Social Media

108 Tahun Berkarya, #TerimaKasihMuhammadiyah

Harus saya akui, dulu saya sempat mendapat kesan kalau Muhammadiyah itu sebuah organisasi yang kaku dalam fiqih, menolak budaya, dan keras terhadap non-muslim. Kesan tidak adil ini bisa timbul karena saat itu saya tidak pernah berjumpa langsung dengan orang-orang Muhammadiyah.

Sedikit banyak mungkin ada pengaruh dari lingkungan keluarga dan tempat tinggal saya semasa kecil. Keluarga besar dan para tetangga saya banyak yang model keislamannya condong bercorak NU atau malah tanpa organisasi. Alhasil saya tidak memiliki keleluasaan mengklarifikasi segala kesan buruk mengenai Muhammadiyah

Setelah menempuh kuliah di Yogyakarta barulah kesempatan perjumpaan itu tiba. Qadarullah, saya bisa berkenalan dengan banyak teman berlatar belakang Muhammadiyah di kota ini, dan kelak berkawan akrab dengan sebagian dari mereka. Diam-diam, saya mencoba mengecek bermacam stigma yang terpatri di kepala saya. Perlahan-lahan pandangan saya mulai berubah.

Stigma Muhammadiyah yang keras dan intoleran itu ternyata hoax yang ngawur. Nyatanya teman-teman saya yang Muhammadiyah malah bisa menjadi rekan ngobrol yang asyik karena memiliki pikiran yang terbuka. Dari ngobrol-ngobrol itulah saya juga bisa memahami cara pandang mereka. Sangat jelas kalau mereka pun punya sikap respek terhadap teman-temannya yang bukan Islam maupun yang memiliki identitas keislaman berbeda.

Perkenalan awal dengan teman-teman yang bersahabat, lantas membuat saya tertarik untuk mengenal lebih jauh mengenai organisasi ini. Saya benar-benar memanfaatkan masa tinggal saya di Yogyakarta untuk menuntaskan rasa penasaran saya tentang Muhammadiyah.

Kekaguman pertama saya tertumbuk pada fakta banyaknya sekolah Muhammadiyah saat saya mengelilingi Yogyakarta. Saking banyaknya, baru kali ini saya menemukan ada sekolah swasta yang memakai penomoran sebagai nama sekolah layaknya sekolah negeri. Terhitung ada 14 sekolah setingkat SMA/SMK/MA yang diasuh oleh persyarikatan ini. Mereka pun mempunyai tiga universitas di kota ini: UMY, UAD, dan Unisa. Belum lagi kalau menghitung sekolah jenjang TK, SD, dan SMP yang juga dimiliki Muhammadiyah.

Di ranah kesehatan, saya melihat sendiri organisasi bentukan KH. Ahmad Dahlan ini juga mengelola RS PKU yang tersebar merata di seluruh kabupaten/kota di D.I.Yogyakarta. Dalam masa pandemi, RS-RS PKU milik Muhammadiyah turut andil pula sebagai rumah sakit rujukan untuk penanganan pasien Covid-19.

Kiprah Muhammadiyah di bidang pendidikan dan kesehatan rasanya belum bisa ditandingi oleh satupun organisasi swasta lainnya di negeri ini. Meskipun saya haqqul yaqin kiprah Muhammadiyah tersebut bukan semata-mata untuk gede-gedean organisasi, melainkan memang karena berkhidmat untuk umat.

Semakin hari, saya semakin kenal hal-hal yang lebih subtil lagi dari Muhammadiyah. Misalnya ketika saya menikmati walking tour di Kauman, secara tidak sengaja saya berkesempatan mendatangi sendiri langgar khusus perempuan di kampung tersebut yang dibangun oleh Nyai Ahmad Dahlan. Langgar ini dimanfaatkannya untuk kegiatan mengaji dan mendidik kaum perempuan. 

Saya baru tahu kalau dari langgar inilah Nyai Ahmad Dahlan mendobrak tradisi Jawa yang masih menganggap perempuan sebagai konco wingking. Beliau mendorong pemberdayaan perempuan dengan caranya sendiri dan kelak melahirkan ’Aisyiyah, sayap organisasi perempuan Muhammadiyah.

Hal ini menjadi istimewa sebab banyak organisasi keislaman besar di dunia yang hari ini masih tergagap-gagap ketika harus membahas tentang peranan perempuan dalam ranah publik. Sedangkan Muhammadiyah telah selesai dengan hal tersebut sejak seabad silam dengan kehadiran ’Aisyiyah. 

Segenap pengalaman selama sembilan tahun ini mengubah total pandangan saya mengenai Muhammadiyah. Sekarang saya justru melihat Muhammadiyah sebagai organisasi yang selalu memiliki pendirian kukuh untuk melawan kejumudan dan kebebalan di dalam tubuh umat Islam. Mereka konsisten dalam misinya memperjuangan wajah umat Islam yang progresif. 

Puncak keteguhan sikap Muhammadiyah yang terbaru tampak dalam keputusan mereka untuk menyelenggarakan milad tahun ini secara daring. Muhammadiyah benar-benar tidak mau berbasa-basi dengan mempermainkan protokol kesehatan. 

Gestur ini mestinya menjadi tamparan keras baik bagi pemerintah maupun organisasi keislaman “yang itu”. Saat mereka menyuguhkan ignoransi yang mencengangkan di tengah situasi pandemi, Muhammadiyah menjalankan perannya dengan baik sebagai suri tauladan bagi seluruh elemen masyarakat.

Akhirnya, atas segala hal-hal luar biasa yang saya temukan di Muhammadiyah, saya ingin mengucapkan selamat merayakan milad ke-108 dan #TerimaKasihMuhammadiyah.

Penggerak GUSDURian Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.