Sekitar Juni 2020 lalu, seorang wali murid mengeluhkan peraturan kepala sekolah yang mewajibkan anaknya memakai seragam lengan panjang ke sekolah. “Sejak kepala sekolahnya ganti, seragamnya harus panjang semua. Pusing saya,” keluhnya dalam bahasa Jawa. Keluhan itu dialamatkan kepada wali murid lain yang datang untuk membeli pecel. Wali murid yang mengeluh itu membuka warung nasi pecel setiap pagi hari. Di warung itulah, sembari mengantre saya mencuri dengar dua wali murid yang tak lain ialah penjual dan pembeli nasi pecel berbagi keluhan mengenai peraturan berseragam lengan panjang di sekolah anak-anaknya.
Ibu satu anak itu bukan satu-satunya wali murid yang merasa keberatan dengan peraturan yang mewajibkan para siswa berseragam panjang serta berjilbab bagi yang perempuan. Emi Nurul Fadhila, seorang guru sekolah dasar negeri di desa tempat saya tinggal menceritakan, sebagian wali murid mengeluhkan bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menebus seragam sekolah anak-anaknya. Tak ada pilihan lain, di tengah keterbatasan ekonomi yang menghadang, mereka tetap mengupayakan pembelian seragam lengan panjang bagi putra-putri tercinta.
Sampai saat ini, sekolah tidak memberikan sanksi bagi siswa yang tidak mengenakan seragam lengan panjang. Meski demikian, susah membayangkan anak-anak usia sekolah dasar yang tak berseragam panjang itu memiliki kesiapan mental saat dirinya terlihat mencolok alias tidak sama dengan sebagian besar kawan-kawannya. Penciptaan iklim berseragam panjang di sekolah negeri lambat-laut berterima sebagai sebuah kewajaran di tengah semakin meningkatnya gejala islamisme dalam masyarakat akar rumput Indonesia.
Dalam konteks ini, barangkali secara diam-diam para wali murid mengirim doa, supaya para penentu kebijakan di sekolah anak-anaknya membaca dan lebih jauh lagi menafakuri gagasan pribumisasi Islam ala Gus Dur. Kita mudah mencari relevansi gagasan ulama cum intelektuil rendah hati itu dengan kewajiban memakai seragam lengan panjang yang semakin menjamur di sekolah-sekolah negeri. Sebuah kecenderungan yang tidak mungkin terjadi di Era Orde Baru.
Belum Sesuai Kebutuhan
Peraturan di sekolah negeri yang mewajibkan para siswa berseragam panjang yang pada aplikasinya memberatkan para wali murid dari sisi ekonomi lantang terbaca sebagai kebijakan tak tepat guna, atau meminjam istilah Gus Dur, belum sesuai kebutuhan. Beranjak dari kemelut ekonomi orang tua, mewajibkan jenis pakaian tertentu bagi anak-anak yang belum akil baligh juga bisa berbuntut panjang di kemudian hari. Tanpa disadari, akan tumbuh memori kolektif dalam diri anak-anak, misalnya terkait anggapan bahwa menjadi umat Islam haruslah berpakaian sedemikian rupa: baju lengan panjang, rok, dan celana panjang, serta berjilbab bagi perempuan. Sebaliknya, yang tidak tampak demikian dianggap tidak mencerminkan Islam atau bahkan melenceng dari Islam.
Lebih jauh, aturan yang mewajibkan para siswa sekolah dasar mengenakan seragam berlengan panjang dan berjilbab juga menciptakan jarak yang kentara antara siswa muslim dengan non-muslim. Institusi pendidikan yang seharusnya membekali diri siswa dengan nilai-nilai keberagaman justru mengebiri potensi baik itu. Siswa sangat mungkin menjadi terbiasa membedakan diri dengan liyan. Ini tentu kontraproduktif dengan tugas sekolah negeri non-agama sebagai institusi pendidikan yang universal alih-alih eksklusif.
Selain itu, pemaksaan jenis pakaian tertentu kepada anak-anak juga bisa menjadi bentuk indoktrinasi yang jelas membahayakan. Misalnya terkait penggunaan jilbab. Meminjam khasanah pengetahuan M. Quraish Shibab (dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah), jilbab lebih condong kepada budaya Arab, bukan Islam. Maka, mewajibkan anak-anak usia sekolah dasar mengenakan jilbab berpotensi bukan sebagai bentuk pendidikan agama Islam, melainkan penerapan budaya Arab.
