Social Media

Refleksi Toleransi dan Sambung Rasa Saling Peduli

Sekitar awal Oktober 2022 lalu hujan deras dan cuaca ekstrim hampir setiap hari mengguyur berbagai daerah. Dalam rentang waktu dua minggu, peralihan musim kemarau ke musim penghujan menyebabkan terjadinya bencana alam dan banyak orang terserang penyakit. Seperti beberapa daerah di Jawa Timur yang mengalami banjir dan tonoh longsor. Sejak saat itu, banyak dari aliansi kemanusiaan mengadakan pos bantuan dalam rangka membantu saudara-saudaranya yang terdampak bencana alam.

Notifikasi WhatsApp saya berbunyi. Sekitar pukul setengah dua belas siang, koordinator komunitas GUSDURian Tulungagung mengajak saya untuk membantu membuka pos penggalangan bantuan pada sore harinya. Bersama komunitas Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Tulungagung, kami lantas bersiap diri dengan menggelar banner dan gapura kecil di halaman gereja.

Gerakan kecil kemanusiaan yang digalakkan teman-teman membuat saya begitu merasakan lekatnya keberagaman dan kemanusiaan menyikapi perbedaan itu sendiri. Sebagai refleksi diri, kita sama-sama tahu bahwa agama mengajarkan tolong-menolong dan kewajiban sikap saling peduli. Ada ungkapan Gus Dur yang mengatakan, semakin terlihat perbedaannya, maka semakin jelas pula titik persamaannya. Ungkapan ini dapat diartikan bahwa perbedaan akan mewujudkan persatuan antarumat. Indonesia merupakan negara keberagaman, maka tidaklah menjadi alergi terhadap perbedaan yang melingkupi. Justru dari perbedaan itu terciptalah nilai-nilai kemanusiaan seperti toleransi dan tolong-menolong.

Islam mengajarkan apa yang disebut dengan toleransi yang dimaknai sebagai ikhtiar bersama dalam menjunjung tinggi rasa kemanusiaan atas perbedaan. Merespons atas apa yang terjadi pada saudara kita adalah bagaimana kita mampu bersama-sama menebalkan rasa saling melindungi, membantu, dan memberikan kemaslahatan.

Ikut dalam perayaan Hari Toleransi Internasional yang diadakan 16 November lalu, cendekiawan ilmu Al-Qur’an, Muhammad Quraish Shihab, menjabarkan toleransi dalam acara bedah bukunya yang berjudul Toleransi. Toleransi menurut beliau adalah ibarat pohon, satu pohon memiliki anggota tubuh, yaitu termasuk daun dan batang. Baik dari daun dan batang memiliki warna dan bentuk yang berbeda. Warna daun terdiri dari muda, tua, kering. Sedangkan batang pohon yang tumbuh memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda pula.

Sama halnya jika diibaratkan dengan hitungan. Apabila 5+5=10, ini menunjukkan hasil dan cara hitung praktis, terukur. Tapi Tuhan menginterpretasikan dengan cara yang berbeda, yakni bagaimana hasil dari penjumlahan 10 itu dapat dihasilkan melalui cara hitung angka berapa pun. Pengibaratan tersebut dapat membantu kita memahami toleransi.

Maka hakikatnya, Tuhan memang ingin kita berbeda. Tuhan menciptakan makhluk yang berbeda ini sekaligus memberi petunjuk bagaimana kita memahami perbedaan itu. Maka merefleksikan perbedaan yang ada, pada dasarnya perbedaan ini adalah mutlak. Manusia yang merupakan makhluk sosial tidak akan hidup damai jika hidup tidak dilingkupi perbedaan. Justru dengan perbedaan itulah manusia dapat merasakan damainya kerukunan.

Menyambung perintah tolong-menolong di atas, tolong-menolong memang kerap direpresentasikan dalam aksi kepedulian. Maka dari itu, tak sedikit di Indonesia hadir lembaga filantropi yang diusung karena semangat kepedulian dan rasa tolong menolong yang tinggi. Lembaga tersebut tidak hanya hadir saat merespons kepedulian bencana saja, tetapi berbagai permasalahan kemanusiaan yang dihadapi oleh masyarakat awam.

Mengutip dari apa yang dikatakan guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat, bahwa apa yang kita berikan kepada saudara kita yaitu dalam rangka membantu sahabat atau orang sekitar sama saja sebagai tindakan menebar vibrasi syukur kepada Allah SWT. Energi kebaikan dari bantuan tersebut menebar kepada orang-orang yang dibantu. Apa yang kita bantu sejatinya telah menciptakan dan memberikan energi positif baik untuk diri kita sendiri maupun orang lain.

Kita tidak akan merugi jika membantu orang lain. Namun, jika memperhitungkan dari segi materi atau jumlah matematis, ketika memberi, maka bisa saja yang memberi akan merasa bahwa apa yang ia beri membuat segala yang dimiliki menjadi berkurang. Namun, tentu saja bukan seperti itu. Sikap memberi hakikatnya tidak merugi. Asalkan nilai pemberian dilandasi dengan ketulusan dan keikhlasan maka tindakan mulia tersebut akan berdampak positif baginya.

Sejatinya, Islam telah mengenalkan ajaran sejak kita umur belia mengenai filosofi kepemilikan. Bahwa apa yang dimiliki di dunia, baik yang berwujud jasmani maupun materi, semuanya semata-mata hanyalah titipan Allah SWT. Namun dengan titipan tersebut, manusia dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Maka dari itu, dengan menyadari bahwa apa yang dimiliki hanyalah titipan Allah SWT bukan kepemilikan kekal untuk kita.

Pekerjaan-pekerjaan kemanusiaan ini juga tertanam dalam ciri Ahlussunah Wal Jamaah, yaitu sikap ta’awun (tolong menolong) dan tasamuh (toleransi). Perilaku ini juga harus dipadukan dengan akhlak yang diajarkan oleh NU, seperti mabadi khoiru ummah, yaitu as-shidqu (kejujuran), al-wafau bil ‘ahdi (dapat dipercaya), al-ta’awun (tolong menolong), al-‘adalah (keadilan), dan al-istiqamah (keajegan). Dalam kehidupan sosial, ada etika sosial yang fungsinya tidak hanya melihat segala sesuatu dalam rangka kepentingan diri sendiri, melainkan mempedulikan kepentingan bersama untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan.

Adapun refleksi ta’awun dan tasamuh dalam berkehidupan ini menjadi upaya kita sebagai hamba dalam beribadah dan berhubungan dengan Allah (hablum minallah), serta berhubungan baik dengan manusia (hablum minannas). Hubungan baik ini ditandai dengan rasa peduli sebagai penebaran cinta kasih bahwa kita sama-sama hamba-Nya yang manusia.

Hal ini juga menjadi penyadaran kita pula bahwa beribadah bukan berarti hanya memperbanyak jumlah kuantitas ibadah fisik, berlama-lama berdiam di masjid. Tapi, seyogyanya lebih dari itu. Bentuk pengabdian kita sebagai manusia dalam puncak tertinggi adalah bagaimana kita menempatkan rasa kemanusiaan dalam benak diri masing-masing. Itulah ibadah yang sejatinya tidak hanya meraih kemaslahatan untuk bekal diri sendiri tapi maslahat juga bagi sekitar.

Penggerak GUSDURian Tulungagung, Jawa Timur.