Abdurrahman Wahid adalah kontoversi di dalam dirinya sendiri. Bahkan ketika tahta tertinggi telah direnggutkan darinya ia tetaplah sebuah kontroversi. Bagi orang seperti Wimar Witoelar, kegagalan Wahid mengelola kekuasaan lebih karena ia tidak bisa diimbangi secara cerdas oleh masyarakatnya. Untuk orang tipe Amien Rais, kegagalan yang sama justru timbul karena faktor Wahidnya sendiri. Kalau sikap Wimar boleh jadi didorong oleh kekaguman yang sering tidak kritis, Amien lebih mungkin dirangsang oleh rasa geram yang tidak rasional.
Setelah era kekuasaan Soekarno tidak ada momen politik Indonesia yang menguras habis energi masyarakat selain era Wahid kemarin. Dalam dua tahun kekuasaannya ia telah memberi dua hal kontradiktif bagi kita: demokratisasi pada sisi positif, dan kemelut politik yang kontraproduktif di sisi lain. Akibatnya, seluruh kekuatan bahu membahu bukan mengatasi kesulitan akibat krisis, melainkan membuka lahan-lahan pertikaian dan saling baku kecam di segala lini.
Adakah pelajaran berharga yang bisa dipetik selain demoralisasi pada segala tingkat masyarakat? Paling tidak sekarang publik akan semakin tahu apa arti eksistensi mereka dalam pemilu: sederet jumlah angka yang hanya menjadi penting dalam sesaat. Tubuh-tubuh yang dijadikan arena perebutan kuasa.
Era Wahid sekarang telah tamat. Ia dipecat tanpa kehormatan oleh sebuah lembaga yang sama sekali tidak memiliki akuntabilitas publik, MPR. Suka atau tidak suka secara politis kita hanya boleh punya satu presiden.
Tapi tahta Megawati Soekarnoputri mungkin akan tetap jadi bahan diskusi yang menarik. Bukan saja karena ia presiden perempuan pertama, tetapi juga karena proses yang melatarbelakanginya masih menyisakan beberapa soal problematis. Diakui atau tidak, kita menyaksikan banyak hal yang belum sepenuhnya bisa diterima setelah sebuah sidang istimewa berakhir, dan seorang presiden dimakzulkan.
Pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, misalnya, seorang presiden yang telah dipecat MPR berkeras melakukan perlawanan. Ia bahkan sempat menolak meninggalkan istana. Padahal setelah diberhentikan MPRS Soekarno hanya bisa mendekam sakit parah sampai kematian memisahkannya dari negeri yang begitu dalam ia cintai; setelah 32 tahun berkuasa, kemudian mengundurkan diri, nasib Soeharto hari-hari ini hanya tinggal menunggu maut menjemput dalam perih luka; dan setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, Habibie mundur dari pencalonan presiden dan lantas jadi pelancong intelektual kelas dunia.
Apa yang terjadi pada Wahid? Alih-alih mau menikmati pensiun dengan tenteram, ia malah mengalihkan medan pertempuran ke wilayah lain, wilayah kultural yang dahulu membesarkannya. Maka seperti Eisenhower ia berkata kepada para pendukungnya, “I shall return.”
Kalau kita membuka seluas mungkin peluang untuk mendiskusikan hal itu secara jujur, penolakan Wahid itu bukan hanya bisa dibaca sebagai sikap tidak realistis menghadapi kenyataan politis, tapi juga sebuah gambaran tentang bagaimana proses pergantian pemimpin berlangsung begitu bengis. Salah satu pihak seperti harus menjadi kurban bagi yang lain. Dan ini terjadi pada abad 21, satu paruh waktu yang seharusnya sudah begitu jauh meninggalkan tradisi raja-raja Jawa.
Di lain pihak, meskipun sebagai fakta politik tidak bisa lagi dibatalkan, tapi untuk keperluan ilmu pengetahuan kita tentu membutuhkan sebuah kajian serius dan layak dipercaya untuk menjawab pertanyaan: apakah Sidang Istimewa (SI) MPR yang memecat Wahid itu benar-benar tidak mengandung cacat yuridis dan moral yang bisa digugat beramai-ramai di kemudian hari?
Karena itu beberapa pertanyaan berikut mungkin cukup relevan diajukan: Pertama, apakah problem-problem yuridis dan moral (dan penyelesaiannya) harus senantiasa dipisahkan dari real politik? Apakah diktum bahwa “hukum yang berlaku adalah hukum pemenang perang” bisa terus dipertahankan ketika yang dipersoalkan bukan realitas politik tapi moral politik?
Kedua, dalam hubungannya dengan posisi kategoris Maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001 dalam sejarah, sebuah posisi problematis bisa diajukan untuk menjadi dasar penelitian lebih lanjut: bagaimana menjelaskan Maklumat tersebut tanpa mendistorsi konteks kondisi politik yang melatarbelakanginya?
Ketiga, bagaimana menjelaskan keterangan ketua MPR tentang kepastian pergantian presiden yang antara lain justru mendorong percepatan pengeluaran Maklumat 23 Juli 2001? Ada dua hal yang bisa dipersoalkan tentang hal ini. Soal yang pertama, kepastian tersebut dikeluarkan bukan pada sidang majelis melainkan di halaman rumah pribadi wakil presiden waktu itu (Megawati). Tidakkah itu merupakan satu makar terhadap sebuah kekuasaan yang secara de jure masih absah? Soal kedua, pernyataan kepastian itu dilakukan sebelum MPR sendiri mendengarkan pidato pertanggungjawaban presiden.