Gus Dur dalam wawancaranya dengan Abdul Mun’im Saleh yang dimuat di buku Islam Indonesia Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989) menjelaskan, agama (Islam) dan budaya memiliki independensi masing-masing, sekaligus mempunyai wilayah yang tumpang tindih. Hal ini pula yang terjadi dengan Islam dan budaya Arab. Sebagai entitas, keduanya berdiri sendiri-sendiri, namun sekaligus memiliki wilayah yang tumpang tindih. Seorang ulama asal Tunisia yang dikenal otoritasnya di bidang ilmu agama, Muhammad Thahir Ibn Asyur dalam bukunya Maqashid asy-Syari’ah menyatakan, “Kami percaya bahwa adat istiadat kebiasan kaum tidak boleh –dalam kedudukannya sebagai adat- untuk dipaksakan kepada kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.”
Mengikuti penjelasan tersebut, sang ulama mengangkat beberapa contoh dalam Alquran dan sunnah Nabi. Salah satunya ialah surat al-Ahzab (33): 59, yang memuat perintah supaya kaum muslimin mengulurkan jilbabnya. Muhammad Thahir Ibn Asyur memberi komentar bahwasanya perintah mengenakan jilbab itu merupakan ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab. Ketentuan ini tidak otomatis berlaku bagi bangsa-bangsa lain. Namun, kehidupan beragama di Indonesia dewasa ini tak jarang justru menghadapkan kita pada bias-bias antara agama Islam dan budaya Arab.
Pribumisasi Islam Menjawab Tantangan
Menghadapi fenomena keberagamaan yang demikian, gagasan Gus Dur tentang pribumisasi Islam terasa begitu krusial. Agama (Islam) yang bersumber dari wahyu dan bersifat normatif cenderung menjadi permanen. Sementara budaya adalah hasil cipta dan karsa manusia yang terbuka dengan perkembangan zaman sehingga tidak tertutup dengan adanya perubahan. Meski demikian, perbedaan esensial ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.
Jika ajaran mengenakan jilbab merupakan bentuk manifestasi kehidupan beragama (Islam) dalam bentuk budaya Arab sesuai konteks kehidupan pada zaman itu, hal yang demikian juga bisa terjadi di Indonesia. Pakaian yang islami bagi muslim di Indonesia sudah selaiknya seirama dan tak mencederai adat-budaya setempat. Di Indonesia, kita mendapati para perempuan yang mengenakan jilbab maupun yang tidak mengenakannya sama-sama berpeluang menjadi sosok terhormat.
Perempuan berharga bukan lantaran ukuran jilbab yang dikenakan, melainkan karena sikap dan perbuatannya sebagai manusia dan umat beragama. Pemahaman yang demikian muskil dicapai dengan kebijakan mewajibkan anak-anak sekolah dasar mengenakan seragam lengan panjang serta berjilbab bagi perempuan. Padahal seharusnya pilihan menggunakan jilbab atau tidak bisa menjadi dialektika yang hidup berdampingan secara damai, sebagaimana yang ditulis Gus Dur dalam esainya yang berjudul “Kerudung dan Kesadaran Beragama” di buku Tuhan Tak Perlu Dibela (IRCiSoD, 2018: hlm. 96). Dengan demikian, perempuan sepenuhnya berhak memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya, dalam hal ini hendak mengenakan jilbab atau tidak sama-sama tak mengurangi potensinya sebagai makhluk mulia.
Lebih jauh, berkaca pada persoalan mengenai perempuan Islam dan jilbab, tumpang tindih antara agama dan budaya yang terjadi terus-menerus bisa menjadi proses yang memperkaya kehidupan. Kekayaan variasi budaya memungkinkan terhubungnya berbagai kelompok atas dasar persamaan agama maupun budaya. Upaya rekonsiliasi antara budaya dan agama memupuk solidaritas umat dari berbagai agama dalam bingkai kemanusiaan yang rahmatan lil ‘alamin. Tsah!
_______
Tulisan ini merupakan 1 dari 10 esai terpilih Lomba Menulis Esai #HarlahGusDur bertema “Kita Butuh Islam Ramah, Bukan Islam Marah”, hasil kerja sama gusdurian.net, islami.co, dan nu.or.id.