Ketika Gus Dur menjadi ketua umum PBNU pada tahun 1984, ada pada periode di mana Khittah NU diaktualisasi dalam deklarasi tertulis, yang sebelumnya berserak-serak dan diamalkan dalam praktik-praktik di kalangan masyarakat NU, pesantren, dan Nahdliyin. Khittah NU itu selama ini lebih banyak dibicarakan dalam soal politik praktis (terutama oleh pengamat), padahal jauh lebih dari itu. Khittah NU juga membicarakan masalah kebudayaan.
Dalam soal kebudayaan, Khittah NU memberikan dasar yang penting dengan menegaskan terlebih dulu: “NU mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama yang fithrî dan bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia… NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-niali itu.”
Penjelasan lebih detil kemudian dilakukan oleh Komisi Program pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. Dalam bagian ini kebudayaan dilihat:
- Kebudayaan secara umum merupakan aspek rasional (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan emosional (keseniaan dan kesastraan) dari manusia secara individu ataupun masyarakat yang merupakan salah satu sumber inspirasi umat. Karenanya pengembangan kebudayaan bagi NU hendaknya dipelopori untuk mengembangkan “budaya nasional yang manusiawi”.
- Tugas kebudayaan umumnya adalah mengembangkan dan memelihara warisan rohaniah dan jasmaniah generasi lampau, untuk generasi masa kini, dan diwariskan untuk generasi selanjutnya dalam menuju tercapainya peningkatan kecerdasan dan cita rasa manusia sebagai hamba Allah.
- Dalam kaitan tersebut NU dapat menjalankan peranannya sebagai pelopor melalui solidaritas sosial di antara warganya sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan NU.
Dalam Muktamar NU ke-28 di Krapyak tahun 1989, tiga hal di atas prinsipnya dikutip lagi, tetapi kemudian ditambah dengan: “Watak kultural yang khas NU dapat dikembangkan antara lain dengan pengenalan warisan kultural Aswaja, baik berupa keyakinan maupun ritual seremonial disajikan dalam bentuk bacaan yang berisi warisan historis Aswaja, antara lain dengan menanamkan rasa cinta akan jasa-jasa para wali penyebar Islam. Pengenalan disiplin sosial berdasarkan keikhlasan, membina solidaritas yang kuat di antara berbagai lapisan masyarakat, yang dilakukan dengan mengembangkan kebudayaan dan keseniaan Islam seperti tilâwah, tahfîzh al-Qur’ân, dibâ’ân, barzanjî, rebana, hadhrah, dan lain-lain tanpa mengabaikan kehormatan ulama dan orang yang lebih tua.”
Dengan melihat pada rumusan-rumusan yang telah disebutkan itu, sangat jelas Khittah NU sebenarnya memberikan ruang bagi pengembangan kebudayaan, yang bagi NU hendaknya dipelopori untuk mengembangkan “budaya nasional yang berwatak manusiawi”. Pengembangan itu dengan tidak meninggalkan kesinambungan terhadap tradisi kebudayaan, termasuk kesenian di masa lalu di kalangan pesantren dan para wali penyebar Islam. Hal ini menegaskan dinamisasi dalam bidang kebudayaaan, sekaligus perlunya menjaga kesinambungan.
Dinamisasi itu juga memberikan pengertian bahwa dalam kebudayaan, NU dan masyarakat Nahdliyin sebaiknya bukan hanya berposisi sebagai konsumen. Dengan kata “pengembangan kebudayaan” menegaskan pentingnya arti warga NU dan jam`iyah NU sebagai subjek kebudayaan, pencipta kebudayaan. Di tengah situasi globalisasi kebudayaan seperti sekarang ini, posisi sebagai subjek kebudayaan ini menjadi semakin penting, agar masyarakat NU tidak hanya menonton, larut, dan tergerus, tetapi juga mampu menciptakan kebudayaan tandingan, bahkan ikut mempengaruhi kebudayaan di tengah-tengah masyarakat.
Hanya saja, di dalam masyarakat Nahdliyin dinamisasi yang radikal dengan tidak menggunakan dan tidak mempertimbangkan aspek kesinambungan, akan selalu mengalami resistensi, bahkan kegagalan. Gus Dur dalam hal ini mewanti-wanti dengan jelas: “Inilah yang penting, bagaimana membungkus perubahan atas nama kepentingan umat” (dalam Tasfwirul Afkar, No. 19 tahun 2006, hlm. 90), harus dilakukan. Perubahan ataupun pengembangan harus bisa dipahami bahasanya oleh kalangan NU sendiri.
