Rasisme masih menjadi jargon terkuat untuk menyudutkan kelompok tertentu. Biasanya pelaku rasis menggunakan istilah-istilah yang merendahkan dan cenderung menghina. Hal itu masih sering dijumpai apabila isu politik berkembang dan ada unsur Tionghoa yang terlibat di dalamnya.
Masyarakat terdidik mungkin telah memahami bahwa isu-isu seputar Tionghoa kerap dihembuskan dengan tujuan politik identitas. Sentimen kemurnian yang dikampanyekan sebenarnya tidak lebih dari usaha memperkuat posisi politik kelompok tertentu.
Fenomena tersebut adalah terusan dari sejarah panjang hubungan Tionghoa dengan etnis lain, tidak hanya di Jawa, tetapi juga di kota-kota lain yang pernah merasakan diperintah oleh Belanda.
Awal mula rasisme terhadap Tionghoa sendiri merupakan strategi politik pemerintah kolonial untuk memelihara kebencian, dengan begitu sewaktu-waktu pemerintah dapat memainkan peran ganda, berdiri di antara dua pijakan untuk menjaga stabilitas politik.
Dalam situasi itu, kelompok paling lemah akan cenderung dikorbankan. Hal ini dibuktikan dengan penataan pola pemukiman masyarakat di kota-kota, salah satunya Semarang. Kota ini berulangkali menjadi arena perselisihan rasialis yang menempatkan Tionghoa sebagai pihak paling dirugikan.
Di balik semua peristiwa yang terjadi, kalngan Tionghoa Muslim di Semarang terus berusaha memelihara perdamaian di antara etnis-etnis lain, dalam konteks ini, agama menjadi media kemanusiaan, nilai-nilainya diaktualisasi untuk membangun kehidupan yang harmonis.
Tionghoa Bukan Agama
Masih sering terdengar pertanyaan yang menggelitik, bahkan di tempat umum, bis kota, halte, kereta, dan banyak tempat lagi, “Kamu Cina atau Islam?” Sebuah pertanyaan yang di dalamnya menyamaragamkan Cina atau Tionghoa dengan agama.
Kasus semacam ini dilandasi oleh kebiasaan masyarakat melihat masalah Tionghoa sebagai problem teologis, padahal Tionghoa bukanlah agama, kalaupun mereka bukan Muslim, mereka tetap tidak bisa diperbandingkan dengan agama mana pun.
Identitas keagamaan Tionghoa sama dengan identitas keagamaan etnis lain. Hak mereka beragama juga sama, tidak dibatasi oleh aturan tertentu. Pertanyaan sebagaimana disebutkan, merupakan ekspresi rasisme dalam skala terbatas, tetapi ini menjadi pertimbangan, bahwa potensi rasis, bahkan berujung kekerasan masih rentan terjadi.
Kebencian terhadap suatu objek membutakan akal sehat individu. Dalam memori etnis yang dianggap asli, Tionghoa masih menempati objek yang dibenci, meskipun sejarah mencatat, sejak era Kolonial hingga Orde Baru, Tionghoa adalah korban dari setiap gejolak politik.
Fenomena ini yang menyeret masalah Tionghoa ke dalam setiap fenomena politisasi agama. Etnis Tionghoa masih ditempatkan sebagai pesakitan, sehingga, di muka publik, pertanyaan yang sangat mengganggu nurani kemanusiaan itu bisa dengan lumrah diucapkan.
Hal ini patut menjadi perhatian, bahwa sewaktu-waktu, bisa sekarang, nanti, atau esok hari sejarah bisa berulang, gerakan anti-Tionghoa yang sebenarnya lebih layak disebut gerakan politik rasis itu, harus terus diwaspadai. Melalui isu ini, setiap kelompok yang berkepentingan pada kekuasaan bisa memainkan peran untuk meledakkan bom waktu kebencian terhadap Tionghoa.
Kesadaran Tionghoa Muslim Semarang
Meskipun sangat lazim dan lumrah, bagi seorang Tionghoa memeluk Islam dan secara otomatis menjadi Muslim, hal itu tidak serta merta mudah diterima oleh etnis lain. Pandangan yang mengasosiasikan Tionghoa dengan agama tertentu, Kristen misalnya, masih terus melekat.
