Banyak orang tidak menyadari bahwa sesungguhnya ada Wahabisme a la Indonesia yang dalam sejarah, setidaknya sejak tahun belasan abad ke-20 telah lahir, dan berbenturan dengan Wahabisme yang lahir di Arab Saudi.
Wahabisme Indonesia dinisbatkan kepada KH. Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) bersama-sama dengan KH. Hasyim Asy’ari. Bisa jadi disebabkan karena kelemahan dalam tradisi intelektual di kalangan santri dan pesantren sendiri bahwa mereka tidak tercatat secara tertulis dalam sejarah sebagai perintis ide nasionalisme di awal-awal abad ke-20. Namun, jika menengok naskah Deklarasi atau Piagam Nahdlatul Wathon kalangan santri yang bertitel 1916 (Munim DZ, 2014) maka kalangan santri telah mendeklarasikan cinta tanah air berhadapan dengan penjajah Belanda untuk menuju kemerdekaan ketika itu. Piagam tersebut tidak lain merupakan reformulasi dan ringkasan dari syair ciptaan KH. Wahab Chasbullah jauh sebelumnya yang berjudul “Ya Lal Wathon”, yang artinya ”Wahai Bangsa (Indonesia).”
Syair tersebut adalah alat bagi kalangan ulama pesantren untuk menyosialisasikan kesadaran akan pentingnya nasionalisme dan kemerdekaan kepada masyarakat Muslim. Beberapa bait dari syair itu perlu dikutip di sini: Ya lal wathon ya lal wathon ya lal wathon/hubbul wathon minal iman/ wala takun minal hirman/inhadlu alal wathon (Wahai saudara sebangsa/cinta tanah air adalah bagian dari iman/jangan halangkan nasibmu/bangkitlah hai bangsaku).
Jelaslah dari syair itu bahwa mendahului deklarasi Piagam Kebangsaan kalangan santri (ketika itu organisasi Nahdlatul Ulama belum berdiri secara resmi) telah memiliki ide tentang nasionalisme Indonesia yang harus diperjuangkan. Ide ini jelas berbeda dengan ide nasionalisme Pan Arabisme maupun Pan Islamisme yang berkembang di Timur Tengah (Kahin, 1995), misalnya, lebih-lebih dengan Wahabisme yang dinisbatkan kepada Muhmmad Ibn Abdul Wahab (wafat 1206H/1793M), pendiri aliran Wahabi, di Arab Saudi. Dua tahun sebelumnya, pada 1924-25M aliran itu menundukkan Hijaz, walayah Saudi dan melakukan pembersihan terhadap tradisi Islam yang hidup dan penghancuran terhadap berbagai warisan sejarah Islam dengan alasan pemurnian.
Wahabisne Arab Saudi bukan saja berbasis pada pemurnian ajaran Islam dengan anti tradisi dan intelektual melainkan juga menjadi basis gerakan anti-nasionalisme atau kebangsaan modern. Justru berdirinya NU sebagai organisasi secara resmi dipicu oleh gerakan Wahabisme internasional dalam sebuah Kongres Islam internasional tahun 1926 yang diinisiasi oleh Raja Saudi. Kalangan santri tidak diundang dan diikutkan dalam kongres itu karena dianggap bukan bagian dari Islam versi mereka. Hanya kelompok yang dianggap sepaham dengan mereka yang diundang mewakili Islam kawasan Hinda-Belanda.
KH. Wahab Chasbullah dengan restu KH. Hasyim Asy’ari ketika itu memelopori protes dengan membentuk Komite Hijaz untuk menemui Raja Saudi, inisitaor pertemuan internasional tersebut, dengan tiga tuntutan. Yaitu, (1) tidak menghancurkan makam Nabi Muhammad SAW dan warisan kebudayaan Islam; (2) melindungi amalan agama yang telah menjadi tradisi dan paham klasik yang saat saat itu menjadi target serangan gerakan Wahabi; (3) perbaikan pelayanan ibadah haji secara tidak diskriminatif.
Aswaja dan Nasionalisme
Pandangan Wahab Chasbullah tentang Islam, nasionalisme, dan dinamika politik internasional itulah yang kemudian menjadi basis dan mendasari seluruh dinamika pemikiran dan gerakan Nahdlatul Ulama dalam menghadapi perkembangan dan tantangan sejarah berikutnya. Sebelum lahirnya Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Belanda dan Inggris yang membonceng Sekutu pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya yang kemudian mengilhami lahirnya Hari Pahlawan, Nahdltul Ulama telah mendeklarasikan Hindia-Belanda –yang kemudian menjadi wilayah Negara Republik Indonesia– sebagai negara Islam dengan segala tradisi, budaya dan pluralitasnya pada 1936 ketika Muktamar di Banjarmasin dan kemudian diulangi lagi pada Mukatmar 1938 di Menes, Jawa Barat.
