Setelah mengobrolkan banyak hal bersama para prajurit yang berjaga, kami berpamitan untuk turun ke rumah Kepala Desa Lemban Tongoa. Kami menyempatkan untuk memberi multivitamin, obat herbal, masker, dan face shield kepada para prajurit. Setidaknya barang-barang tersebut akan sangat berguna untuk mereka dalam kondisi pandemi saat ini. Apalagi di musim hujan seperti saat ini cuaca malam hari di tempat tersebut cukup ekstrem. Sementara mereka harus selalu siaga karena ini tempat yang sangat rawan didatangi gerombolan teroris lagi.
Butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai di rumah Kepala Desa Lemban Tongoa. Beruntung sekali kami, karena setibanya di lokasi Pak Kades baru tiba dari rapat. Ia bahkan belum sempat mencopot sepatunya. Dengan ramah, Deki Basalulu, si Kepala Desa menyambut kami dengan suguhan kopi dan beberapa kue.
Sore ini mereka sedang bersiap untuk mengadakan perayaan natal pada malam harinya. Di luar rumah terlihat perempuan dan anak-anak berbaju rapi menuju ke gereja. Meski Pak Kades sebenarnya harus turut ke sana, pria asli Luwuk ini masih menyempatkan waktu untuk menemui kami.
Saya langsung memberinya pertanyaan yang berkutat di kepala saya.
“Apa benar yang terjadi ini adalah perang antara Kristen dan Islam?”
Seketika Pak Kades duduk tegak dengan nada terkejut.
“Tidak benar itu!” ucapnya tegas. Seraya memperbaiki letak bajunya dia melanjutkan, “Sejak Desa Lemban Tongoa ini ada, kami di sini hidup rukun. Tak ada permusuhan karena agama.” Ia menjelaskan panjang lebar bagaimana warga hidup rukun tanpa memandang latar belakang suku dan agama.
Dari Pak Kades saya tahu kalau wilayah ini merupakan daerah transmigrasi pada tahun 1983. Sejak saat itu belum pernah sekalipun terjadi pertengkaran apalagi sampai berujung pembunuhan akibat agama maupun suku. Meskipun perbandingan antara umat Islam dan umat lainnya mencapai 40:60 persen, tapi warganya bisa hidup rukun saling bahu membahu.
Di desa ini terdapat banyak suku. Yang paling banyak dari suku Kaili khususnya dari sub etnis Kaili Da’a. Ada juga dari suku Kulawi, Toraja, Bugis, dan Jawa. Ketika terjadi pembunuhan pada 27 November 2020 di Dusun Lewono, semua warga naik semua ke lokasi kejadian untuk memberikan bantuan. Bahkan saat pemakaman empat korban—yang kesemuanya Kristen—yang menggali kuburannya adalah warga muslim. Begitu pun ketika memasak untuk kedukaan ini, antara umat dari berbagai suku dan agama saling membantu.
Di hari-hari biasanya, saat umat Kristen menyelenggarakan perayaan hari besarnya, tokoh Muslim diundang dan diberi tempat duduk terhormat di bagian depan. Begitu pun sebaliknya, jika umat Islam sedang merayakan hari besarnya, kami yang kristen diundang dan dihormati sebagai tamu VIP. Kerukunan seperti ini membuat konflik berbasis agama tidak pernah terjadi. Pak Kades pun mengaku bingung jika ada orang yang menarik kasus ini ke konflik berbasis agama.
“Untuk menjaga kerukunan antarumat beragama di desa kami, pada tahun 2006 dibentuklah BAMAG (Badan Kerjasama Antar Agama, red). Dan pada Senin, tanggal 21 Desember 2020 akan dikukuhkan lagi kepengurusan BAMAG oleh Pak Camat untuk semakin memperkuat kelembagaan ini,” jelas Deki Basalulu.
Di Desa Lemban Tongoa terdapat enam belas sarana ibadah yang terdiri dari dua musala, tiga masjid, dan sebelas gereja. Ketika ada permasalahan antarpenduduk yang berbeda agama, yang akan menangani adalah tokoh dari agama masing-masing. Dengan cara itu, masalah segera terselesaikan dan tidak merembet ke mana-mana.
Secara keseluruhan Desa Lemban Tongoa ini terdiri dari sekitar 3000 jiwa dengan 679 Kepala Keluarga. Namun demikian yang tinggal di desa ini hanya sekitar 500 kepala keluarga. Mereka yang tidak tinggal di desa ini rata-rata karena bekerja ke luar desa, utamanya di pertambangan. Setiap dua atau tiga bulan sekali mereka pulang ke desa, lalu kembali ke tempat kerja yang ada luar desa.
Seperti halnya peristiwa di Dusun Lewono, sebenarnya di sana ada 50 unit rumah. Tapi yang tinggal di sana hanya 13 keluarga saja. Yang lain bekerja ke luar desa. Begitupun dusun Tokelemo yang ada di bawahnya, terdapat 50 unit rumah, tapi yang tinggal di sana hanya 29 keluarga.