Hal itu jelas tidak bisa dibenarkan apabila kerukunan masih menjadi tujuan dan cita-cita berbangsa. Kini, di era keterbukaan, masyarakat seharusnya lebih jeli memahami fenomena ini. Seorang Tionghoa Muslim sama artinya dengan Jawa Muslim, Batak Muslim, Papua Muslim. Tidak ada bedanya dalam konteks kewarganegaraan.
Di Semarang, riwayat Tionghoa Muslim memiliki akar historis yang panjang. Sejak masa Muhibah Pertama Laksamana Cheng Ho di abad XV.
Pemukiman Tionghoa Muslim pertama terletak di wilayah Simongan, persis di tepian Kali (Sungai) Garang. Dari wilayah itulah, Islam di syi’ar-kan oleh Tionghoa Muslim yang diutus langsung oleh Kaisar Cina pada waktu itu.
Secara geografis, wilayah itu kini sudah sama sekali berubah, meskipun bekas-bekas pemukiman Tionghoa masih bisa dilihat melalui tata letak yang masih mengacu pada Feng Shui. Dipilihnya daerah Simongan, memiliki dua alasan; dekat demaga (Waktu itu transportasi masih melalui Sungai) dan daerah yang sekarang menjadi pusat kota masih berbentuk rawa-rawa.
Saat ini, Tionghoa Semarang hidup di wilayah Kranggan, pemindahan kekuasaan itu dilakukan oleh Pemerintah Kolonial pasca Geger Pecinan abad XVIII. Wilayah itu lebih mirip seperti isolasi daripada pemukiman, ada kesengajaan membangun batas interaksi sosial-budaya di antara Tionghoa dengan etnis lain.
Sejak masa itu, pemahaman masyarakat tentang Tionghoa mulai dibelokkan. Belajar dari pemberontakan terbesar masyarakat Tionghoa yang dikenal dengan nama Geger Pecinan, pemerintah Kolonial tidak ingin melihat Tionghoa dan etnis lain bekerjasama melawan pemerintah. Oleh karena itu, dibuat segregasi sosial di antara Tionghoa dan etnis-etnis yang lain.
Strategi itu berhasil mengaburkan pemahaman tentang identitas Tionghoa. Segala hal yang berkaitan dengan Tionghoa selalu “negatif”, itulah tujuan pemerintah, yang dapat dibilang berhasil.
Sejak saat itu pula, Tionghoa Muslim mulai kehilangan ruang berekspresi. Rekam jejak mereka dalam sejarah peradaban Islam di Semarang sempat hilang.
Pasca Orde Baru yang menerapkan kebijakan serupa Pemerintah Kolonial terhadap etnis Tionghoa dengan kampanye “Masalah Cina”, saat ini, Tionghoa Muslim mulai memiliki tempat kembali untuk berekspresi dan berusaha menyatukan kembali sekat-sekat yang menjauhkan Tionghoa Semarang dengan sejarah dan budayanya.
Tionghoa Muslim aktif dalam kegiatan budaya, aksi kemanusiaan, dan kampanye perdamaian di Semarang. Satu hal yang ingin mereka tegaskan, bahwa Tionghoa juga beragama, dan Tionghoa bukan agama. Dalam aktivitas budaya, seperti Imlek misalnya, Tionghoa Muslim terlibat cukup aktif dan mengambil peran sebagai konseptor kegiatan.
Melalui Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Semarang, pada perayaan hari besar Islam seperti; Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi, Isra Miraj, dan Tahun Baru Islam, Tionghoa Muslim menyatu dengan masyarakat Muslim dari etnis lain. Kebebasan berekspresi inilah yang menjadi pijakan bagi Tionghoa Muslim untuk mengembalikan kedudukannya di masyarakat; melebur kebencian dan menegaskan Bhinneka Tunggal Ika.
Hal di atas sekaligus menunjukkan bahwa Tionghoa Muslim telah memiliki kesadaran penting untuk menciptakan kerukunan dalam kehidupan sosial, budaya, dan agama di Semarang. Cara mereka mengambil peran dan memahami sejarah adalah investasi bagi Indonesia yang ramah bagi semua.
Sumber: alif.id