Jelaslah bahwa ide nesionalisme dan rekognisi akan eksistensi Indonesia yang bhinneka dan plural bagi kalangan NU tidak lahir paska kemerdekaan melainkan jauh sebelumnya, setidaknya awal abad ke-20 bersamaan dengan bangkitnya nasionalisme di kelompok-kelompok lain. Dinamika tersebut ternyata bukan hanya mendasari dalam ideologi dan politik melainkan juga dalam teologi.
Sejauh penulis tahu, hanya NU, kelompok Islam di seluruh dunia yang mengakomodasi empat mazhab fiqh klasik, Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hambali sekaligus meksipun dalam amalan individu diharuskan untuk memilih salah satu dan menghindari eklektisisme. NU juga mengakomodasi aliran-aliran pemikiran klasik termasuk di dalamnya tasawuf dan teologi atau tauhid Islam. Basis dari akomodasi ini adalah metodologi Ahlussunnah wal Jamaah atau Aswaja.
Aswaja dalam versi NU adalah sebuah metodologi dan produk intelektual yang memberikan solusi dan mengeluarkan umat Islam dari konflik yang mendalam dan berkepanjangan dengan melibatkan kekuasaan otoritarian untuk melegitimasi aliran dan paham tertentu dengan cara menindas dan menghabisi paham dan kelompok lain. Abu Hasan Al-Asyari (wafat 324 H/935M) dan Abu Mansur Al Maturidi (wafat 333H/944M) adalah dua intelektual di balik lahirnya metodologi Aswaja tersebut.
Abus Hasan Al Asy’ari yang semula pengikut Mu’tazilah tampil memberikan solusi intelektual dan metodologi baru dengan menghindari legitimasi dari kekuasaan tertentu dan membebasakan dari penindasan. Dan, dalam waktu yang sama, memberikan sanad atau rujukan yang kuat pada Al-Qur’an dan Sunnah di bawah kenabian Muhammad SAW. Salah satu ciri dari Aswaja model ini adalah penghargaan yang tinggi terhadap konteks dan dinamika tradisi di dalam ide maupun praktek Islam serta sumber Islam kalsik. Jika bid’ah bagi kalangan puritan seluruhnya dianggap sesat diharamkan maka bagi Aswaja, bid’ah ada yang dlolalah (sesat dan merugikan Islam karena itu haram) dan ada yang hasanah (baik) yang perlu terus dipelihara dan dikembangkan. Dalam hal ini, bagi NU, nasionalisme modern adalah bid’ah hasanah.
Islam Nusantara dan Pancasila
Dalam argumen penerimaan Pancasila sebagai asas NU tahun 1984, Rois ‘Am PBNU KH. Ahmad Siddiq, menyatakan bahwa pengakuan Indonesia sebagai negara kesatuan dan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia oleh NU adalah tanpa syarat dan didasarkan pada teologi yang menjadi pegangan NU. Karena itu ide tentang Islam Nusantara di dalam NU, misalnya, adalah bukan hanya terbatas dinamika ideologi dan nasionalisme yang sering dipandang sekuler melainkan melibatkan teologi. Dengan kata lain, tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa NU adalah Islam Indonesia atau Islam Nusantara itu sendiri, tanpa mengabaikan penghargaan kepada kelompok-kelompok Islam yang lain.
Ketika dilema masih membuncah di kalangan gerakan-gerakan agama bukan hanya Islam di Indonesia tentang asas tunggal Pancasila, NU segera memberikan solusi dengan mengubah AD/ART-nya, menempatkan Islam sebagai akidah dan Pancasila sebagai asas pada tahun 1984 yang kemudian terkenal dengan Khittah NU 1926. Tidak heran jika ketika Pancasila dan eksistensi Negara Republik Indonesia diganggu oleh kelompok tertentu, NU akan selalu tergugah tampil membela dengan mendahului pemerintah, dan bahkan dilakukan oleh generasi muda yang lahir sangat belakangan.
Kini pertarungan antar Wahabisme itu –pertarungan harus dan selayaknya tidak diartikan sebagai kekerasan dan apalagi fisik melainkan diskursus dan gerakan –menapaki konteks internasional. Hasil dari ISOMIL (International Summit of Moderate Islamic Leaders), misalnya, yang diinisiasi oleh PBNU beberapa waktu lalu di Jakarta menawarkan diskursus Islam yang moderat dan damai dalam skup internasional. Event itu telah mengilhami banyak delegasi dari negara-negara lain berkeinginan untuk mendirikan NU versi negara-negara tersebut.
Agenda berikutnya, dengan demikian, adalah bagaimana menyatukan mereka dalam satu barisan untuk merealisasikan agenda perdamaian dan kemanusiaan.
*Artikel ini pernah dimuat di Harian Kompas 10 Juni 2016 dengan judul “Benturan Antar-keyakinan di Indonesia”.