Menurut Pak Kades, penyebab utama banyaknya warga Desa Lemban Tongoa yang bekerja ke luar desa karena di desa ini penghasilannya kecil. Padahal sebenarnya tanah di desa ini subur. Tapi harga jual hasil pertanian di desa ini anjlok dibandingkan dengan daerah lain sehingga membuat banyak warga tidak survive menjadi petani. Hal ini disebabkan karena akses jalan menuju ke desa ini sangat sulit, sehingga operasional untuk penjualan hasil pertanian membengkak yang kemudian mengakibatkan anjloknya harga.
Selain pertanian, desa ini memiliki potensi pariwisata yang sangat bagus. Ada air terjun dan kolam alami di atas gunung. Pemandangan di desa ini juga sangat bagus. Bahkan Dusun Tokelemo dikenal sebagai “Negeri di Atas Awan” karena posisinya tinggi dan saat pagi hari di bawah dusun ini tertutup kabut, sehingga terlihat rumah-rumah penduduk seperti berada di atas awan.
Selain kendala akses jalan, desa ini juga terkendala dengan tidak adanya akses internet. Sinyal seluler hanya ada di pusat Desa Lemban Tongoa. Itu pun sangat terbatas. Menurutnya, jika di desa ini ada akses internet, komunikasi ke dunia luar akan lebih mudah dan akan membantu pengembangan pertanian serta pariwisata di desa ini. Apalagi di masa pandemi seperti saat ini di mana para siswa sekolah harus belajar secara daring, itu sama sekali mustahil dilakukan di desa ini. Praktis anak-anak selama masa pandemi ini tidak bisa mengikuti proses belajar.
Hal lain yang sangat dibutuhkan di desa ini adalah petugas kesehatan. Desa ini memiliki dua unit fasilitas kesehatan, tapi tidak memiliki dokter. Yang ada cuma seorang bidan dan dua orang perawat. Itu pun tidak setiap hari ada. Dengan kondisi tersebut sangat menyulitkan jika ada warga yang sakit.
Dalam situasi trauma seperti saat ini, pihaknya berharap pemerintah tetap menempatkan Satgas Tinombala untuk berjaga di desanya hingga para teroris ini tertangkap semua. Penjagaan dari negara cukup memberikan rasa aman bagi masyarakat. Sebab sejatinya gangguan dari teroris ini bukan hanya terjadi sekarang saja. Sejak 2017 warga di desa ini sering mengalami gangguan. Beberapa warga pernah disandera. Perampokan juga sering dilakukan. Dan kejadian 27 November 2020 itu saja yang berujung pada pembunuhan.
Karena warga belum berani ke ladang, ketersediaan bahan makanan sangat terbatas. Di ladang memang masih ada kopi dan jagung, tapi mereka takut untuk memanen. Kalaupun bisa dipanen tidak bisa langsung menjadi beras. Butuh proses yang cukup panjang. Oleh karena itu pihak desa berinisiatif untuk memberikan bantuan sembako kepada warga. Beruntung sejak pasca kejadian tersebut banyak orang yang memberikan bantuan sembako termasuk dari Kementerian Sosial. Sebelum meninggalkan rumah Kepala Desa Lemban Tongoa, kami masih menyempatkan untuk menyerahkan bantuan multivitamin, obat herbal, masker, dan face shield yang diterima langsung oleh Deki Basalulu.
GUSDURian Peduli juga memberikan bantuan berupa 200 paket sembako berisi 5 kg beras, 2 kg gula, minyak goreng 2 liter, kecap, garam, sabun, dan masker. Atas masukan warga, kami juga berupaya menyediakan jaringan internet di tiga titik, yaitu di Dusun Lewono, Dusun Tokelemo, dan di Balai Desa Lemban Tongoa. Mekanismenya masih kami kaji lebih jauh bersama teman-teman di Air Putih.
Kami juga akan mendukung didirikannya Balai Belajar (Bantaya) di Dusun Lewono. Bantaya ini nantinya akan berfungsi untuk tempat belajar dan bermain bagi anak-anak dan sekaligus diharapkan bisa menjadi trauma healing bagi mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga dokter dan psikolog, kami menghubungi dokter Chandra Sembiring, direktur KUN Humanity System. Kami sudah lama sering bekerja sama dengan mereka di beberapa lokasi bencana. Dokter menyambut baik ajakan ini. Mereka menyatakan siap menerjunkan tenaga medis dan psikolog ke lokasi bencana pada bulan Januari 2021.
Hari ini saya sudah kembali ke Jawa. Apa kabar Lemban Tongoa? Andai saja saya bisa menghubungi mereka melalui panggilan video, maka saya akan mengucapkan ‘Selamat Natal’ bagi semua penduduk Kristiani di sana. Semoga saja satu waktu para penduduk bisa membaca catatan ini. Semoga saja saya bisa ke sana untuk mengirim hadiah Natal satu hari nanti. Semoga saja.
Reporter: Aak Abdullah Al-Kudus
Editor: Sarjoko S.
Sebelumnya: Pesan Natal dari Sigi: Menuju Lemban Tongoa (Bag. 2)