“Iman kepada Allah mempersatukan dan tidak memecah belah. Iman itu mendekatkan kita, kendatipun ada berbagai macam perbedaan, dan menjauhkan kita dari permusuhan dan kebencian” (Paus Fransiskus)
Puasa di bulan Ramadhan tahun ini dijalani oleh umat muslim dengan suasana yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pandemi Covid-19 lalu memberi warna pada puasa Ramadhan tahun ini. Tidak ada tarawih yang biasanya meramaikan malam-malam di bulan Ramadhan. Ramainya takjilan di masjid-masjid yang menjadi khas bulan Ramadhan digantikan dengan seruan physical distancing serta panduan mencuci tangan dimana-mana.
Pandemi Covid-19 tentu membawa sisi penderitaan tersendiri meski di satu sisi mengasah sisi kemanusiaan antar umat manusia. Solidaritas kemanusiaan makin terasa di banyak tempat di seluruh dunia. Individualisme yang menjadi khas dari masyarakat modern kini dipertanyakan kembali, khususnya ketika pandemi Covid-19 masyarakat bahu-membahu satu sama lain meski masih ada saja segelintir oportunis yang mengambil keuntungan pribadi di tengah bencana dunia ini.
Di tengah pandemi Covid-19 ini, dari tahtanya di Basilika Santo Petrus sana, Bapa Suci Paus Fransiskus memulai dakwahnya ke seluruh pelosok belahan bumi ini. Beliau berkata, “dalam berdoa dan berpuasa, umat manusia diminta memohon agar Tuhan menolong umat manusia manusia mengatasi wabah virus corona atau COVID-19 ini.”
“Demi Allah supaya mengangkat wabah ini dari kita dan seluruh dunia”, ujar Sheikh Ahmed el-Tayeb menyambut positif seruan Paus Fransiskus. Ini bukan kali pertama kedua pemimpin spiritual tersebut saling menyambut hangat. Pada tahun 2019 lalu, Paus Fransiskus melawat ke Uni Emirat Arab (UEA) dan menemui Imam Besar al-Azhar dan bersama menandatangani Dokumen Persaudaraan Umat Manusia (The Document on Human Fraternity).
Pesan yang disampaikan dari pertemuan kedua tokoh besar tersebut adalah mendorong persaudaraan universal antar umat manusia. Dari dokumen tersebut, harapan akan munculnya ruang-ruang perjumpaan baru di masyarakat untuk memikirkan ulang, merancang ulang, serta membangun kerangka hidup beragama. Kemudian menghayati hidup beragama yang inklusif tanpa kehilangan identitas, sehingga semakin banyak orang yang peduli dan bersemangat dalam membangun persaudaraan umat manusia yang berlandaskan pada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.
Menjelang perayaan Paskah bulan April lalu, seperti tradisi dalam gereja Katholik—umat Katholik juga melakukan puasa dan berpantang dalam masa pra-Paskah, yang dimulai dari Rabu Abu dan berakhir di Jum’at Agung. Pada momentum berpuasa tersebut, Paus Fransiskus juga memberikan rekomendasi puasa terbaik kepada umat Katholik di seluruh dunia. Puasa pada umumnya berarti menahan diri, tidak hanya berpuasa secara jasmani, namun juga berpuasa rohani. Sehingga, rekomendasi puasa ini—bukan tidak mungkin dapat berlaku universal bagi seluruh manusia yang menjalankan laku puasa dari berbagai macam tradisi agama.
Dalam rekomendasinya, Paus Fransiskus menyebutkan beberapa poin, diantaranya; Pertama, puasa mengeluarkan kata-kata yang menyerang dengan mengubah dengan kata-kata yang manis nan lembut. Kedua, puasa kecewa/tidak puas, dengan memenuhi diri dengan rasa syukur. Ketiga, puasa marah dengan memenuhi diri serta sikap taat dan sabar. Keempat, puasa pesimis, dengan memenuhi diri dengan optimis. Kelima, puasa khawatir, dengan memenuhi diri dengan percaya kepada Tuhan. Keenam, puasa meratap/mengeluh dengan menikmati hal-hal sederhana dalam hidup.
Ketujuh, puasa stres, dengan memenuhi diri dengan doa. Kedelapan, puasa dari kesedihan dan kepahitan dengan memenuhi hati serta sukacita. Kesembilan, puasa egois, dengan menggantinya dengan sikap bela rasa pada yang lain. Kesepuluh, puasa dari sikap tidak bisa bisa mengampuni dan balas dendam dengan mengganti dengan perdamaian dan pengampunan. Kesebelas, puasa berbicara banyak, dengan memenuhi diri dengan keheningan dan siap sedia mendengarkan orang lain.
Demikianlah Paus Fransiskus begitu konsen dengan laku berpuasa dan menemukan momentum bulan suci Ramadhan yang seperti diketahuinya—umat muslim di seluruh dunia sedang menjalankan ibadah puasa. Lebih lanjut, beliau kemudian mengajak lebih banyak umat manusia untuk turut dalam solidaritas kemanusiaan serta menjadikan 14 Mei 2020 sebagai momentum bagi seluruh umat beriman, penganut berbagai tradisi yang berbeda-beda, untuk diharapkan berdoa dan berpuasa dan melakukan karya-karya amal kasih.
Sebagaimana dakwah yang berarti seruan, ajakan, atau panggilan. Kali ini, dakwah itu datang dari seorang pimpinan spiritual gereja Katholik—Bapa Suci Paus Fransiskus menyeru, memanggil serta mengajak semua umat manusia untuk melakukan amal yang menjadi gerakan spiritual dunia guna mengetuk pintu-pintu rahasia-Nya.
Di balik pintu-pintu rahasia-Nya, Jalaluddin Rumi pernah bersenandung bahwa “puasa adalah upacara kurban kita, ia adalah kehidupan bagi jiwa kita. Mari kita kurbankan (kepentingan) badan kita, karena jiwa telah datang sebagai tamu agungnya. Iman yang teguh adalah himpunan awan lembut. Kearifan adalah hujan yang tercurah darinya. Sebab di bulan keimanan inilah Al-Quran diwahyukan. Jika nafsu badani dikendalikan, roh bisa mi’raj ke langit. Jika pintu penjara dirubuhkan, jiwa mencapai pelukan Kekasih..”.