Social Media

Forum 17-an, GUSDURian Gorontalo Gelar Nobar Film “Luka yang Beta Rasa”

Pada tanggal 17 setiap bulannya, GUSDURian Gorontalo menggelar diskusi yang melibatkan organisasi dan komunitas lintas iman. Kali ini GUSDURian Gorontalo mengadakan Nonton Bareng (Nobar) film dokumenter produksi Narasi berjudul Luka yang Beta Rasa di Rumah Pastoran Gereja Katolik Kota Gorontalo, Jumat (18/11/2022).

Berbagai komunitas turut hadir pada gelaran nonton bareng itu. Film dokumenter tersebut diputar selama kurang lebih 30 menit. Acara lalu dilanjutkan dengan diskusi. Dua narasumber yakni Frater Ignatius Kisa dan Mubaligh Ahmadiyah Ustaz Nanang bertugas memantik diskusi.

Dalam penyampaiannya, Ignatius mengatakan melalui film tersebut dapat disimpulkan bahwa perang merupakan hal yang tidak baik dan menimbulkan kekelaman pada hidup seseorang.

Sebelumnya, ungkap pria yang akrab disapa Igi tersebut, Gereja Katolik juga pernah saling bertikai dalam Perang Salib. Hingga lahirlah Konsiliasi Vatikan II, di mana dalam hal mewartakan injil harus melalui jalur-jalur damai.

“Ternyata (penyebaran agama) yang kita dapat melalui cara perang, pertobatan yang didapat bukanlah yang sejati. Melainkan melalui rasa takut, tertekan. Kemudian Gereja menyebarkan agama dengan cara yang lembut, manusiawi. Pokoknya orang bisa menerima kita dengan rela,” sebutnya.

Dalam hal meminimalisir hal-hal yang buruk akan terjadi seperti dalam film dokumenter tersebut, pihaknya membentuk komunitas kecil yang mengajarkan relasi ilahiah seperti menanamkan rasa saling memahami dalam rangka menangkal berbabagai macam pandangan yang mengarah pada konflik.

“Yang saya pelajari dari film ini, perang itu pasti ada otaknya. Ada yang mendalangi dan ada yang mendanai itu. Untuk menghadapinya kami membentuk kelompok kecil yang bisa menangani itu, dan orang-orang yang ditunjuk dalam membimbing kelompok kecil ini adalah mereka yang terpelajar dan paham akan kebaikan-kebaikan yang diajarkan dalam agama,” ungkapnya.

Selanjutnya Frater Pastoral tersebut mengatakan bahwa, selaku umat beragama jangan terlena dengan perkataan pemerintah yang menyebut kondisi keberagamaan kita masih aman-aman saja. Jangan sampai terlena.

“Sebab, konflik yang pernah terjadi di Poso, Sulawesi Tengah pemerintah juga mengatakan hal yang sama bahwa kondisi masih aman. Ternyata mereka tidak mengetahui situasi dan kondisi di lapangan, sehingga terjadilah perang Poso. Kami sangat berterima kasih kepada komunitas GUSDURian Gorontalo yang telah menginisiasi kegiatan ini,” tandasnya.

Di tempat yang sama, Mubaligh Ahmadiyah Ustad Nanang mengatakan film yang ditayangkan yakni kerusuhan yang terjadi di Maluku pada 1999-2004. Mereka yang terlibat masih sangat muda. Bisa dilihat mereka hanya ikut-ikutan perang yang dilakukan oleh orang dewasa.

“Saya juga sempat memanas, saat itu guru Pendidikan Agama Islam di sekolah yang menayangkan kerusuhan di Poso. Saya tidak paham. Seolah muslim dipanas-panasi. Saat itu kami gerah melihat saudara muslim yang dibunuh. Ada emosi yang bergejolak. Hal ini terjadi karena pemahaman moderasi beragama yang kurang. Paham moderasi agama dari guru, pemuka agama masih sangat parah, apalagi pola pikir yang masih sempit,” terangnya.

Dalam film dokumenter tersebut para pelaku mengatakan bahwa pengalaman perang tidak ada faedahnya. Bahkan, jika bisa memutar waktu mereka tidak mau terlibat dalam perang tersebut.

Perang ini, katanya, memiliki sebab unsur politik yang ingin memecah belah umat beragama. Seandainya dulu mereka paham moderasi beragama, mungkin tidak akan terprovokasi.

“Rasulullah berpesan, ketika sahabat pulang dari Perang Badar. Ini belum seberapa. Padahal itu perang besar. Rasul sampaikan perang paling besar adalah nafsu,” ungkap Nanang.

“Agama ibarat pisau. Pisau itu tergantung orang yang memegangnya. Jika orang jahat maka pisau akan jadi alat membunuh. Jika seniman yang memegang maka pisau akan menghasilkan karya seni. Agama pun seperti itu. Siapa yang memegangnya akan menentukannya,” lanjutnya.

Dalam hati manusia, ada Nur yang bisa memantulkan cahaya. Sifat Allah swt yang paling sederhana adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Bentuknya kasih sayang.

“Maka kami di jemaat Ahmadiyah punya moto, cinta untuk semua dan tidak ada kebencian untuk siapa pun. Kita sebarkan pesan cinta untuk siapa pun. Sehingga kita bisa jadi generasi yang baik, bisa mengubah bangsa ini ke arah lebih baik,” imbuhnya.

Nanang juga mengutip ungkapan dari Gus Dur bahwa semakin tinggi ilmu seseorang maka makin tinggi toleransinya.

“Semoga apa yang kita idamkan dalam menggaungkan moderasi beragama terus dijaga, sehingga bisa mengubah pola pikir masyarakat. Setidaknya mengikis kelompok yang masih memiliki sikap intoleran dan bisa mewujudkan negara yang aman sentosa,” tandasnya.

Sementara, Koordinator GUSDURian Sulawesi Abdul Kadir Lawero mengatakan, toleransi yang ada jangan hanya terjadi di depan layar, tapi situasi di lapangan tidak benar-benar terjadi.

“Sehingga yang kita butuhkan adalah variasi gerakan dalam rangka menyemarakkan keberagaman di Indonesia,” tutur Kadir.

Penggerak Komunitas GUSDURian Gorontalo.