Gus Dur dan Warisan Pribumisasi Islam

Kita tahu bahwa Gus Dur merupakan tokoh semua agama, beliau diterima oleh hampir semua golongan lantaran pemikiran-pemikirannya yang universal. Boleh jadi, sepanjang sejarah Indonesia, belum ada tokoh yang memiliki kapasitas sehebat Gus Dur, yang mampu melampaui semua dimensi agama, bahasa, dan budaya. Beliau mampu menjadi penerang bagi umat Islam, sekaligus perekat agama-agama yang menghubungkan berbagai sekat dan perbedaan.

Sebagai seorang pemikir Muslim, jasa Gus Dur sangatlah banyak. Sebagian besar dari warisan pemikiran Gus Dur ini berangkat dari semangat para pemikir-pemikir Muslim lainya, seperti Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdul Raziq, Amin al-Khuli, Nasr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun, dan masih banyak lagi.

Semangat pemikiran Gus Dur sama persis dengan tokoh-tokoh pembaharu ini, yakni mengajarkan tentang pentingnya memahami Islam secara kontekstual. Gus Dur sendiri memakai istilah “Pribumisasi Islam” untuk mengupayakan sebuah pemikiran Islam yang kontekstual. Gus Dur mengibaratkan Islam itu seperti benih yang bisa dibawa ke mana-mana, tetapi agar benih itu bisa tumbuh di suatu tempat, maka benih itu harus menyesuaikan dengan tanah di tempat itu.

Kalau Islam datang di dataran Melayu, maka dia harus bisa membuat akulturasi dengan situasi kehidupan yang ada di Melayu tersebut. Begitu juga ketika Islam datang ke kawasan Eropa, maka dia juga harus bisa melakukan akulturasi dengan konteks Eropa. Kalau Islam datang ke kawasan India, dia harus bisa melakukan penyesuaian dengan konteks India, dan seterusnya.

Salah satu arti penting gagasan pribumisasi Islam ini adalah untuk melawan dan menandingi gagasan lain, yang saya kira, juga ada di sebagian kalangan Islam, yang memandang bahwa agama Islam itu sifatnya ahistoris, anti sejarah, atau melampaui sejarah. Kelompok yang berpandangan seperti ini meyakini bahwa Islam tidak boleh disesuaikan dengan konteks zaman. Islam harus sama persis mulai dari zaman Nabi sampai sekarang ini dan tidak boleh diubah-ubah.

Pemikiran ini bisa benar juga bisa salah, benar dalam pengertian bahwa Islam itu memang satu. Tetapi dalam praktiknya dan bagaimana Islam diterjemahkan secara sosial dan budaya, praktik-praktik Islam mengalami perbedaan-perbedaan. Kita harus menyadari bahwa dari dulu Islam sudah berbeda-beda, madzhabnya berbeda-beda, pemahaman teologinya banyak yang berbeda, dan manifestasi kultural dalam berbagai masyarakat juga berbeda-beda.

Di sini, Gus Dur ingin menekankan bahwa Islam perlu menyesuaikan diri dengan kondisi kultural di mana Islam itu ditempatkan. Sebab, segala keadaan tidak bisa secara literal mengikuti Islam, jusru yang harus dilakukan adalah saling menyesuikan diri dan bagaimana Islam mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi kultural yang berbeda-beda sekaligus berubah-ubah. Dengan kata lain, kehadiran Islam di Indonesia harus bisa menyesuaikan diri dengan cara melakukan akulturasi dengan konteks Indonesia.

Karenanya, bagi Gus Dur, keislaman dan keindonesiaan, antara Islam dan wathoniyah atau ketanahairan, adalah satu dan saling melengkapi, yang sifatnya komplementer. Jadi jangan mempertentangkan antara Islam dan Indonesia dan jangan mempertentangan Islam dan pancasila, karena keduanya saling melengkapi, tidak boleh dipertentangkan.

Hemat saya, warisan Gus Dur tentang gagasan Pribumisasi Islam ini sangat penting kita hayati dalam konteks hari ini. Gus Dur amat menyadari tentang betapa pentingnya menegosiasikan antara Islam dan budaya-budaya setempat. Warisan Gus Dur ini saya kira masih sangat relevan diimplementasikan dalam kehidupan sekarang. Mengingat, adanya berbagai upaya dari kelompok-kelompok Islam tertentu yang ingin melakukan pemurnian terhadap ajaran-ajaran Islam, yang pada saat yang sama ingin menghapus semua tradisi-tradisi yang ada.

Dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan berbagai perbedaan suku dan agama, amatlah penting mengupayakan sebuah dinamisasi ajaran Islam dengan cara meletakkan Islam pada konteks keindonesiaan. Sebab, sekarang ini ada banyak di kalangan umat Islam Indonesia yang sedang berbondong-bondong mengamalkan Islam ala Wahabi, sebuah model keberislaman yang memandang bahwa apa-apa yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi adalah sesat untuk dilakukan.

Pemahaman Islam yang semacam ini bukan hanya keliru, tetapi juga sangat berbahaya bagi keberlangsungan umat Islam di Indonesia dalam jangka waktu yang akan datang. Kita harus menyadari bahwa dominasi Islam di Indonesia sepanjang empat ratus tahun terakhir, tidak lain karena Islam mampu beradaptasi dengan lingkungan, yang dulu pertama kali diajarkan oleh Walisongo, cara-cara dakwah semacam ini terbukti sukses dalam menyebarkan Islam secara masif dan, hanya dalam tempo kira-kira lima puluh tahun, Walisongo mampu mengislamkan hampir seluruh kawasan Nusantara.

Karenanya, warisan Gus Dur tentang gagasan pribumisasi Islam ini harus terus digalakkan, agar semua umat Islam di Indonesia semakin mengerti bahwa berislam ala orang-orang Arab dengan tanpa melibatkan budaya setempat adalah model keberislaman yang kering dan tidak kreatif. Dan, satu hal yang perlu dicatat, bahwa seseorang yang mengamalkan ajaran-ajaran Islam tidak akan dapat hidup tanpa sokongan budaya.

Tulisan ini sebelumnya pernah tayang di Pecihitam.org

Magister Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada. Alumni Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.