Problem ini bisa diperluas menjadi masalah fairness dalam berpolitik. Apakah secara etis dan politis cukup adil memberi Wahid waktu satu hari satu malam untuk mempersiapkan pertanggungjawaban di hadapan SI MPR yang dipercepat dari jadwal semula? Meskipun hampir tidak ada kemungkinan Wahid bersedia memberikan pertanggungjawaban yang diminta MPR, tapi hal ini jelas tidak otomatis memberi kewenangan ketua MPR untuk memberi kepastian tentang pemberhentian Wahid apalagi jika hal tersebut dikemukakan sebelum SI-nya sendiri dilakukan.
Karena itu, argumen para pendukung Wahid bahwa Maklumat 23 Juli 2001 adalah sebuah “tindakan tidak demokratis untuk memulihkan demokrasi” cukup menggoda untuk dicermati. Basis etik argumen ini kurang lebih seperti kebenaran klasik bahwa “manusia berperang justru untuk meraih perdamaian”. Paling tidak kita bisa mengajukan pertanyaaan apakah, seperti keterangan post-factum salah seorang putrinya, memang secara sadar Wahid ingin mengajak bangsa ini memasuki sebuah wilayah “abu-abu” baik tentang SI MPR maupun tentang Maklumat? Ataukah itu terjadi karena Wahid memang tidak memiliki kesanggupan membaca realitas politik akibat distorsi informasi yang diterimanya serta sikapnya yang terlampau percaya diri?
Konkretnya, apakah Wahid harus dikenang sebagai seorang demokrat yang kalah perang atau seorang diktator yang impoten secara politis? Problem di atas juga akan membawa kita pada pertanyaan tentang peran beberapa tokoh utama yang jadi lawan politik Wahid ketika itu. Sejauh menyangkut peran historis Amien Rais, misalnya, pertanyaannya adalah, apakah ia seorang king maker yang sangat cerdas mengelola sumber daya politik bagi kepentingan rakyat banyak, ataukah ia hanya pantas dikenang sebagai seorang petualang politik yang hipokrit?
Dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, kita mungkin akan memperoleh jawaban yang basis argumentasinya jauh lebih memuaskan daripada arus pendapat umum yang dominan saat ini. Bukan mustahil bahwa kelak akan terjadi perjungkirbalikkan persepsi bahkan penulisan sejarah. Klaim Wahid dan pendukungnya bahwa mereka masih tetap melakukan perjuangan moral, misalnya, jangan-jangan berangkat dari kesadaran bahwa kalau kemenangan politik akan berpengaruh pada nasib politik temporer saat ini, pemilihan isu moral lebih berorientasi pada investasi untuk nasib politik mereka di masa depan.
Pemahaman seperti ini tercermin langsung dari praktik pembentukan wacana yang terus-menerus mereka kemukakan: “perjuangan demokrasi” atau “istana rakyat”. Dua frase ini jelas dipakai untuk melakukan negasi moral terhadap kekuasaan formal yang baru dipilih MPR. Di situlah kita masih bisa melihat sedikit sisa kecerdasan Wahid dalam politik pembentukan citra.
Jika dikerjakan secara cermat dan tanpa kekerasan, perlahan-lahan akan terbuka peluang untuk kembali meneguhkan posisi Wahid vis a vis lawan-lawan politiknya dalam sejarah. Patut diingat, kekuasaan raja dan gereja Prancis membutuhkan waktu 500 tahun sebelum mengakui si gadis petani kecil yang semula dituduh pemuja setan dan dibakar hidup-hidup, Jean d’Ark, sebagai santo suci. Negeri ini butuh waktu 32 tahun untuk bisa benar-benar menghormati Bapak pendirinya, Soekarno.
Sampai detik terakhir kekuasaanya Wahid cukup sanggup memelihara komitmen antikekerasan. Mudah-mudahan itu karena akal sehat masih bisa bekerja, dan bukan hanya karena Wahid tidak sanggup mengerahkan energi kekerasan para pendukungnya. Faktanya, hari-hari menjelang ia dijatuhkan, nuansa kekerasan tidak tampak di istana presiden tapi malah di gedung parlemen. Dari peristiwa itu kita belajar bahwa orang boleh keras kepala dalam mempertahankan kuasa, tapi tidak setetes pun darah rakyat pantas tumpah untuk itu.
Sebaliknya, sebuah gugatan beralasan untuk diajukan: pantaskah aparat keamanan mempertontonkan kekuatan penuh secara arogan di depan tahta yang sudah udzur, hanya untuk mencegah kerusuhan sosial yang hanya ada dalam pikiran? Patut disayangkan bahwa Megawati, seperti raja-raja Jawa atau Seoharto, tetap membutuhkan kawalan senjata berlebihan untuk meraih tahta.
Tampaknya kita butuh waktu untuk membiarkan seluruh kebencian mengendap, dan haru biru politik menguap jadi kenangan. Masa depan Wahid masih akan ditentukan oleh sejauh mana ia bisa meriskir hidupnya di tengah bentrokan pendapat dan kepentingan. Apakah kemuliaan akan menyertainya justru setelah ia tidak lagi memegang kekuasaan politik, ataukah justru ia hanya akan jadi contoh lain tentang mustahilnya memisahkan —satu hal yang sekuat tenaga telah ia lakukan ketika masih berkuasa– kemuliaan dari kekuasaan?
Jakarta, 12 Agustus 2001
Pernah dimuat di situs Detik.com pada 24 Agustus 2001
Sumber: hikmatbudiman.id
Selanjutnya: Jatuhnya Kekuasaan Modern Indonesia (3): Menanggalkan Kemuliaan, Menghidupkan Akal Sehat
Sebelumnya: Jatuhnya Kekuasaan Modern Indonesia (1): Kekuasaan dan Kemuliaan