Social Media

Jatuhnya Kekuasaan Modern Indonesia (3): Menanggalkan Kemuliaan, Menghidupkan Akal Sehat

Dalam tradisi sosiologi, terbentuknya negara modern merupakan bagian dari proses rasionalisasi. Bagi Max Weber, misalnya, rasionalisasi adalah rangkaian sistematik operasi rasionalitas pada konteks sosial dan kebudayaan. Proses ini berlanjut menjadi modernisasi pada level kemasyarakatan melalui perluasan dan diferensiasi ekonomi kapitalis serta munculnya negara modern. Modernisasi, dengan demikian, mencakup pembentukan perusahaan-perusahaan kapitalis yang bersifat publik dan terpisah dari dunia domestik, serta terbentuknya institusi politik rasional berupa negara modern.

Kalau Karl Marx disibukkan oleh persoalan komodikasi sebagai resiko lain dari modernitas, Weber mengkhususkan dirinya dalam menganalisa tendensi demagikasi sebagai kecenderungan utama modernitas. Konsep Weber tentang rasionalisasi di atas terutama ditekankan pada apa yang, mengikuti tafsiran Schiler, ia sebut sebagai proses lepasnya manusia dari buaian mitos dan magi, sebuah disilusi pada kekuatan-kekuatan purbawi, disenchantment of the world.

Retrospeksi sedikit ke belakang, tanpa aksi jutaan mahasiswa dan rakyat serta krisis moneter tahun 1998 yang lalu, seharusnya Soeharto masih menjadi presiden kedua Indonesia sampai tahun 2003 yang akan datang. Tapi bahkan sampai Megawati dibenum menjadi presiden kelima ia masih tetap memakai sebagian jatah waktu kekuasaan Soeharto. Artinya, dalam kurun tiga tahun kita telah mengalami suksesi empat orang presiden.

Ini adalah peristiwa luar biasa, karena sejarah kekuasaan pendulumnya bergerak dari esktrem yang satu ke ekstrem yang lain: dari 53 tahun dengan hanya dua orang presiden keempat orang presiden dalam tiga tahun; dari kekuasaan yang begitu total bertumpu pada satu tokoh menuju sebuah kekuasaan yang juga secara total terfragmentasi menjadi beberapa kekuatan politik yang saling bertikai; dari sebuah pseudo-harmony a la Orde Baru ke unity of disunity kelompok-kelompok sosial dan etnis; dari penekanan pada “tunggal ika” tanpa toleransi atas perbedaan ke penekanan ke-“bhinnekaan” dengan integrasi yang sedang dipertanyakan terus-menerus.

Psikologi masyarakat yang terlibat dalam perubahan dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain pasti mengalami guncangan keras. Rentetan peristiwa politik baru-baru ini telah membekaskan trauma yang sulit dihapus. Setelah 56 tahun merdeka minoritas elit negeri ini ternyata belum sanggup menghadirkan kehidupan politik yang beradab dan bermartabat. Sampai hari ini kita menyaksikan bagaimana mereka telah melakukan politisasi tubuh biologis rakyat melalui mobilisasi untuk menolak atau mendukung. Sebuah politik yang masih bertumpu pada tubuh pasti hanya refleksi dari macetnya akal sehat secara kolektif.

Kalau baik Soekarno maupun Soeharto, di luar beberapa perbedaan mendasar dalam karakter individualnya, membagi bersama sebuah watak yang cenderung menarik dan membentuk kekuasaan menjadi sumber wibawa dan kharisma personal yang disakralkan, Habibie tanpa disadarinya sendiri telah memulai proses desakralisasi kekuasaan menjadi sesuatu yang lebih manusiawi. Wajah kekuasaan Habibie tidaklah berkilau seperti Soekarno atau dingin dan bengis seperti Soeharto tapi jenaka dan ramah. Sejak itu persepsi kita tentang kekuasaan mulai mengalami pergerseran. Dalam satu tahun Habibie berhasil meletakkan sebuah dasar yang cukup penting bagi pemisahan antara kekuasaan politik dan kemuliaan spiritual.