Kerangka yang dikemukakan Gus Dur itu tidak berarti menafikan sama sekali kenyataan bahwa respons yang lamban atas fenomena kebudayaan dan keseniaan yang bisa membawa mashlahah, akan berdampak kurang baik bagi pengembangan kebudayaan kalangan NU. Kelambanan yang nyaris menolak sama sekali, bukan hanya memperlambat untuk mengembangkan kebudayaan nasional yang bersifat manusiawi, tetapi juga bisa berdampak pada langkah dan citra kaum Nahdliyin yang justru tidak memberikan kontribusi bagi pengembangan kebudayaan umatnya.
Pada kenyataannya perubahan-perubahan di lapangan kebudayaan dan keseniaan, betapa pun berlikunya juga diterima sebagaimana dijelaskan dalam sejarah NU. Contoh tentang ini adalah soal seni fotografi. Dalam muktamar NU ke-13 yang diadakan di Menes Banten (12 Juli 1938), dirumuskan salah satunya soal seni fotografi karena bersamaan dengan munculnya fenomena lukisan-lukisan hewan dan tubuh oleh fotografi yang dianggap barang baru; dan umumnya diperkenalkan dari teknologi Barat yang dibawa Belanda.
Keputusan soal ini disebutkan: “Menggambar hewan (hayawân) yang sempurna anggotanya dengan potret, begitu memindahkan dari film ke kertas itu hukumnya haram dengan tidak ada khilâf yang terhitung.” Akan tetapi Konbes NU yang menggantikan Muktamar NU ke-22, kemudian membicarakan putusan tersebut secara mendalam. Hasilnya memotret hewan mendapatkan khilâf yang terhitung. Dengan sendirinya, ulama fiqh sebagian membolehkan menggambar hewan dengan potret.
Keputusan tentang seni fotografi ini, yang awalnya negatif tetapi kemudian dibolehkan (ada yang membolehkan dalam fiqh), melengkapi pandangan dunia NU sebelumnya tentang kesenian. Misalnya muktamar NU ke-1 di Surabaya (21 Oktober 1926) memutuskan 27 keputusan, yang di antaranya membicarakan tentang alat musik. Alat-alat yang dipukul dengan rebana dan lain sebagainya dihukumi mubah (boleh), asal alat-alat itu tidak untuk menimbulkan kerusakan dan tidak menjadi tanda orang-orang fasik. Termasuk dalam rebana ini di antaranya drum, kendang, dan semua alat yang dipergunakan untuk mengeluarkan suara yang enak: semua boleh. Bahkan, tari-tarian dalam keseniaan dengan gaya lenggak-lenggok juga dibolehkan asal tidak dimaksudkan untuk kemaksiatan. Akan tetapi pandangan tentang seruling masih cukup konservatif.
Dari sisi pengalaman memutuskan aspek kesenian ini menunjukkan dengan jelas ada ruang dinamisasi dalam pengembangan kebudayaan di kalangan NU. Dinamisasi ini semakin penting berhadapan dengan berbagai tantangan keseniaan dan kebudayaan yang saat ini semakin membanjir. Tentu saja musykil menampilkan jenis keseniaan pesantren dan NU di event panggung-panggung nasional, tanpa ada kreativitas untuk menerima aspek-aspek baru, memodifikasi dan membuat kreativitas yang brilian. Untuk menjadi subjek kebudayaan dan keseniaan, tentulah dituntut jeli dalam memadukan hal-hal baru dengan tetap memelihara substansi dan tradisi yang sudah berkembang.
Pengembangan “kebudayaan nasional yang berwatak manusiawi” itu juga perlu mempertimbangkan, bukan hanya kebudayaan dan keseniaan untuk didengarkan dan dinikmati saja. Pandangan semata kesenian untuk kesenian tidaklah dipilih. Sebaliknya keseniaan dan kebudayaan yang bisa mentransformasikan masyarakat basis sosial NU agar bisa mencapai kemajuan di bidang-bidang sosialnya, sangat membutuhkan kreativitas kebudayaan atau keseniaan yang menyentuh mereka, sekaligus mengandung kritik sosial dan bisa menciptakan transformasi sosial.
Di sinilah kesenian dan kebudayaan yang mampu menangkap spirit masyarakatnya, kualitas rohani yang dalam, dan penampakan yang menyegarkan, akan sangat relevan. Sekaligus ini adalah tantangan untuk mengembangkan kebudayaan dan kesenian di lingkungan NU, dengan tujuan untuk menggugah kesadaran masyarakatnya, bukan seni untuk seni, dan bukan hanya seni untuk dinikmati semata.
Sumber: santrigusdur.com