dan mengeringkannya. Beberapa akan disetor di bank sampah dan beberapa akan dikasihkan saudara untuk dijadikan bahan bakar dalam proses pembakaran di pembuatan tempe. Sebab kalau sekadar dibakar, itu belum bijak dalam menangani sampah anorganik.

Semenjak itu juga, ada peningkatan kesadaran dalam bertanggungjawab terhadap sampahku. Sejak itu pula aku selalu kepo dan ragu-ragu terhadap pembuangan sampah di beberapa tempat tertentu seperti di pujasera, kafe, tempat wisata, angkringan, rumah dan/atau warung makan. Sebisa mungkin, aku akan membawa pulang sampahku.

Hingga Kamis (08/09/2022), saat penulis membuat janji dengan kawan dari Mojokerto di pujasera di wilayah Kecamatan Gempol. Saat hendak ke toilet, penulis melintasi selokan. Mengerikan. Sudah tak mengalir, penuh sampah organik yang sudah membusuk dengan beragam sampah anorganik.

Menyadari itu, benar-benar belum banyak yang melakukan pemilahan sampah. Sehingga sampah-sampah organik yang berpotensi menimbulkan bau dan sampah anorganik yang berbahaya bagi organisme dan ekosistem lingkungan itu tercampur. Andai itu akan dibersihkan, rata-rata akan berakhir menumpuk dan menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Aku pun semakin takut untuk mempercayakan sampahku secara sembarangan. Kuputuskan untuk selalu berusaha membawa sampahku itu pulang ke rumah.

Lama kelamaan juga, tak terasa diriku merasa menjadi lebih baik dari orang lain. Karena telah konsisten mengurangi sampah plastik dan bertanggungjawab dengan sampahku. Usai menyadari kesombongan itu, aku pun merasa bahwa aku “belum menjadi GUSDURian”. Artinya, saat menjadi bagian apalagi Penggerak GUSDURian itu, harusnya menjadikan kita sadar dan berusaha untuk menjadi manusia yang baik dan bermanfaat. Titik. Bukan merasa lebih baik dan lebih bermanfaat dari pada orang lain.

Selanjutnya, aku pun pernah bersyukur atas kondisi pribadi yang lebih baik dari kondisi orang lain. Bersyukur ketika dapat membeli sepeda motor karena melihat ada orang yang belum mampu membeli motor. Dan lain-lain semacam itu. Jujur saja, aku memang pernah mendapatkan pembelajaran terkait bersyukur dengan cara seperti itu.

Dalam sebuah kegiatan Jaringan GUSDURian, aku pun terpukul ketika Mbak Alissa Wahid menjelaskan tentang pernyataan Gus Dur terkait bersyukur. Gus Dur pernah berkata, “Nah, saya berpesan kepada njenengan-njenengan semuanya. Kalau ngasih piwulang/pelajaran ya gak boleh menyakiti orang lain. Misalnya njenengan ngasih khutbah/ceramah bab syukur ya jangan berkata ‘Jamaah sekalian, kita harus bersyukur bahwa masih banyak orang-orang yang kelaparan dan tidak punya rumah’. Gak boleh ya mas, karena menjadikan ketidakberuntungan nasib orang lain sebagai bahan bakar untuk rasa syukur kita adalah sesuatu yang sangat biadab dan tidak berperikemanusiaan.”

Belajar Menjadi GUSDURian

Sebagai penggerak, kami sering menerima pertanyaan dan pernyataan. “Bagaimana ya caranya untuk bergabung menjadi GUSDURian?”. Dalam sebuah canda, salah satu penggerak KGSKR pernah menjawabnya dengan menyatakan, “Siapkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), Kartu Keluarga (KK), dan dokumen lain sebagaimana melamar sebuah pekerjaan”.

Menjadi GUSDURian, caranya cukup mudah untuk diucapkan. Penuh tantangan ketika menjalankannya. Yakni dengan bersedia untuk belajar memahami dan berusaha untuk menjalankan Sembilan Nilai, Pemikiran, dan Keteladanan Gus Dur (9 NPK Gus Dur), yakni ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan lokal.

Ketika ditanya, apakah aku sebagai penggerak telah menjalankan 9 NPK Gus Dur dalam kehidupan sehari-hari? Jawabnya sederhana. Aku sedang berusaha untuk terus memahami dan menjalankannya.

Selanjutnya, untuk menjadi GUSDURian tentu saja perlu mengikuti berbagai kegiatan Jaringan GUSDURian dan kegiatan Komunitas GUSDURian di daerahnya masing-masing. Bisa searching di Google, ketik Jaringan GUSDURian atau GUSDURian Pasuruan misalnya, akan dapat diketahui media sosial dan berbagai informasinya.

Di Pasuruan misalnya, seseorang akan dimasukkan grup WhatApps Komunitas GUSDURian Pasuruan ketika telah mengikuti kegiatan KGSKR GUSDURian Pasuruan. Dengan harapan, akan terus mendapatkan informasi tentang kegiatan, sikap, dan gerakan Jaringan GUSDURian dan KGSKR.

Kenapa harus rutin mengikuti kegiatan GUSDURian? Karena ketika seseorang ingin menjadi GUSDURian, sesungguhnya dirinya harus merasa sedang “Belajar menjadi GUSDURian”.

Koordinator Komunitas Gitu Saja Kok Repot (KGSKR) GUSDURian Pasuruan. Dosen ITSNU Pasuruan. Ketua LTNNU PCNU Kabupaten Pasuruan.