Wahid kemudian mendorong proses ini ke titik ekstremnya yang paling jauh dengan menjadikan kekuasaannya sama sekali kehilangan aura kharismatik. Setiap hari Wahid seperti sedang melecehkan sakralitas tahta, mendekonstruksi kekuasaan menjadi sesuatu yang tidak lagi menyiratkan wibawa yang sanggup membuat orang tepekur penuh takzim. Desakralisasi tersebut sempurna secara fisikal ketika dengan hanya mengenakan celana pendek dan baju kaos Wahid, yang sudah dipecat oleh MPR, melambai lambaikan tangan dari teras istana kepada para sahabat yang mencintainya.

Selama dua tahun di kursi presiden Wahid telah membuka dirinya lebar lebar terhadap segala jenis tilikan, sedemikian terbukanya sehingga seringkali ia justru tertikam oleh kebebasan yang diciptakannya sendiri. Lebih dari itu, ia bahkan juga membuka pintu istana —simbol tertinggi kesatuan kuasa dan kemuliaan– untuk rakyat lebih lebar bahkan daripada pintu gedung wakil rakyat sendiri. Tidak akan terlalu mengagetkan jika kelak Wahid akan dikenang sebagai presiden Indonesia yang berani membiarkan dirinya menjadi sasaran kritik bahkan yang paling menyakitkan sekali pun.

Sebelum jadi presiden, terutama oleh mereka yang mempercayainya, seluruh prilaku Wahid mungkin dianggap manifestasi kemuliaan watak tipikal seorang wali: antikemapanan, kontroversial, a round peg in a square hole. Untuk memakai perumpamaan Soren Kierkegaard Wahid adalah “sebuah huruf yang ditulis terbalik dalam sebaris kalimat”. Sementara sebagian orang mungkin akan menganggapnya gila, sebagian yang lain justru melihatnya sebagai jenius.

Tapi dalam posisi sebagai presiden, perilaku Wahid jelas telah merontokkan utopisme tentang penyatuan kuasa dan kemuliaan. Dan kita ramai-ramai menyesali hal itu. Segala pernyataan kontroversialnya jadi semacam gangguan bagi mimpi indah kita tentang seorang umara yang manunggal dengan ulama atau antara seorang wali dan raja gung bimantara.

Tanpa sadar kita ingin mengurung prilaku dan ucapan Wahid dalam imperatif-imperatif kategoris yang kita bayangkan sendiri. Dan dalam kenyataan Wahid ternyata lebih banyak mengacaukan bayangan itu. Di situlah kita melihat irasionalitas hanya akan menghasilkan irasionalitas berikutnya: ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, bayangan tentang kemuliaan sebuah kuasa berbalik total menjadi penistaan.

Maka kalaupun ada sisi lain keberhasilan Wahid yang perlu dicatat, itu adalah karena ia telah cukup berani mengambil resiko dinistakan oleh orang-orang yang semula menaruh harapan terlalu besar. Sebagai sebuah pribadi Wahid pasti dikenang sebagai seorang yang ramah, outspoken dan jenaka. Tapi sebagai presiden ia jadi terkesan tidak memiliki kemampuan pengendalian diri—satu syarat mutlak untuk meraih kemuliaan. Ia, dengan kalimat lain, menggenggam kuasa yang telah ditinggalkan oleh aura kemuliaan dalam sebuah masyarakat politik yang masih terobsesi oleh sebuah kuasa yang mulia. Hasilnya: ia dihempaskan dari tahta sebelum waktunya.

Dari kasus seperti itu kita seperti dihadapkan pada pilihan yang cukup dilematis, yakni memilih antara seorang pemimpin yang charming, outspoken tapi tidak terampil mengurus birokrasi dan ekonomi, atau seorang administrator yang cekatan dan efektif tapi berpersona beku kaku seperti sudut-sudut meja. Kalau Wahid mungkin lebih mirip Habibie bahkan Soekarno, Megawati kemungkinan besar akan jauh lebih mirip Soeharto: tidak banyak cakap, penuh pertimbangan, serba formal birokratis, cenderung feodal dan konservatif.

Bertolak belakang dengan Wahid, secara personal Megawati mungkin memang tidak memiliki keistimewaan selain bahwa ia punya riwayat geneologis kekuasaan: di tubuhnya mengalir darah Soekarno. Ia bukan seorang wali atau ulama, bukan pula seorang jenderal sekelas Soeharto atau ilmuwan terpandang di dunia internasional seperti Habibie. Mega hanya seorang ibu rumah tangga yang, melalui pelbagai proses politik, terusung naik ke puncak paling tinggi.

