Siapa yang tak kenal sosok Gus Dur? Sosok yang sangat progresif-inspiratif dengan segala pemikirannya. Bukan itu saja, Gus Dur dianggap pula sosok yang nyeleneh dalam tingkah lakunya. Termasuk pula pada saat memimpin negeri ini, yakni sebagai Presiden RI dengan gaya kepemimpinannya yang tak jarang nyeleneh pula. Namun, ada pesan yang tersirat dari segala ke-nyeleneh-an Gus Dur.
Bagi kalangan NU, Gus Dur tentu sebagai ulama besar yang sangat dihormati dan disegani warga nahdliyin di mana pun dan kapan pun. Bahkan, sebagai pemikir modern, sosok Gus Dur bisa dikatakan sebagai intelektual muslim abad kontemporer.
Mengenai pemikiran Gus Dur, tentu masyarakat telah mengetahui banyak tentang itu. Bahkan, saat ini terdapat kelompok GUSDURian yang memang fokus mengkaji pemikirannya Gus Dur sebagai sebuah refleksi kehidupan modern. GUSDURian terdiri dari para murid, pengagum, penerus pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Di luar itu, telah banyak juga aktivitas-aktivitas yang mengkaji dan melestarikan pemikiran Gus Dur.
Sebagai intelektual pesantren, sosok Gus Dur tak bisa dilepaskan dari hiruk pikuk kehidupan dan polemik dalam pesantren. Bahkan, dalam corak pemikirannya lebih cenderung pada pesantren sebagai basis ideologinya, yang kemudian dibarengi dengan persoalan kebudayaan dan politik. Hal itu bisa dilihat pada awal tahun 70-an hingga 80-an, di mana Gus Dur telah banyak menulis tentang hubungan antara agama, tradisi (budaya), ideologi, dan politik. Misal saja, tulisannya yang berjudul Agama, Ideologi dan Pembangunan dan Pribumisasi Islam.
Eksistensi sastra pesantren
Terdapat pula pemikiran Gus Dur yang mencoba mengkritisi eksistensi sastra dalam pesantren, yakni yang dipaparkan dalam tulisannya “Pesantren dan Kasusastraan Indonesia”. Menurut Halid Alkaf (2008) dalam disertasinya, memaparkan bahwa tulisan tersebut telah mencerminkan kuatnya penguasaan Gus Dur terhadap khazanah tradisi lokal, khususnya kaitannya pesantren sebagai bagian dari realitas kehidupan beragama dengan karya sastra yang bersumber pada tradisi keagamaan.
Lebih lanjut lagi, Alkaf menjelaskan bahwa sebagai objek sastra, saat itu pesantren belum mendapatkan perhatian yang lebih dari budayawan sekaligus sastrawan. Padahal saat itu banyak di antara mereka yang telah mengenyam pendidikan keagamaan di dunia pesantren. Namun, justru mereka enggan atau pun belum menempatkan pesantren sebagai media dari karya-karyanya.
Bisa dikatakan, pada saat itu eksistensi sastra tentang dunia pesantren belum mendapat tempat yang baik. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya, pada 50-an hingga 60-an, hanya Djamil Suherman yang pernah memfiksikan dunia pesantren dalam cerita pendeknya. Di sinilah pemikiran Gus Dur yang menyoal tentang sastra dalam dunia pesantren.
Gus Dur menjelaskan bahwa terdapat dua hal yang menjadi alasan eksistensi sastra tentang pesantren. Pertama, dramatisme dalam pesantren yang cenderung pada taraf terminologis yang tinggi. Dalam hal yang bersifat abstrak seperti; determinasi, free destination (iradah), intensitas ketundukan pada Tuhan dan lain sebagainya, saat itu amat sukar dituangkan dalam sebuah fiksi sebagai perwujudan sastra.
Kemudian, kedua, telah terjadinya kakunisasi pandangan masyarakat muslim terhadap manifestasi kehidupan beragama di negeri ini. Meminjam istilah Cak Nur disebut sebagai sakralisme agama. Hal ini yang membuat pemikiran muslim untuk menuangkannya dalam tinta sastra cenderung susah, karena akan dianggap bertentangan dengan teks, ketimbang mementingkan kontekstualitas.
Desakralisasi: sastra pesantren dan pesan moral
Sebagai tanggapan atas alasan di atas, Gus Dur menganggap perlu adanya desakralisasi, sehingga agama tidak melulu diitafsirkan secara kaku, tetapi perlu penafsiran ulang dalam manifestasi kehidupan.
Dalam hal ini, Gus Dur juga melakukan pembacaan teks sastrawan Barat, di mana terdapat penggunaan satire sebagai medianya, seperti novelnya Giovanni Guareschi di Italia pada tahun 50-an yang menceritakan peliknya upaya dalam desakralisasi. Namun, menurut Gus Dur penggunaan satire kuranglah tepat. Kemudian Gus Dur mengajukan pembacaan atas karya penulis Yahudi Amerika, Chaim Potok.
Karya Potok sangat mengagumkan pembaca. Potok berhasil mengungkapkan dilema keagamaan yang universal. Dengan pembawaannya tentang mensinergikan ketundukan pada nilai agama dengan kebutuhan hidup modern. Hal inilah yang diharapkan Gus Dur tentang bagaimana pesantren merespon doktrin agama dan realitas sosial yang semakin berkembang sebagai pesan moralnya, melalui penggambaran dan pengimajinasian dalam sastra.
Setidaknya apa yang dilakukan Gus Dur tentang eksistensi sastra dalam pesantren menjadi cambuk, terlebih lagi sosok Gus Dur sebagai penikmat sekaligus pengamat sastra dan budaya. Menurut Gus Dur penggarapan pesantren sebagai objek sastra harus diyakini terlebih dahulu sebagai persoalan dramatis yang akan dikemukakan.
Alhasil, dewasa ini telah banyak sastra yang menceritakan dunia pesantren sebagai objeknya, mulai dari sajak, novel, hingga film yang berlatar pesantren. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Gus Dur dalam menyoal pesantren, khususnya sastra pesantren.
Sumber: nu.or.id