”Bapak Jokowi, jangan suruh ibu saya sekolah lagi.”
Tulisan Rafi, anak usia 7 tahun, ini beredar menjelang eksekusi putusan Mahkamah Agung terhadap Ibu Baiq Nuril tahun 2018. Setahun sebelumnya, sang ibu memang mengaku pergi bersekolah, padahal sedang ditahan atas tuduhan melanggar UU ITE dan mencemarkan nama baik M dengan persebaran rekaman percakapan asusila sang mantan Kepala SMAN 7 Mataram, NTB.
Sejak tahun 2017 inilah Nuril menjalani proses panjang mencari keadilan. Kasusnya mencuat ke tingkat nasional setelah berbagai organisasi masyarakat dan individu bersuara. Publik terperangah, alih-alih mendapatkan perlindungan sebagai korban pelecehan atasannya, Nuril justru dihukum sebagai kriminal. Pelakunya sendiri melenggang bebas.
Protes publik pun mulai bermunculan. Petisi online di change.org didaftarkan oleh Damar Juniarto (SAFEnet) dan saat ini telah mendapatkan dukungan lebih dari 300.000 orang.
Kasus ini terus bergulir sampai bulan September 2018, saat Mahkamah Agung memutuskan Nuril bersalah melakukan tindakan pidana merekam percakapan asusila M dan menyebarkannya. Puncak kekesalan masyarakat adalah saat Mahkamah Agung menghukum Nuril dengan 6 bulan kurungan dan denda Rp 500.000.000 dan di awal Juli 2019 menolak upaya peninjauan kembali yang diajukan tim hukum Nuril.
Gerakan #SaveIbuNuril segera tayang di platform kitabisa.com untuk mengumpulkan dana denda, dengan jumlah terkumpul sampai saat ini sejumlah lebih dari Rp 420.000.000 dari lebih dari 4.000 warga.
Selain itu, muncul desakan kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Nuril, didorong oleh para figur publik Indonesia melalui petisi online kedua, yang saat ini sudah mengumpulkan dukungan dari 300.000 orang. Amnesti dipilih sebagai jalan keluar atas putusan Mahkamah Agung yang dianggap mencederai rasa keadilan. Surat dukungan amnesti diserahkan langsung kepada Kantor Staf Presiden dan DPR. Untuk memenuhi syarat rekomendasi dari DPR, anggota parlemen Rieke Diah Pitaloka mendampingi Baiq Nuril mengawal proses di Komisi III, dan akhirnya pada 25 Juli 2019 DPR memberikan persetujuan dan rekomendasi kepada Presiden untuk amnesti ini.
Perjalanan panjang Baiq Nuril dari sudut Indonesia di Mataram mencari keadilan ini membawa banyak pemahaman baru. Amnesti Presiden akan menjadi amnesti pertama bagi perempuan korban pelecehan seksual. Ini merupakan tonggak sejarah keberpihakan, karena selama ini perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual justru menerima beban berlipat ganda: relasi kuasa yang memerangkapnya, pelecehan seksual itu sendiri, dan stigma negatif.
Bahkan, sebagaimana Nuril, banyak perempuan korban dikriminalisasi. Pelaku kejahatan selalu mencari celah hukum untuk menyelamatkan diri. Parahnya, dalam kasus Nuril dan banyak perempuan lain, pelaku demi menyelamatkan diri justru mengkriminalisasi korban sekaligus. Sebagai pihak yang memiliki kuasa lebih dari perempuan (korban), pelaku menggunakan celah itu untuk memukul korban sekaligus dua kali. Akibatnya, banyak putusan hukum yang merugikan korban, seperti putusan MA terhadap Nuril. Lalu amnesti ini pun digunakan sebagai sebuah jalan keluar darurat atas putusan hukum yang dirasa tidak adil ini.
Namun, amnesti ini merupakan puncak dari gerakan masyarakat yang berlangsung sejak awal kasus dua tahun lalu. Mobilisasi dukungan untuk advokasi dan saweran mengumpulkan dana denda terus mengalir. Pemahaman atas kelemahan sistem peradilan yang sering kali terbatasi oleh prosedural hukum, bergandeng tangan dengan perasaan muak atas ketidakadilan yang terjadi dan ketertindasan yang dialami mereka yang dilemahkan oleh sistem (dalam terminologi Islam: mustadh’afin).
Walhasil, warga masyarakat terpacu untuk bergerak bersama mendorong perubahan yang dibutuhkan, bahkan tidak menerima sebuah kebijakan dan menuntut kepada institusi negara untuk memperbaiki responsnya dalam konteks kasus ini. Di masa kini, semakin ditutup, rasa keadilan bukan semakin meredup, tetapi justru sebaliknya: semakin kuat diperjuangkan bersama. Kesadaran akan keadilan substantif menjadi muatan utama yang mengilhami warga. Tanpa desakan warga, Presiden Jokowi barangkali tak memberikan amnesti.
Padahal, pelibatan warga negara dalam isu-isu kebangsaan bukanlah hal yang sederhana. Shafiq Pontoh, ahli kampanye media sosial, menyatakan ada lima hambatan yang biasanya menghalangi: inertia (rasa malas untuk bergerak), fear (rasa takut), apathy (sikap apatis, tidak yakin situasi akan berubah), self-doubt (tidak yakin akan kontribusi diri), dan isolation (rasa bekerja sendiri).
Lawan dari kelima penghambat ini adalah urgency (kegentingan situasi), hope (harapan), anger (kemarahan atas situasi), rasa we can make a difference (kita bisa mendorong perubahan), dan solidarity (solidaritas). Dalam konteks Nuril, kelima sentimen ini hadir secara natural sehingga kelompok mayoritas sunyi pun terungkit untuk bergerak. Gerakan ini memberikan pesan kepada penyelenggara negara dan ekosistem peradilan untuk lebih peka terhadap keadilan substantif, bukan hanya berlindung di balik prosedur dan mekanisme.
Keterlibatan masyarakat dalam kasus Nuril memang bersifat kasuistik, tetapi ia juga dapat menjadi sebuah momentum baru untuk penguatan partisipasi warga negara dalam kebijakan publik. Tiga elemen demokrasi (pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil) perlu sama kuat untuk mendorong keajekan sebuah negara. Dan semakin besar partisipasi warga masyarakat sipil, dominasi pemerintah akan semakin terkoreksi.
Gotong royong at its finest, demikianlah keterlibatan masyarakat dalam kasus Nuril. Dapat dianggap, amnesti ini adalah kemenangan rakyat menuntut keadilan sejati. Semoga budaya ini menjadi sebuah kekuatan baru demokrasi Indonesia.
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 28 Juli 2019)
Sumber: kompas.id