Dalam hal kapasitas intelektual, kalau di balik segala kontroversi yang timbul Wahid masih sanggup mendatangkan rasa segan kaum cendikia, Megawati sejak awal justru diragukan kemampuannya. Ia terkesan lebih mirip Cory Aquiono yang lembut, lamban, dan politically innocent daripada Aroyo Macapagal yang tampak gesit dan cemerlang. Tapi mungkin karena itu ia patut diperhitungkan dan diberi kesempatan.

Yang perlu ditakutkan adalah kalau Megawati juga menyimpan obsesi untuk meniru ayahnya: menjadi pusat pertemuan antara kemuliaan paling puncak dan kekuasaan paling mutlak. Karena itu Mega harus dijaga agar ia tidak menjadi –atau sekurang-kurangnya merasa menjadi— seorang mesiah baru. Ia harus diperlakukan sebagai seorang presiden, kepala pemerintahan sebuah negara modern, dan bukan seorang Ratu Adil yang hanya ada dalam dongeng. Hanya dengan itu kita berharap bisa menyelamatkannya dari nasib tragis seperti para pendahulunya.

Negeri ini telah berkali-kali kehilangan peluang untuk mendirikan sebuah institusi politik rasional dalam bentuk negara modern. Kita sudah terlalu lama hidup dengan kerinduan obsesif pada Sang Penyelamat. Berkali-kali kita seperti hanya mengulang kebodohan yang sama: menghamburkan energi secara besar-besaran hanya untuk membiayai sebuah harapan kosong. Setiap kali itu pula kita merasakan bagaimana akal sehat selalu muncul belakangan, ketika segala harapan sudah runtuh, dan kerinduan berubah jadi kecamuk rasa bosan.

Kalau kita hendak sedikit optimis, ada semacam berkah tersembunyi dari jatuhnya beberapa rezim kekuasaan modern di Indonesia: negeri ini tidak membutuhkan Sang Penyelamat, melainkan kesungguhan untuk menghidupkan akal sehat sehingga sebuah kuasa tidak berpeluang menjadi tiran, dan kemuliaan tidak terlampau banyak memproduksi dogma.

Kembali pada tesis Weber di muka, melalui proses rasionalisasi manusia berusaha keras membersihkan magis, mitisme, dan merampingkan populasi dewa-dewa serta gerombolan ruh-ruh yang, dalam bermacam-macam kosmologi tradisional, dianggap sebagai pembimbing kehidupan manusia. Perkembangan ini menjadi semakin matang dalam masyarakat Kristen. Gereja, Rasul, dan para pendeta terus-menerus menyerukan dorongan ke arah birokratisasi gereja, sistematisasi teologi secara skolastis, dan penciptaan kosmologi monoteistik. Bagi Weber itu adalah wajah pucat modernitas yang membuatnya cenderung gelisah secara intelektual.

Tapi apa boleh buat, kemuliaan adalah bagian dari pesona, mitos masa silam yang musti ditanggalkan kalau kita sepakat hendak mengelola negara modern dengan landasan akal sehat sejak awal. Kemuliaan tidak pantas dilekatkan pada sebuah kuasa, terutama karena begitu mudah sebuah kuasa membelot jadi tirani yang akan membungkam potensi kecerdasan sebuah bangsa dengan dogma-dogma.

Tidak Soekarno, tidak pula Soeharto sanggup mencegah itu. Keduanya lumat oleh aura sebuah kuasa yang terlampau mulia dan kemuliaan yang begitu penuh kuasa. Dan Wahid menjadi sampel terakhir tentang munculnya disilusi masyarakat terhadap mitos tentang penyatuan kuasa dan kemuliaan justru oleh ulahnya sendiri. Dari kasusnya paling tidak kita bisa belajar bahwa pemisahan itu memang mungkin.

Jakarta, 20 Agustus 2001
Pernah dimuat pada situs Detik.com, 25 Agustus 2001

Sumber: hikmatbudiman.id

Sebelumnya: Jatuhnya Kekuasaan Modern Indonesia (2): Pelajaran dari Wahid

Direktur Eksekutif dan Peneliti di Populi Center, Jakarta.